What a heaven. Pagi hari pertama masuk sekolah setelah libur Lebaran dua minggu (yang kurasa terlalu singkat untuk menyelesaikan semua tugas-hari-raya dan menikmati kota Solo) dilewatkan tanpa sakit perut mendadak seolah ada segerombolan cacing Flobber (apa itu cacing Flobber? Kau bisa menemukannya di buku ketiga Harry Potter-red) berlari-lari di dalam usus, seperti biasa yang kualami dalam perjalanan menuju sekolah. Ditambah lagi dengan pikiran bahwa begitu aku masuk ke dalam kelas, semua orang sepakat untuk menjaga jarak dariku dan tidak mau repot-repot lagi membicarakan agenda liburan denganku. Padahal semalam aku sibuk misuh-misuh sendiri betapa liburan sangat singkat dan tugas-hari-raya belum bisa disebut 100% rampung, dan membayangkan keadaan besok di sekolah seperti apa—apakah dilewatkan dengan segerombolan Dementor yang menyerang tiba-tiba sehingga aku harus memikirkan satu kenangan yang paling indah atau para guru sepakat mengubah jam pulang sekolah menjadi lebih cepat. Astaga, siapa sih murid yang bersemangat kembali ke sekolah setelah liburan? Bukan aku.
Tapi ternyata, di sekolah biasa saja—maksudku tidak ada segerombolan Dementor, tentu saja. Pagi hari diawali dengan temu-kangen bersama teman-teman di kelas, saling berjabat tangan, dan bertukar cerita tentang perjalanan mudik yang dihabiskan berjam-jam di dalam mobil. Lalu, seperti tradisi sekolah lainnya: saling berjabat tangan dengan warga sekolah (hal yang kau lakukan hanya berjalan berkeliling di lapangan sambil mengulurkan tangan dan memamerkan senyum terbaikmu). Kabar bagus hari ini: para guru memutuskan untuk mengubah jam pulang sekolah menjadi lebih cepat bahkan tidak ada kegiatan-belajar-mengajar dan well, oke—meskipun kurasa kabar ini biasa saja: seorang siswa pertukaran pelajar dari luar negeri akhirnya menuntut ilmu di sekolahku, dan dia cowok. Dia jangkung dan berambut cokelat.
Tidak, aku tidak bilang dia ganteng. Tapi, yang terpenting di hari pertama masuk sekolah adalah semua orang tidak jadi sepakat untuk menjaga jarak dariku.
Harus kukatakan begitu masuk sekolah, kegiatan yang kau lakukan selain duduk diam mendengarkan guru adalah bergosip. Well, aku tidak tahu apakah hal ini berlaku juga kepada para cowok, tapi satu hal yang membanggakan adalah para cewek tidak pernah kehabisan topik untuk bergosip. Saat orang menyebalkan lewat di depanmu, orang itu akan menjadi obrolan yang tak ada habisnya. Jadi maksudku, kau sudah berpuasa selama satu bulan dan kembali kepada hari yang fitri, tapi tetap saja begitu masuk sekolah dosa-mu bertambah lagi. Hal apa sih yang kulakukan di rumah waktu minggu pertama liburan selain menonton film, membaca buku, dan tamasya ke Dunia Maya?
Tidak, aku tidak bilang aku sibuk mengerjakan semua tugas-hari-raya. Jadi, begitu melihat kalender bahwa besok waktunya untuk kembali ke sekolah, aku teringat dengan tugas-hari-raya, dari mulai membuat peta India sampai mengerjakan soal-soal Math. Jujur saja, aku malas mengerjakannya. Lagipula, siapa sih murid yang bersemangat menyelesaikan tugas di hari libur? Bukan aku. Aku selalu berharap di malam Lailatul Qadar aku mendapat semacam hikmah untuk segera berkutat dengan tugas-hari-raya. Tapi ternyata, sama saja. Eh, halo, maksudku aku
tidak sama-sekali tidak mengerjakan tugas-hari-raya, aku mencoba menyelesaikan beberapa. Setidaknya tugas Math rampung beberapa nomor dan peta India sukses tergambar di buku.
Siapa sih murid yang merindukan bulan Ramadhan ketika waktu belajar di sekolah menjadi lebih singkat bahkan lebih santai, malamnya dilewatkan dengan shalat Tarawih bahkan tanpa tugas dari sekolah setelah itu mendapat liburan selama dua minggu untuk dilewatkan di rumah mBah Solo?
Aku.
No comments
Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)