Powered by Blogger.

November Reads

Reading scene from Beauty and the Beast
Scene from Beauty and the Beast (2017) | Spiegel

Without further ado, this is November Reads!

Baca juga October Reads dan postingan Monthly Reads lainnya, ya.

📚 Daftar Bacaan 📚
1. Ketakberhinggaan di Telapak Tangannya - Gioconda Belli
2. Bagaimana Cara Mengatakan "Tidak"? - Raisa Kamila
3. We Are the Ants - Shaun David Hutchinson
4. Cinderella Liberator - Rebecca Solnit

1. Ketakberhinggaan di Telapak Tangannya

Gioconda Belli


Foto sampul buku Ketakberhinggaan di Telapak Tangannya

Selama ini aku mengetahui kisah Adam dan Hawa dari pelajaran agama saja. Saat membaca sinopsis dan ulasan Ketakberhinggaan di Telapak Tangannya, aku menjadi penasaran; kira-kira bagaimana Adam dan Hawa menjalani hidup setelah turun dari surga, dengan pengetahuan baru yang mereka dapat setelah makan buah terlarang? Di halaman pengantar, Belli bilang bahwa buku ini ditulis setelah membaca sebuah buku lama yang di dalamnya ada kisah Adam dan Hawa. Sesungguhnya, aku pun ingin mengetahui lebih lanjut tentang manusia-manusia pertama di Bumi itu; mulai dari jawaban mengapa mereka ditakdirkan makan buah terlarang sampai diusir dari surga, sampai jawaban mengapa manusia diciptakan. Dan di buku ini aku menemukan jawaban-jawabannya melalui percakapan antara Hawa dan Ular.

Petualangan Adam dan Hawa di Bumi diawali dengan kejadian yang aku yakin semua orang sudah mengetahuinya: makan buah terlarang. Tapi, Hawa tidak serta merta makan, karena setelah diberi tahu Ular bahwa buah itu mengandung pengetahuan tentang Yang Baik dan Yang Jahat, Hawa merenungkan keputusannya terlebih dahulu. Setelah mendapat semacam “penglihatan” tentang manusia-manusia lain yang mirip dirinya, Hawa langsung makan buah itu dan tentu saja, menawarkannya ke Adam yang juga langsung memakannya. Kemudian TA! DA! tiba-tiba mereka “sadar” dan “mengetahui segalanya” akan sekeliling mereka. Kurasa pada saat itu pula mereka mulai memiliki emosi, alias mulai merasakan kegelisahan, ketakutan, kemarahan, rasa sayang pada satu sama lain, dan nafsu, tentu saja. Sebelum makan buah, hidup mereka hanya jalan-jalan keliling surga sambil menyapa para hewan, dan makan kelopak-kelopak putih yang turun dari langit (sungguh monoton tapi damai alias #lifegoals).

Setelah tiba di Bumi, mereka tidak terpisah (tidak seperti yang sudah kuketahui selama ini), tapi kebingungan, ketakutan, dan kelaparan. Akhirnya, mereka menggunakan pengetahuan itu untuk bertahan hidup. Semuanya adalah pengalaman pertama dan baru bagi mereka: mencari makan, mengeluarkan kotoran, seks, membuat api, memasak, bercocok tanam, menstruasi, hujan, musim dingin, bulan, matahari, kegelapan, kehamilan, melahirkan, kelahiran, kematian dll dst dsb. Adam bahkan mempelajari cara berburu dari para hewan, dan itu membuat Hawa takut karena mereka harus membunuh untuk tetap hidup. Keseharian mereka ditemani Ular—yang suka muncul dan pergi tiba-tiba—dengan peringatan dan nasehat. Ular di sini bukan tokoh yang murni jahat atau baik, tapi bisa menjadi keduanya. Yah, seringnya, sih, doi lebih suka sok misterius.

Salah satu adegan yang kusuka adalah ketika Hawa melahirkan. Semua jenis hewan—baik pemangsa maupun mangsa—berbondong-bondong datang menyaksikan persalinan Hawa. Yah, kayak adegan pembuka The Lion King gitu. Ada bagian tentang Kain dan Habel, si kakak beradik yang bertengkar karena perjodohan dan akhirnya terjadi pembunuhan pertama dalam sejarah manusia. Ada juga bagian tentang asal-usul buah ara (buah tin) di Bumi—ternyata dibawa oleh burung Phoenix dari surga sebagai makanan untuk Adam dan Hawa (ya, burung Phoenix yang itu—yang bisa terlahir kembali dari abu); bagian ketika Adam dan Hawa mempelajari bahwa mereka serupa dengan hewan dalam beberapa hal, tapi jauh lebih baik; pemujaan pertama terhadap Tuhan (di buku ini Tuhan disebut sebagai Elokim); dan alasan kenapa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam.

Setiap Adam dan Hawa merasa takjub dengan “ketakberhinggaan di telapak tangan” mereka, aku lebih takjub lagi. Wow, memang benar manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah tercipta—coba lihat bagaimana mereka bisa memberi hidup sekaligus mencabutnya (tunggu, apakah ini sebabnya Setan menolak sujud terhadap manusia???), dan bagaimana mereka bisa melakukan dan mengetahui apa saja hanya dengan mengamati. Melalui kisah tentang manusia-manusia pertama di Bumi, Belli menunjukkan bahwa laki-laki tidak hanya menggunakan akal, sedangkan perempuan tidak hanya menggunakan hati (seolah laki-laki tidak punya perasaan dan perempuan lebih bodoh saja). Well yeah, ngomong-ngomong tentang hal itu, Hawa lah yang selalu lebih sensible daripada Adam. Setiap setelah menemukan ketakjuban baru, Hawa selalu pergi menyendiri untuk berpikir—dan pasti si Ular akan bertugas sebagai semacam konselor. Sebagian besar buku ini juga diceritakan lewat sudut pandang Hawa. Dia bahkan mendokumentasikan hidupnya dengan menggambar di dinding gua (alias lukisan pertama dalam sejarah manusia).

Dan mengenai jawaban dari pertanyaan mengapa manusia diciptakan dan apa tujuan hidup sebenarnya (kalau berdasarkan salah satu ayat di Quran sih untuk beribadah kepada-Nya dan menjadi khalifah, ya???), kurasa aku sudah cukup puas dengan ini:

Bertahan untuk apa, tanya Hawa. Apa artinya berbeda dari hewan jika yang ada cuma bertahan hidup? Jika Hawa memakan buah terlarang, itu karena ia berpikir pasti ada sesuatu yang lebih dari itu.

Mungkin ada yang lebih dari itu, dan tujuannya adalah menemukannya, kata Adam.

Satu hal lagi yang aku suka adalah Belli menyebutkan peran Hawa sebagai “kaki tangan” Tuhan dalam penciptaannya (alias mengandung dan melahirkan). Kemudian aku langsung berpikir yah, kalau begitu kenapa perempuan dianggap manusia kelas dua? Karena membawa dosa asal? Karena makan buah terlarang? Aku malah langsung makin yakin bahwa makhluk favorit Tuhan sebenarnya adalah perempuan. Ada bagian ketika Adam menyalahkan Hawa makan buah terlarang (tunggu, apakah diskriminasi terhadap perempuan disebabkan karena dendam lama Adam???). Dan Hawa menjawab kalau tidak makan buah, semua ini tidak akan terjadi—mereka tidak akan bertemu anak-anak mereka dan tidak akan punya berkah pengetahuan.

Jika Elokim yang mendorong mereka untuk mengambil kebebasan itu, sehingga ia bisa melupakan mereka dan berlanjut menciptakan dunia-dunia lainnya, maka pengetahuan, semua yang telah terjadi sejak pengusiran mereka dari Taman, adalah berkah dan bukan hukuman; sebuah wujud rasa percaya darinya bahwa mereka—serta lainnya yang akan bertumbuh dari mereka serta hidup dan berkembangbiak memenuhi wilayah luas itu—akan menemukan dan membangun bagi diri mereka sendiri sebuah cara hidup yang akan menghibur mereka dari kepastian kematian.

Aku tahu ini hanyalah karya fiksi, dan ada beberapa bagian yang memiliki versi berbeda dalam masing-masing kitab suci. Secara keseluruhan aku lumayan menikmati pengalaman membacanya, walaupun perkembangan ceritanya lambat. Aku juga mendapat semacam harapan baru—yah, seperti apa kata Adam di atas: cara untuk mengetahui arti hidup di dunia adalah dengan terus hidup, kan?

2. Bagaimana Cara Mengatakan "Tidak"?

Raisa Kamila


Foto sampul buku Bagaimana Cara Mengatakan "Tidak"?

Trigger warnings: racism, bullying, rape, sexual harassment

Saat pertama kali melihat sampulnya kukira ini adalah buku self-help. Kemudian, aku membaca sinopsisnya dan langsung mengira ini adalah buku kumpulan esai tentang masalah-masalah yang dihadapi perempuan sepanjang waktu. Tapi, ekspektasiku tidak ada yang benar karena Bagaimana Cara Mengatakan "Tidak"? sebenarnya adalah kumpulan cerpen tentang situasi-situasi tidak nyaman yang diceritakan lewat sudut pandang anak-anak dan remaja perempuan.

Ada cerita tentang hidup di daerah konflik, berharap kepada peri gigi untuk kedatangan seorang ayah, pengalaman menghadapi rasisme dan diskriminasi karena perbedaan agama, mencari kerabat yang hilang, merasa terasingkan di sekolah baru, dan menghadapi lingkungan sekitar yang menyalahkan korban pemerkosaan. Semuanya diceritakan lewat bahasa sederhana layaknya anak-anak yang selalu bertanya kenapa hal-hal itu terjadi dan berusaha memahaminya.

Cerita-cerita favoritku:

Cerita dari Sebelah Masjid Raya

Penjaga toko sepatu menarik tanganku, lalu mengatakan sebaiknya aku tidak pergi ke arah sana. Dua perempuan baru saja diteriaki karena tidak memakai jilbab dan sepertinya, rambut mereka sedang dicukur sebagai hukuman, lanjut penjaga toko sepatu itu. Dari mana orang-orang itu datang? Penjaga toko sepatu hanya menggelengkan kepala dan menganjurkan aku untuk segera mengambil kain untuk menutup kepala.

Pengantar untuk Kunjungan Rutin ke Jalan Kakap pada Hari-hari Libur Nasional

Bunda juga menambahkan yang saat itu terdengar seperti peringatan, dan masih aku ingat hingga sekarang: Tiara adalah anak yang istimewa. Dia mungkin tidak bisa berbicara, tapi dia mengetahui segala rahasia. Saat itu, aku masih berumur tujuh tahun, dan satu-satunya yang terlintas di pikiranku, Tiara adalah balita ajaib yang bisa menunjukkan letak harta karun yang sudah terkubur lama.

Cerita dari Belakang Wihara

“Kemarin ini aku sempat diteriakin orang di pasar, katanya kenapa aku nggak pakai jilbab. Aku jawab balik, saya ini orang Kristen, tapi mereka nggak percaya. Aku panik, karena mereka orang ramai. Tapi tiba-tiba, puji Tuhan, ada orang gereja datang dan bilang, anak ini Kristen, lalu sebut nama orang tuaku, menjelaskan bengkel ayah ada di dekat sana juga. Gila, lemas kakiku!”

Bagaimana Cara Mengatakan “Tidak”?

Pertanyaan pertama, kedua, ketiga, dan keempat dijawab oleh Hawa dengan ringkas: semua terjadi begitu saja, berkali-kali, tanpa pernah ia kehendaki, oleh pelatih debat bahasa Inggris yang juga alumni SMA kami. Pertanyaan kelima, keenam, dan ketujuh membuat Hawa menangis lirih dan lama. April meraih pundak Hawa, mencoba untuk meredakan tangisnya. Aku masih terhenyak mendengar jawaban Hawa, bagaimana ia bisa melakukan sesuatu berkali-kali jika ia memang tidak menghendaki?

3. We Are the Ants

Shaun David Hutchinson


Foto sampul buku We Are the Ants


Trigger warnings: suicide, self-harm, bullying, rape

Jika kau punya kuasa untuk mencegah akhir dunia, apakah kau akan melakukannya?

Kalau kau tanya aku, sudah pasti aku akan setuju dengan pendapat Henry Denton, si protagonis di buku ini. Kalau menilai dari hidupnya, Henry percaya bahwa semuanya akan lebih baik kalau dunia berakhir saja, karena mati pun bukan pilihan yang bagus. Pacarnya, Jesse, baru saja bunuh diri; ibunya tidak bahagia dengan pekerjaannya; neneknya menderita Alzheimer; kakaknya, Charlie, memutuskan untuk punya anak dengan pacarnya dan berhenti kuliah; ayahnya pergi entah ke mana ketika Henry masih kecil; sahabatnya, Audrey, menjauh setelah kematian Jesse; dan beberapa anak merundungnya di sekolah. Suatu hari, Henry diculik alien (iya, memang random) kemudian diberi tahu bahwa di antara milyaran manusia dialah yang terpilih untuk menyelamatkan dunia saat kiamat terjadi di 29 Januari 2016. Pilihan ada di tangan Henry—dia boleh menekan atau tidak menekan tombol “selamatkan dunia”. Henry yakin tidak akan menekan tombol, tapi, kemudian kehadiran Diego, si anak baru di sekolah, membuat Henry memikirkan kembali keputusannya.

Setelah kematian Jesse, Henry mulai berpikir bahwa hidup tidak berarti. Semua menjadi lebih buruk setelah penculikan alien dan Charlie memberitahu kejadian itu ke semua orang di sekolah. Diego adalah satu-satunya yang tidak menganggapnya aneh, juga Miss Faraci, guru kimia, yang selalu menanyakan kabarnya. Setelah beberapa kali mengobrol dengan Diego, Henry perlahan-lahan mulai melihat hal-hal baik dari dunia di sekelilingnya. Hubungannya dengan Audrey kembali baik, menjadi lebih berani untuk berbicara tentang Jesse, menjadi lebih mengenal keluarganya (dan menyadari bahwa mereka menyayanginya), ada Diego yang benar-benar peduli dan akan selalu mengerti, dan akhirnya Henry berpikir bahwa mungkin mereka dan dirinya sendiri memang pantas mendapat kebahagiaan. Mungkin dunia memang pantas diselamatkan.

Walaupun membahas kesehatan mental, sedikit fiksi ilmiah, dan sedikit percintaan, We Are the Ants ringan dan page-turning. Aku penasaran dengan akhir cerita—apakah Henry berhasil menyelamatkan dunia atau tidak. Tapi, setelah tamat aku malah merasa bagaimanapun ceritanya berakhir tidaklah penting, karena yang terpenting adalah hal-hal baik yang ditemukan Henry. Aku juga suka dengan selingan penjelasan bagaimana dunia berakhir yang disisipkan di antara bab-bab (ternyata apapun bisa menjadi penyebabnya kalau tidak terkontrol). Ada yang disebabkan karena meteor jatuh, robot kecil yang ditanamkan ke dalam tubuh, perang dunia ketiga, dan serangga raksasa yang kabur dari laboratorium.

Beberapa tahun lalu, aku juga mengalami apa yang dihadapi Henry: pertanyaan apakah lebih baik mati atau dunia berakhir saja. Tapi, setelah pergi ke bantuan profesional dan mengikuti akun-akun tentang kesehatan mental di media sosial, perlahan-lahan aku mulai memiliki harapan. Aku meyakinkan diri bahwa pasti ada jawaban mengapa harus hidup. Mengapa aku menjawab ya saat ditanya Tuhan apakah ingin hidup di dunia atau tidak. Dan satu cara untuk menemukannya adalah dengan tetap hidup. Sama halnya dengan Henry.

The world pretty much sucks. But the bad shit that happens doesn’t cancel out the good. I mean, a world with people like you in it can’t be totally crap, right?

Life goes on. Kayak lagunya BTS.

We may not get to choose how we die, but we can choose how we live. The universe may forget us, but it doesn’t matter. Because we are the ants, and we’ll keep marching on.

4. Cinderella Liberator

Rebecca Solnit


Foto sampul buku Cinderella Liberator

Cinderella Liberator adalah penceritaan ulang dari dongeng Cinderella melalui sudut pandang feminisme. Premis dan tokoh-tokohnya sama, tapi alih-alih menunjukkan bahwa kebahagiaan yang hakiki bisa didapat setelah menikah dengan pangeran, Cinderella bisa bahagia dan bebas dengan caranya sendiri. Ilustrasi-ilustrasinya digambar oleh Arthur Rackham—dan menurut artikel ini, beliau adalah salah satu pelukis ternama di masa-masa keemasan ilustrasi Inggris. Walaupun ditujukan untuk anak-anak (dan bisa diselesaikan dalam sekali duduk), buku ini juga cocok dibaca oleh orang dewasa karena bagaimanapun dongeng selalu mengasyikkan untuk disimak.

Aku juga baru menyadari asal usul nama Cinderella setelah membacanya: bahwa nama aslinya adalah Ella dan kata “cinder” ditambahkan karena dia selalu tidur di depan perapian sampai-sampai sisa arang (cinder) melubangi bajunya. Solnit menjawab pertanyaanku (dan mungkin kau juga) kenapa sepatu kacanya tidak ikut hilang bersama gaun dan kereta kuda setelah malam berakhir.

The prince handed it to her, and she pulled the other shoe out of her pocket (because all good dresses have big pockets), and put on the glass slippers, which had not disappeared when her dress had turned back into her everyday dress.  Sometimes fairy godmothers forget a detail or two.

Selain itu, hal-hal yang menjadi highlights (dan kusuka) adalah:

✨ Kalau di dalam versi yang sering terdengar, Ibu Peri memperingatkan Cinderella bahwa segala keajaiban yang terjadi—gaun dan kereta kuda—akan menghilang tepat jam 12 malam, tapi di versi ini, Ibu Peri tidak memberi batasan waktu alias membiarkan Cinderella bersenang-senang sepanjang malam.

✨ Setelah pulang ke rumah, Ibu Peri langsung bertanya kepada para tikus dan kadal yang menjadi kusir, pelayan kereta, dan kuda apakah mereka ingin kembali lagi ke wujud asli mereka. Dan Ibu Peri menghargai keinginan mereka, tentu saja.

✨ Ibu Peri sangat menyukai pekerjaannya. Setiap sebelum mengayunkan tongkat sihir, doi selalu terkikik senang.

✨ Solnit menggunakan kata sebut (pronoun) netral untuk orang-orang di istana yang memakai gaun, satin, dan brokat. Kata “she/her” juga digunakan untuk menyebut orang dengan pekerjaan laki-laki, kayak kusir, pelayan kereta, dan pandai besi. Kurasa Solnit ingin menunjukkan bahwa pakaian dan pekerjaan tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin.

✨ Pangeran dan Cinderella menjadi teman baik setelah bertemu, alih-alih menikah.

Someday she will get married, and so will the prince, but not to each other. Right now they are not old enough to get married, so we don’t have to worry about that part of their story.

✨ Solnit memastikan tokoh-tokohnya layak mendapat kebebasan—termasuk untuk mewujudkan mimpi masing-masing. Cinderella punya toko kue dan tidak perlu tinggal di rumahnya lagi, sedangkan Pangeran menjadi petani dan bisa pergi ke mana pun dia mau. Bahkan, saudara-saudara tiri Cinderella juga akhirnya bisa melakukan apa yang mereka suka (tentunya setelah minta maaf ke Cinderella): membuka salon dan toko baju. Selanjutnya, Cinderella—yang selalu baik hati dan tidak sombong—menjadi seorang liberator alias seseorang yang menolong orang lain untuk meraih kebebasannya.

She isn’t a fairy godmother, but she doesn’t need magic to be a liberator—to be someone who helps others figure out how to be free.

Selain menekankan bahwa kebebasan adalah hak semua orang, Cinderella Liberator juga memberi pesan penting:

✨ Selalu ada bagian yang cukup untuk semua orang, jika kau berbagi dengan adil.

✨ Tidak apa-apa meminta bantuan, jika kau memang membutuhkan atau menginginkannya.

✨ Selalu memilih kebaikan.

Everyone can be a fairy godmother if they help someone who needs help, and anyone can be a wicked stepmother. Most of us have some of that hunger in our hearts, but we can still try to be someone who says, “I have plenty”, or even “Here, have this”, and “How are you?”

No comments

Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)