Speechless membaca postingan ini. Silahkan kau click link-nya, baca, lalu siap-siap terpana. Sekolah-sekolah di Amerika mempunyai klub drama tersendiri, mengadakan show di suatu ruangan kayak bioskop—para orang tua juga bisa ikut nonton—lalu dengan mengikuti klub drama di sekolah mereka mempunyai kesempatan untuk berakting di film box-office. Panggung tempat mereka beraksi dilengkapi dengan tata pencahayaan sempurna dan kain merah yang siap tersibak seiring alunan tepuk tangan—bukan dinaungi tenda kayak kondangan, dan sound-system canggih—bukan sound-system yang kadang-kadang ngadat. Untuk soundtrack, mereka menggunakan musik orkestra atau cukup alunan piano (yang dimainkan langsung saat pertunjukkan!) dan disediakan tempat khusus untuk para pemain musik. Mereka berakting dengan kostum ala film box-office—gaun-gaun cantik, baju besi dengan tameng dan pedang, jas-jas keren. Bahkan, ada kostum pohon dan buah-buahan. Salut dengan mereka yang menjahit sendiri kostum-kostum tersebut. Tata riasnya juga keren. Mereka pintar bikin luka buatan yang benar-benar mirip dengan luka beneran. Selain itu, pembagian tugasnya juga rata sekali. Ada bagian khusus menjahit kostum, make-up, dan kerennya lagi, semua orang memegang naskah (menurut yang aku baca di sini). Hal yang membuatku iri adalah ketika mereka antusias mempersiapkan segala macam tetek-bengek.
Ya, mungkin karena mereka sedang tidak berada di bawah paksaan.
Kalau sekolah-sekolah di Indonesia, kau ikut klub drama, dan hanya tampil jika ada event spesial di sekolah—demo ekskul atau meeting-class, misalnya. Kau tampil di lapangan dengan warga sekolah duduk menonton di tempat-tempat teduh, atau di dalam ruang kelas dengan teman-teman sekelas dan guru sebagai penonton. Lebih kerennya lagi, dalam pelajaran-pelajaran tertentu juga ada tugas drama. Menurut pengalaman pribadi, tugas drama hanya ada di Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Seni Budaya, dan itu tidak adil. Kau tidak bisa berakting, tidak bisa menyanyi, tidak bisa menari, atau tidak tertarik untuk terjun ke dunia drama tapi dipaksa untuk terjun. Kau lebih suka untuk duduk diam menonton pertunjukkan daripada repot-repot berakting, dan bertepuk tangan sebagai bentuk apresiasi daripada menunjuk orang seenaknya untuk berakting ini-itu. Well, menurut yang kulihat di film dan kubaca di majalah, sekolah-sekolah di Amerika dan di Indonesia (sekolah-sekolah tertentu) justru mengadakan audisi drama (bukan menyiksa murid-muridnya dengan memberi tugas drama), dan cerita yang dipakai adalah cerita karya penulis terkenal macam The Wizard of Oz, Oliver Twist, Romeo-Juliet, Macbeth, dll dst dsb dkk. Jadi, kau tidak perlu repot-repot berkutat dengan otak sepanjang hari memikirkan ide cerita.
Aku pernah baca di majalah kalau para aktris dan aktor Hollywood bisa menjadi seperti itu karena mereka tadinya ikut audisi di sekolah (produser film dkk sendiri yang menyeleksi), atau sering berakting di drama sekolah. Di Indonesia, kalau kau ingin jadi artis—maksudku, berakting di layar lebar atau iklan, kau harus uplot video dulu di YouTube (siap-siap terpana melihat hasil yang telah kau lakukan hanya dengan mengatup-atupkan mulut mengikuti irama lagu sambil joget-joget), menyanyikan sebuah lagu yang liriknya tak biasa, atau jalan-jalan di sebuah mall kece sambil berharap bisa bertemu dengan seorang produser film yang tertarik dengan wajah blasteran atau photogenic.
No comments
Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)