(masih) Tentang sekolah. Kau memberikan apa saja untuk sekolah. Maksudku, untuk apa sih kau rela meninggalkan kasur empuk dan selimut hangat di pagi-pagi buta? Jujur saja, hari favoritku adalah hari Jumat dan Sabtu. Setelah hari Jumat ada hari Sabtu setelah itu hari Minggu dan artinya aku bisa bangun lebih siang. Jam pulang juga lebih cepat. Tapi, mencoklang ke sekolah di hari Sabtu, mengenakan seragam membosankan sambil duduk diam di kursi mendengar ocehan guru, adalah ide buruk yang pernah terpikirkan. Maksudku, halo, hari Sabtu itu kan bagian dari weekend. Apa salahnya sih santai di rumah seperti orang kantoran yang telah menghabiskan 45 jam dalam seminggu? (as we know, lama waktu orang bekerja itu maksimal sembilan jam dalam satu hari. Ironis, sekolahku mengurung para siswanya selama sembilan jam juga. Jadi, coba bayangkan rasanya saat tidak ada guru yang menampakkan batang hidungnya di kelas. Hal yang bisa kau lakukan hanya duduk merosot di bangku, menguap lebar-lebar sambil berkali-kali melirik ke arah jam—mencoba bersabar menunggu waktu pulang). Sia-sia rasanya kau rela meninggalkan kasur empuk dan selimut hangat hanya untuk datang ke sekolah dengan ransel penuh buku tapi tidak ada satu pun guru yang masuk ke kelas.
Kurasa, sekarang tujuan bersekolah bukan lagi untuk mencari dan mendapat ilmu, tapi mencari dan mendapat nilai. Apa? Tak percaya? Oke, jadi buat apa kau melakukan aksi nyontek waktu ulangan selain untuk nilai sempurna? Buat apa kau menanyakan pertanyaan retoris sambil berharap guru menganggapmu siswa yang aktif lalu membubuhkan nilai sempurna di rapor? Buat apa kau menyalin tugas temanmu lalu mengirimnya ke e-mail gurumu? (oke, meskipun itu salinan, tapi kan tetap saja kau bakal mendapat nilai jika mengumpulkan). Everybody wants a perfect score. Yeah, I know. Sayangnya, para guru lebih senang melihat angka 100 menghiasi lembar jawaban murid-muridnya daripada memikirkan metode yang dilakukan murid-muridnya untuk mendapatkan jawaban-jawaban itu. Maksudku, hei, aku semalaman belajar tapi hanya mendapat 60 di lembar jawaban sedangkan mereka yang nyontek mendapat 80? Kurang tragis apa, sih? Meskipun ada saja guru yang lebih menghargai siswa dapat nilai nol karena dikira bekerja jujur. Meskipun ada saja guru yang mencoba membesarkan hati murid-muridnya dengan bilang bahwa kau tidak usah melihat hasil akhir, yang penting melihat seberapa besar usaha yang telah diberikan.
Adikku selalu belajar setiap malam. Dia bakal membawa buku banyak, menumpuknya, lalu melahapnya satu-persatu. Bahkan ketika dia akan menghadapi ulangan—alih-alih ulangan adalah suatu pertunjukkan musikal yang mesti disiapkan sesempurna mungkin, dia menghapal keras-keras materi bab sekian dan well, beruntungnya dia, materi yang dia hapalkan semalam ternyata menjadi soal ulangan. Dia berhasil mendapat dua keuntungan: proses dan hasil. Dia belajar sampai menghabiskan bertumpuk-tumpuk buku lalu mendapat nilai sempurna.
Nilai sempurna = prestasi = dirangkul para guru = diikutsertakan berbagai lomba = orang-orang seantero sekolah mencapmu sebagai seseorang yang pintar.
No comments
Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)