Powered by Blogger.

June Reads #2

Reading scene from Call Me By Your Name
Scene from Call Me By Your Name (2017) | Chicago Reader

Bagian kedua June Reads.

Baca juga bagian pertamanya, ya.

Ada May Reads dan postingan Monthly Reads lainnya juga, lho.

📚 Daftar Bacaan 📚
1. Aristotle and Dante Discover the Secrets of the Universe - Benjamin Alire Sáenz
2. Forgive Me, Leonard Peacock - Matthew Quick
3. Pembunuhan ABC (The ABC Murders) - Agatha Christie

3. Aristotle and Dante Discover the Secrets of the Universe

Benjamin Alire Sáenz


Foto sampul buku Aristotle and Dante Discover the Secrets of the Universe

Trigger warnings: violence, homophobia

Sudah lama sekali mengincar buku ini sejak mengetahuinya pertama kali lewat twit seseorang (aku lupa nama akunnya). Karena judul yang menarik dan ulasan yang bagus-bagus di Goodreads, aku langsung memasukkan buku ini ke wishlist di setiap marketplace dan toko buku. Mungkin ini adalah buah kesabaranku selama ini (👀) karena akhirnya aku bisa membaca buku ini secara ✨GRATIS✨ di Riveted (terima kasih banyak!).

Premisnya sama seperti They Both Die at the End (yang pernah kubahas di sini) alias sama-sama menceritakan perkembangan karakter dua remaja laki-laki dalam menghadapi hal-hal yang terjadi di luar dan dalam diri mereka (coming-of-age). Berdasarkan judulnya, aku mengira buku ini bakal penuh dengan percakapan intelek dan filosofis ala deeptalk jam 2 pagi (Aristotle dan Dante???!!! Rahasia semesta???!!!)—dan aku sudah mempersiapkan kapasitas otak untuk mencernanya. Eh, ternyata buku ini ringan, page-turning, dan menghangatkan hati!!! Gaya bahasanya nggak muluk-muluk, dialog-dialognya renyah, dan setiap bab-nya pendek-pendek (rata-rata hanya 3 halaman). 

Aritostle—atau Ari karena doi lebih suka dipanggil begitu—adalah anak bungsu, punya kakak laki-laki yang dipenjara dan ayah mantan tentara perang Vietnam, penyendiri, tidak biasa menyatakan perasaannya lewat kata-kata, dan selalu bertanya-tanya tentang apapun. Dante adalah anak tunggal, punya ayah yang bekerja sebagai dosen sastra (itulah asal namanya), menyukai lukisan dan sastra, benci memakai sepatu, dan selalu disukai orang-orang yang mengenalnya. Buku ini diceritakan dari sudut pandang Ari—dengan kecemasan, kesedihan, kebingungan, dan kemarahannya yang kadang-kadang dilampiaskan lewat jurnal. Aku merasa related dengan Ari karena saat di umur-umur segitu (15-16 tahun) aku pun berkutat dengan segala emosi dan konflik internal itu dan yah, itu semua melelahkan (apalagi ditambah dengan kehidupan SMA yang menyebalkan 😒). Ari dan Dante pertama kali bertemu saat liburan musim panas dan setelah itu mereka sering menghabiskan waktu bersama dengan berenang, nongkrong, ngobrol, ketawa-ketawa, baca buku, telponan, dan melihat bintang sambil mencari rahasia-rahasia semesta. Meskipun berbeda karakter, mereka sama-sama anak rumahan, dekat dengan keluarga, dan saling peduli.

Hal lain yang kusuka selain persahabatan Dante dan Ari yang benar-benar tulus adalah dinamika antara Ari dengan orang tuanya. Setiap masalah selalu diselesaikan dengan perbincangan dan Ari dilibatkan, tidak hanya perbincangan antar orang tua sementara si anak hanya duduk diam menunggu keputusan. Lewat perbincangan juga Ari menjadi tahu lebih banyak tentang kakak laki-lakinya (yang tidak pernah dibahas dan seolah dilupakan oleh orang tuanya).

"Someday I'm going to discover all the secrets of universe."

That made me smile.

"What are you going to do with all those secrets, Dante?"

"I'll know what to do with them," he said. "Maybe change the world."

I believe him.

4. Forgive Me, Leonard Peacock

Matthew Quick

Foto sampul buku Forgive Me, Leonard Peacock

Trigger warning: suicide attempt, rape, depression, anti-semitic

Mantap betul, deh, bisa dapat buku ini seharga 30 ribuan saja di Google Books (aku jadi berpikir untuk mulai beralih ke buku-buku digital). Aku selalu suka buku-buku YA yang membahas kesehatan mental—salah satu yang menjadi favoritku adalah All the Bright Places (Jennifer Niven), ngomong-ngomong. 

Setelah membaca beberapa bab, aku berpikir bahwa Leonard Peacock, si protagonis, punya energi yang sama seperti Holden Caulfield di The Catcher in the Rye (J. D. Salinger) alias sama-sama seseorang yang penyendiri, selalu merasa berbeda, tidak bisa berbaur di sekolah, benci terhadap segala hal dan orang-orang di sekitarnya (Leonard memakai istilah übermoron sedangkan Holden memakai phony). Yah, intinya Leonard punya energi besar I'm-not-like-the-other-guys.

Di hari ulang tahunnya, Leonard berencana bunuh diri setelah memberikan hadiah untuk keempat orang spesial dan membunuh Asher Beal, mantan teman dekatnya yang sekarang menjadi penindasnya (yah, di dalam hidupku juga ada seseorang kayak gitu #mendadakdark).

Salah seorang guru Leonard, Herr Silverman, adalah orang yang (pada akhirnya) menyelamatkan Leonard. Tidak banyak guru yang benar-benar peduli dan memperhatikan murid-muridnya (astaga, seumur-umur aku tidak pernah punya guru seperti itu alias ingat namaku saja tidak 💁 #mendadakdarklagi). Herr Silverman menyarankan Leonard menulis surat untuk dirinya di masa depan dan meyakinkan Leonard untuk tetap hidup.

Tadinya aku sudah mempersiapkan diri untuk ending yang bakal mengguncang—mengingat sinopsisnya—dan aku berekspektasi bahwa tidak bakal ada resolusi. Tapi, Forgive Me, Leonard Peacock justru menunjukkan bahwa ternyata masih ada cahaya dalam kegelapan

“My life will get better? You really believe that?” I ask, even though I know what he will say—what most adults would feel they have to say when asked such a question, even though the overwhelming amount of evidence and life experience suggests that people’s lives get worse and worse until you die. Most adults just aren’t happy—that’s a fact.

But I know it will sound less like a lie coming from Herr Silverman.

“It can. If you’re willing to do the work.”

“What work?”

“Not letting the world destroy you. That’s a daily battle.”

5. Pembunuhan ABC (The ABC Murders)

Agatha Christie


Foto sampul buku Pembunuhan ABC (The ABC Murders)

Senang sekali bisa membaca buku ini (dan ribuan buku lainnya) lewat Gramedia Digital secara ✨GRATIS✨ (karena tiba-tiba lewat email dapat penawaran satu bulan langganan gratis, wow terima kasih banyak, Gramed! 🙌).

Di seri Hercule Poirot yang ini, ceritanya disampaikan lewat sudut pandang Kapten Hastings—sahabat Hercule Poirot—seperti halnya Watson di Sherlock Holmes. Setelah sekian buku Poirot yang kubaca, formula yang digunakan selalu sama: ada pembunuhan, melibatkan banyak tokoh yang menjadi saksi dan salah satunya pasti si pelaku, ada seorang gadis cantik yang bikin salfok, dan akhir cerita ketika Poirot dengan sel-sel kelabunya disaksikan semua tokoh membongkar motif, metode, dan identitas si pelaku. Yah, kalau dipikir-pikir ini sebenarnya kayak di kartun Scooby-Doo alias si pelaku sudah pasti menyamar jadi hantu yang selalu menakut-nakuti geng Mystery Inc. alias sebenarnya si pelaku adalah orang-orang yang sudah mereka kenal. 

Aku jadi berpikir apakah karena para polisi kerjanya memang tidak pernah kompeten sehingga Poirot (dan Sherlock Holmes) perlu hadir dan turun tangan (💁).

Sepertinya baru di buku ini aku tahu alasannya kenapa Poirot senang sekali mengumpulkan semua saksi dan mengkonfrontasi si pelaku di akhir cerita:

"Aku yakin, Hastings, tak ada yang lebih berbahaya bagi orang yang menyembunyikan sesuatu kecuali percakapan! Seorang Prancis tua yang bijak pernah berkata padaku, bahwa percakapan adalah penemuan manusia yang bisa digunakannya untuk mencegah pikiran bekerja. Percakapan juga merupakan alat untuk menemukan apa yang ingin disembunyikan seseorang. Manusia itu, Hastings, tidak dapat mengelakkan kesempatan untuk mengungkapkan dirinya sendiri dan kepribadiannya dalam pembicaraan. Setiap kali dia akan cenderung membuka rahasia pribadinya."

The ABC Murders lumayan page-turning, bikin penasaran, dan selalu bikin salah nebak pelaku. Well yeah, kalau aku boleh berkomentar sebenarnya And Then There Were None masih menjadi juara bagiku. Tapi, tetap saja membaca buku-buku Agatha Christie memang selalu menjadi pengalaman yang seru.

Ngomong-ngomong, ada seorang tokoh figuran dalam buku ini yang menggambarkan diriku kalau soal menonton film di bioskop:

Ia tak pernah meninggalkan gedung bioskop dengan tergesa-gesa. Ia selalu membutuhkan beberapa saat untuk kembali pada kenyataan hidup sehari-hari yang membosankan.

Astaga, aku jadi rindu nonton film di bioskop 😔.

The ABC Murders sudah diadaptasi menjadi serial BBC dan dibintangi Rupert Grint.

No comments

Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)