Jangan khawatir. Aku tidak akan membubuhkan “Dear Diary” di awal paragraf—meskipun kali ini aku mau umm, curhat colongan. Apa salahnya sih jika ini blog milikku yang diurus sendiri olehku? Tidak, tidak. Aku tidak akan memaki orang atau menyindir orang (kuharap begitu)—satu hal yang bisa kau lakukan di dunia maya dan membuat ge-er sejuta umat yang membacanya, iya kan? Tenang saja. Aku hanya ingin berbagi pendapatku. Sangat setuju dengan Greg Heffley bahwa ini bukan diary, tapi jurnal.
Hal ini selalu terjadi. Maksudku, beberapa jam sebelum hari pertama masuk sekolah dimulai. Saat aku masih terombang-ambing dengan ombak liburan, malas menyiapkan segalanya untuk besok (buku-buku, tas, seragam, bahkan semangat baru—oke, mungkin lain kali aku harus minum Coca-Cola dulu sebelum melahap setangkup roti sarapan), bahkan bermacam-macam pikiran melintas di benakku. Dari mulai membayangkan di sekolah besok akan terjadi apa—bagaimana jika seseorang yang kukenal tiba-tiba memandangku dengan tatapan sinis tanpa alasan yang jelas atau tiba-tiba susah mengejar prestasi teman-teman di kelas lalu menjadi orang terbodoh di kelas, dan pikiran-pikiran yang berawalan ‘bagaimana jika’ lainnya. Tapi, yang sering kupikirkan adalah sikap teman-temanku besok di hari pertama sekolah, dari teman sekelas sampai teman dekat. Aku sering membayangkan sikap mereka berubah selama liburan, siapa tahu begitu bertemu di kelas, mereka sepakat untuk menjaga jarak bahkan tidak sudi berbicara lagi denganku. Iya, aku tahu itu bodoh sekali. Memangnya apa sih yang kulakukan terhadap mereka selama liburan berlangsung? Aku hanya menikmati liburan, mereka juga begitu, kadang-kadang saling SMS-an. Tapi, iya aku tahu, aku tidak bersikap untuk memusuhi mereka jadi buat apa aku sibuk cemas dengan sikap mereka besok di hari pertama sekolah? Tetap saja, meskipun aku tahu logika yang benar, aku selalu membayangkan hal-hal buruk yang bakal terjadi di sekolah nanti.
To be honest, I’m not that Miss Social, yang selalu hang-out bareng teman-teman dekat, punya ‘followers’ dan ‘friends’ banyak, selalu mention atau wall-to-wall setiap malam dengan banyak orang, disapa banyak orang ketika berjalan di koridor, nope I’m not. Kalau boleh kukatakan secara jelas, I’m not that exist person.
Tidak. Aku tidak sedih karena bukan seseorang yang eksis. Punya teman yang bisa diajak ngobrol berbagai hal dan tidak mudah langsung
judging ketika aku mengungkapkan uneg-uneg sudah cukup, kok (dan aku baru mengetahuinya bahwa ini artinya dia adalah seseorang yang bisa kausebut sahabat).
Kadang-kadang aku merasa ‘berbeda’ seperti Thestral dari semua orang di sekolah. Tidak, bukan karena wujudku transparan, berwarna hitam legam, dan punya sayap. Maksudku, jika aku lebih suka mendeklarasikan berbagai pikiran yang terlintas di benak ke dalam kolom updet Twitter atau Blogger daripada mengomentari kegiatan seseorang di seberang pintu sana, jika aku lebih senang berjalan-jalan di toko buku daripada di toko aksesoris bercat merah muda, jika aku lebih suka merawat buku daripada merawat rambut, jika aku memutuskan untuk mencoba mengerjakan soal-soal Kimia atau Math daripada menundanya dengan bergosip, jika aku lebih suka membaca novel beraliran dongeng-fantasi daripada novel yang penuh dengan kata ‘gue-elo’ di dalamnya, jika aku lebih suka membicarakan Harry Potter daripada hubungan si A dengan si B, jika aku tenang-tenang saja ketika hape-ku tidak berdering seharian daripada mengeluh betapa hape-ku seperti bangkai, jika aku lebih enjoy berjalan di belakang teman-teman, mendengarkan semua percakapan mereka daripada sibuk bercerita dengan semangat meluap-luap di depan teman-teman, jika aku diam ketika pengawas ruangan pergi daripada ribut menanyakan jawaban, jika aku mendapat nilai ulangan jelek meskipun semalam aku telah belajar daripada mendapat nilai lumayan meskipun belajar beberapa menit sebelum ulangan, jika aku enjoy berjalan-jalan sendirian daripada merengek minta ditemani, jika aku lebih memilih menunggu DVD film itu rilis daripada mengantri di depan loket, jika aku lebih memilih untuk mempublikasikan postingan blog terbaru daripada status terbaru, jika aku sebal ketika liburan berakhir daripada tidak sabar untuk kembali ke sekolah ketika liburan berakhir. Itu hanya sepersekian dari sepersekian ‘jika aku’.
Tapi, aku juga melakukan kegiatan yang biasa dilakukan. Aku menikmati Justin Bieber (maksudku lagu-lagunya, bukan orangnya) dan Taylor Swift dan lagu-lagu lainnya, aku pergi ke salon untuk merapikan rambut, aku mendengarkan cerita-cerita teman tentang cowoknya, aku sering curhat colongan ke teman-teman dekat, bahkan aku jengkel setengah mampus saat jerawat bertambah. Aku tidak tahu mengapa aku merasa ‘berbeda’ dengan semua teman di sekolah. Aku tidak tahu persis tingkah laku seseorang saat sedang mencari jati dirinya. Aku tidak tahu apakah ini bisa dibilang aku sedang galau. Aku tidak tahu apakah ini normal terjadi di usia 16 tahun.
Saat mengetahui ada seseorang di luar sana yang ternyata sependapat, sepaham, dan sepikiran denganku, aku merasa lumayan lega. Sama leganya seperti mengetahui teman sebangkumu ternyata belum mengerjakan tugas juga.
Orang-orang yang sependapat, sepaham, dan sepikiran dirimu bisa saja banyak jumlahnya di luar sana. Hal yang kau lakukan hanya menyisihkan sebagian waktu untuk mencari mereka.
Oke. Itu saja mungkin. Maaf jika aku terlalu berlebihan dalam menyampaikan pikiran-pikiran random yang sibuk malang-melintang akhir-akhir ini. Hei, jangan sambil mengerutkan kening begitu ketika kau membacanya. Anggap saja ini hanya pikiran khas seorang pelajar culun berumur 16 tahun.