Powered by Blogger.

October Reads

Reading scene from Pan's Labyrinth
Scene from Pan's Labyrinth (2006) | EW

Without further ado, this is October Reads!

Baca juga September Reads dan postingan Monthly Reads lainnya, ya.

📚 Daftar Bacaan 📚
1. The Wolf in Winter (Serigala di Musim Dingin) - John Connolly
2. Lusifer! Lusifer! - Venerdi Handoyo
3. Muslimah yang Diperdebatkan - Kalis Mardiasih
4. Shine - Jessica Jung

1. The Wolf in Winter (Serigala di Musim Dingin)

John Connolly


Foto sampul buku The Wolf in Winter

Aku terkejut (lagi) ketika membaca ini karena mengetahui fakta bahwa ternyata Connolly bisa menulis buku thriller detektif (astaga, beliau benar-benar penulis yang serba bisa).

Charlie Parker adalah seorang detektif swasta yang ingin mengungkap misteri di balik kemakmuran dan ketentraman satu kota kecil di Maine, Prosperous, setelah tewasnya seorang tunawisma bernama Jude. Awalnya, Jude datang ke Prosperous untuk mencari anak perempuannya, Annie, yang bekerja di sana. Tapi, si kepala polisi, Morland, bilang bahwa tidak ada gadis bernama Annie. Beberapa waktu kemudian Jude ditemukan tewas di sebuah basement, dan sebagai seseorang yang mengenal Jude cukup baik, Parker memutuskan untuk membantu pencariannya. Melalui kunjungan ke Prosperous, Parker perlahan-perlahan mempelajari bahwa ternyata kota itu menyimpan sesuatu—entah apa—yang berhubungan dengan satu gereja tua di sana. Sementara itu, Morland dan para anggota dewan Prosperous memikirkan cara untuk menyelamatkan kota mereka dari ancaman-ancaman luar, salah satunya Parker.

Awalnya, aku agak bosan dengan alur ceritanya yang lambat. Dan aku cukup bingung dengan lanjutan cerita dan beberapa tokoh yang muncul di buku-buku sebelumnya (ini merupakan buku ke-12 dari seri Charlie Parker, ngomong-ngomong). Tapi, sebenarnya itu tidak terlalu signifikan, sih, karena aku masih tetap bisa menikmati jalan ceritanya. Ketika membaca bagian gereja tua yang disakralkan oleh para warga Prosperous dan patung-patung aneh yang menghiasi sudut-sudut gereja, aku langsung menduga pasti ini berhubungan dengan cult atau ritual tertentu. Selama menyelesaikan buku ini, aku sempat juga menonton The Devil All The Time di Netflix, dan kurasa ceritanya agak mirip alias sama-sama berlatar di satu kota kecil dengan orang-orang yang saling membunuh untuk bertahan hidup—minus cult saja. Aku juga mencari Prosperous di Google (kebiasaanku setiap setelah membaca/menonton sesuatu pasti langsung riset) dan mempelajari bahwa Prosperous hanya kota fiksi, tapi kota-kota kecil lain di sekitarnya yang juga disebutkan di buku ada di dunia nyata. Dan aku jadi bertanya-tanya kenapa hal-hal aneh selalu terjadi di kota kecil, ya???

2. Lusifer! Lusifer!

Venerdi Handoyo


Foto sampul buku Lusifer! Lusifer!

Pertama kali tahu buku ini dari Instagram POST Santa; katanya mereka akan menerbitkan satu buku lagi. Selain menjual buku, POST Santa—nama toko buku independen di Pasar Santa, Jaksel—juga (sudah) menerbitkan beberapa buku, di antaranya Na Willa (Reda Gaudiamo) dan Semesta (Teddy W. Kusuma dan Maesy Ang) yang kusuka banget. Jadi, aku lumayan excited kira-kira buku apa yang bakal mereka terbitkan selanjutnya. Setiap terbit buku baru, POST Santa selalu mengadakan acara bedah buku dan karena tidak tinggal di Jakarta, aku hanya bisa melihat dokumentasi-nya lewat Instagram. Aku langsung tertarik dengan Lusifer! Lusifer! karena premis ceritanya: eksorsisme alias ritual pengusiran setan dari tubuh Mawarsaron yang mengaku sedang mengandung bayi Lusifer alias Iblis Segala Iblis.

Lusifer! Lusifer! diceritakan lewat sudut pandang Markus Yonatan, seorang anak muda yang sedang berusaha memahami hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Markus dan keluarganya beribadah di Jemaat Kristus Efesia Jakarta. Markus merasa dirinya tidak sereligius keluarganya (dan sedikit merasa bersalah), sehingga di suatu altar call, dia pura-pura lahir baru. Selain menulis renungan rohani, di gereja Markus juga melayani sebagai kakak rohani alias pendamping bagi remaja-remaja yang membutuhkan konseling. Seorang remaja binaannya adalah Lukas Natanael, yang selanjutnya menjadi tokoh penting dalam masalah Mawarsaron.

Setiap selesai membaca satu bab, aku pasti langsung membuka Google. Selain eksorsisme, buku ini juga membahas tentang agama Kristen—yang sebagai penganut agama mayoritas ((mayoritas lmao)) tentu saja aku tidak merasa familiar. Mungkin inilah kenapa Maudy Ayunda suka belajar, karena belajar memang menyenangkan kalau bisa menambah pengetahuan dan membuka sudut pandang baru alias aku jadi mempelajari bahwa di gereja ada berbagai jabatan/posisi lain (tidak hanya pendeta, ternyata), istilah-istilah kayak altar call, lahir baru, pelayanan pelepasan (alias eksorsisme), sampai tokoh-tokoh kayak Singa Yehuda (yang menampilkan gambar Aslan saat kucari di Google). Walaupun begitu, buku ini tidak membingungkan (terutama untukku sebagai penganut agama mayoritas) dan jalan ceritanya masih bisa kunikmati.

Satu hal yang menjadi highlight dari Lusifer! Lusifer! adalah bahwa ternyata fanatisme terjadi di dalam agama manapun. Dan persoalan yang menyangkut duniawi tidak serta merta dapat diselesaikan secara agama. Mawarsaron yang hamil (dan tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya karena masih remaja) seharusnya memerlukan bimbingan dan dukungan dari orang-orang terdekatnya, bukannya didoakan agar roh jahat keluar dari tubuhnya. Aku langsung merasa sesak saat membaca adegan Mawarsaron berteriak-teriak minta tolong karena perutnya sakit, tapi Barisan Pendoa menyangkanya sebagai tipu daya Iblis. Markus yang merasa tidak sereligius orang-orang di sekitarnya sebenarnya adalah satu-satunya tokoh yang punya common sense mengenai masalah Mawarsaron.

3. Muslimah yang Diperdebatkan

Kalis Mardiasih


Foto sampul buku Muslimah yang Diperdebatkan

Saat kuliah agama dulu dengan seorang dosen yang juga ustad artis (hint: pernah beberapa kali muncul di TV bersama Deddy Corbuzier), beliau pernah melontarkan pertanyaan sebelum bubar kelas: bagaimana posisi perempuan dan laki-laki di dalam Islam, terutama Al-Quran. Dan (sayangnya), karena jadwal beliau padat sehingga harus berganti dosen lain, jawaban pertanyaan tersebut yang akan didiskusikan di pertemuan minggu depan akhirnya tidak pernah ada. Aku yang saat itu juga kebetulan sedang baru-barunya belajar feminisme dan gender jadi kecewa. Sampai sekarang, aku masih penasaran dengan itu, tapi sebenarnya aku sudah menemukan jawabannya setelah membaca postingan-postingan Kalis di sosmed (selama ini, aku hanya mengikuti sosmed-nya saja, belum pernah baca bukunya (maafkan aku 🙇), dan membaca tafsir ayat-ayat yang (terutama) berhubungan dengan perempuan. Jawaban yang kutemukan membuatku lega sekali: bahwa ternyata Islam sangat menjunjung kesetaraan dan keadilan gender.

Islam memang memuliakan perempuan, tapi kenyataannya tidak begitu. Bahkan setelah masa-masa jahiliyah berlalu, perempuan masih saja berhadapan dengan represi dan diskriminasi hanya karena jenis kelaminnya (misal: tidak boleh jadi pemimpin/bekerja, tidak boleh berpendidikan tinggi, harus diam di rumah, dsb dst dll). Aku jadi punya kepercayaan bahwa sebenarnya perempuan adalah makhluk yang paling disukai Tuhan sampai-sampai laki-laki cemburu sehingga akhirnya menciptakan dunia yang membatasi ruang gerak perempuan. Oleh karena itu, Kalis di Muslimah yang Diperdebatkan menekankan daripada memperdebatkan siapa yang harus angkat galon dan ukuran panjang-pendek jilbab, lebih baik menciptakan ruang aman untuk semua orang: laki-laki dan perempuan. Kalis juga menekankan bahwa kemuliaan dan kesalihan perempuan tidak diukur melalui jilbab, perempuan memiliki hak untuk didengar dan dipahami, perempuan berhak memilih pilihan apapun untuk dirinya sendiri (termasuk dalam memilih pasangan), dan pentingnya pengesahan RUU PKS.

Ngomong-ngomong, aku suka sindiran Kalis terhadap mereka yang hobi berkomentar "Maaf, sekadar mengingatkan":

Kebanyakan orang terlalu bersemangat menyimak ayat "sampaikanlah walau hanya satu ayat", akhirnya, yang dia pahami bener-bener jadi cuma satu ayat aja, deh.

4. Shine

Jessica Jung


Foto sampul buku Shine

Aku tidak terlalu mengikuti per-K-pop-an, tapi bukan berarti aku tidak suka. Kalau sedang iseng (dan bosan), aku suka menonton video-video BTS dan BLACKPINK (biasku Taehyung dan Rosé, ngomong-ngomong 🕴💃). Aku lumayan menikmati musik dan penampilan mereka. Sebenarnya, secara umum aku lumayan suka K-pop—kalau sudah mengenal grup-nya. Jadi, ketika ada berita tentang Jessica Jung, mantan anggota SNSD (Girl's Generation), yang menulis novel YA pertamanya, aku langsung penasaran sehingga membuka Google. Pengetahuanku tentang SNSD hanya sampai di dua lagu hits-nya (yang dance-nya sering dipraktekkan oleh beberapa teman di kelas saat SMA), sedangkan aku tidak tahu siapa saja anggotanya. Hasil risetku sampai kepada informasi bahwa Jessica sudah keluar dari SNSD dan saat ini punya fashion brand sendiri. Aku juga mempelajari bahwa Jessica pernah tinggal di Amerika sebelum pindah ke Korea untuk menjadi idol. Setelah mencerna informasi itu semua, aku jadi (lumayan) fangirling dengan Jessica, alias cantik, bisa nyanyi, nge-dance, berakting, lancar berbahasa Inggris, punya fashion brand sendiri, nulis buku pula??? Astaga, DAEBAK 👏🙌 (aku langsung follow Instagram-nya, dong lmao). Dan kebetulan sekali di Riveted, buku ini bisa dibaca gratis!!! Sayangnya, tidak tersedia full chapter alias hanya lima bab, tapi tidak masalah untukku. Gramedia juga baru menerbitkan versi terjemahannya dan aku suka sampulnya karena lucu bingit warna ungu gitu 💜.

Shine ditulis berdasarkan pengalaman pribadi Jessica sebagai seorang Korean-American dan trainee K-pop yang direpresentasikan melalui tokoh Rachel Kim (yang juga menjadi penutur). Menurut wawancara-nya dengan TIME, Jessica bilang buku ini bukanlah autobiografi, dan walaupun dia dan Rachel sama-sama seorang Korean-American dan sudah menjadi trainee sejak berusia 11 tahun, Jessica berusaha untuk membuatnya sebagai karya fiksi. Kayak nama manajemen Rachel di mana dia berlatih menjadi idol: DB Entertainment atau kota kelahiran Rachel: New York. Aku pernah mendengar larangan-larangan bagi para trainee, contohnya berpacaran dan punya akun sosmed. Di Shine juga dibahas tentang hal itu, bahwa DB Entertainment melarang para trainee-nya berpacaran, apalagi main sosmed. Bagi Rachel sendiri, hal itu tidak masalah karena dia lebih berfokus kepada mimpinya untuk menjadi seorang bintang K-pop. Kemudian, ada seorang bintang K-pop dari DB yang baru saja debut—namanya Jason Lee—dan menjadi idola para gadis trainee. Karena ini adalah YA, tentu saja pada akhirnya ada adegan pertemuan lucu antara Rachel dan Jason (dilanjut dengan flirting), dan sepertinya akan ditakdirkan menjadi pasangan (tapi, karena versi di Riveted hanya lima bab, jadi aku tidak tahu kelanjutannya seperti apa 🤷‍♀️).

Berdasarkan ulasan-ulasan yang kubaca, sebagian orang membaca Shine untuk "teh"-nya Jessica mengenai industri K-pop. Mungkin tidak sedramatis dan seheboh spill thread di Twitter, tapi aku (jujur saja) agak terguncang dengan apa yang diceritakan di buku ini. Salah satunya adalah bagaimana para trainee berlatih koreografi selama berjam-jam, dan harus berhadapan pula dengan masalah-masalah lain kayak: persaingan antar trainee (dan segala dramanya), menjaga pola makan dan bentuk tubuh, konflik dengan keluarga (kayak ketika ibunya Rachel khawatir dengan masa depan anaknya sehingga menyuruh Rachel untuk mempertimbangkan kuliah), menghadapi xenofobia (kayak ketika Rachel merasa terasingkan oleh trainee lain karena berasal dari Amerika dan akhirnya berteman dengan trainee lain yang berasal dari Jepang), dan mempertahankan penampilan di depan petinggi-petinggi manajemen agar tidak dikeluarkan dari program. Ada bagian ketika Rachel menceritakan seorang trainee tidak jadi debut dan dikeluarkan dari manajemen karena menolak operasi kelopak mata (kelopak mata!!!), dan bagaimana para trainee tidak boleh terlihat berkeringat setelah latihan berjam-jam demi menjaga penampilan. Shine menunjukkan bahwa dunia K-pop tidak selalu gemerlap, dan Rachel khawatir apakah dia cukup pantas untuk bertahan di dunia itu.

They debuted at the top spot and never left it. When I joined DB, I worshipped those girls. I admire them even more now, knowing what they had to go through to get to where they are. But part of me wonders about the girls they left behind. The ones that didn't make it in the group.

Will I be the one on top or the one left in the shadows?

Di wawancara yang sama, Jessica bilang bahwa semua yang terjadi di Shine tergantung penilaian pembaca untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak. Waduh, aku menjadi agak anxious karena memikirkan kemungkinan bahwa semua itu adalah nyata (alias kalau memang nyata, maka dunia K-pop benar-benar keras 😔).

Aku juga menyaksikan hal-hal seperti ini di film dokumenter BLACKPINK Light Up the Sky dan meskipun bukan aku yang menjadi mereka, aku bisa "merasakan" betapa lelahnya menjalani semua itu. Setelah mempelajari apa yang dialami para idol dalam perjuangannya menjadi idol, setiap menonton video-video K-pop aku jadi lebih mengapresiasi dan (diam-diam) agak sedih juga. Tapi, satu hal positif yang bisa diteladani dari mereka adalah kegigihan untuk mewujudkan mimpi/keinginan mereka hingga mengorbankan segala hal. Kalau untuk diriku yang tidak punya energi berlebih untuk itu (dan tidak bisa nyanyi dan nge-dance), dedikasi mereka patut diapresiasi. Jadi, aku benar-benar tidak mengerti terhadap orang-orang yang masih salty terhadap K-pop atau bahkan membencinya.

Sebagai seorang penonton aku hanya bisa berharap semoga apapun yang sudah mereka lalui, sepadan dengan apa yang mereka dapatkan pada akhirnya. Dan sebagai seorang pembaca, aku menikmati pengalaman membaca Shine karena buku bertema K-pop (YA pula!) adalah hal yang baru buatku.

Ngomong-ngomong, Shine akan diadaptasi menjadi film oleh pembuat yang sama dari To All The Boys I've Loved Before (salah satu film romcom kesukaanku). Jessica bahkan berharap adiknya, Krystal (yang juga anggota girl group f(x)) berperan menjadi Rachel. Astaga, aku jadi excited!

No comments

Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)