Powered by Blogger.

May Reads #1

Reading Scene from Harry Potter and the Sorcerer's Stone
Scene from Harry Potter and the Sorcerer's Stone (2001) | Mugglenet

Postingan Monthly Reads kali ini dibagi menjadi dua.

Baca juga bagian keduanya, ya.

Ada April Reads dan postingan Monthly Reads lainnya juga, lho.

So yea, without further ado, this is May Reads!

๐Ÿ“š Daftar Bacaan ๐Ÿ“š
1. The Chronicles of Narnia - C. S. Lewis

1. The Chronicles of Narnia

C. S. Lewis


Foto sampul buku The Chronicles of Narnia

Aku belum pernah menamatkan Narnia, jujur saja--padahal ketujuh bukunya sudah mendekam lama di dalam rak sejak film 2005-nya rilis dan hype--aku hanya baru membaca The Magician's Nephew (dan itu juga tidak ingat plot-nya bagaimana). Yah, terima kasih kepada rentang perhatian pendekku. Kemudian, suatu hari aku membaca berita dari web resmi Narnia bahwa ketujuh bukunya akan diadaptasi menjadi film dan serial TV Netflix. Dan aku adalah tipe orang yang harus baca bukunya dulu sebelum nonton filmnya, jadi, setelah menghabiskan antrian buku, aku memutuskan untuk berkomitmen benar-benar menamatkan Narnia. Yah, sebenarnya rencana itu harusnya sudah terlaksana sejak lama, sih, bahkan sejak pertama kali tahu berita itu. Tapi, setelah berkloter-kloter antrian buku--dan tidak ada buku baru lagi--akhirnya aku berhasil menamatkan Narnia! ๐Ÿฅ‚

Ada dua pilihan cara membaca: secara kronologi atau tahun terbit. Aku memilih secara kronologi alias mulai dari prekuelnya dulu (The Magician's Nephew) biar nggak bingung dengan timeline-nya. Aku sudah mengantisipasi bahwa gaya penceritaan dan tema yang digunakan akan seperti His Dark Materials-nya Philip Pullman. Tapi, ternyata tidak perlu repot-repot begitu karena Narnia lebih ringan, lebih lucu (dalam beberapa hal), dan lebih religius (ada yang bilang Narnia adalah antitesis His Dark Materials ๐Ÿ‘€). Aku suka dengan cara Lewis mendeskripsikan perasaan Pevensie Bersaudara saat pertama kali mendengar nama Aslan dan perasaan Jill, Eustace, dan Puddlegum saat baru saja memakan daging Hewan yang Bisa Berbicara. Aku juga menyadari bahwa Narnia adalah buku anak-anak dengan nilai-nilai kehidupan yang patut diteladani, kepercayaan bahwa yang baik akan mengalahkan yang jahat dan yang berbuat keburukan akan kena batunya (alias lurus banget ga, sih).

Ternyata pengalaman membaca buku anak-anak saat sudah berusia dewasa berbeda, ya, dengan saat masih bocah. Aku tidak benar-benar menikmatinya dan terus bertanya-tanya. Misalnya kayak: "Ini mereka gak pada trauma apa setelah melihat perang, raksasa, bertemu penyihir jahat dan singa yang bersinar dan masih pada ingin kembali lagi ke Narnia???" atau "Ini kalau mereka semua mati di Narnia terus di dunia nyatanya gimana???" dst dsb dll yang muncul seiring halaman-halaman baru. Yah, aku tahu namanya juga fiksi, tapi tetap saja aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya-tanya. Astaga demi surai singa, kalau kayak gini caranya aku terdengar kayak Eustace sebelum tobat ๐Ÿ‘€ (yang ngomong-ngomong perkembangan karakter dan redemption arc-nya kusuka banget).

Bagian lain yang mengganggu (selain anak-anak di bawah umur yang sudah ikut berperang) dan mengguncang jiwa adalah: takdir Susan setelah kecelakaan itu dan alasan kenapa dia diperlakukan seperti itu. Yah, aku yakin semua orang yang sudah menamatkan Narnia pasti mempermasalahkan ini juga. Bahkan J. K. Rowling dan Philip Pullman pun juga begitu. Aku pernah membaca salah satu cerpen Neil Gaiman yang membahas ini di buku kumcernya (Fragile Things), judulnya The Problem of Susan (yang selanjutnya menjadi kata kunci dalam diskusi dan perdebatan para pembaca Narnia). Gaiman membahasnya ala fan fiction dengan menghadirkan tokoh Susan yang sudah menjadi profesor tua (dan dikenal sebagai Prof. Hastings) dan jurnalis bernama Greta yang datang untuk mewawancarainya tentang fiksi anak.

Well yeah, saat pertama kali membacanya aku tidak pernah menyangka bakal mengandung spoiler tentang ending Narnia, dan aku benar-benar kaget tentang itu. Cerpennya sendiri pun cukup mengguncang jiwa. Setelah menamatkan Narnia, aku membaca ulang cerpen ini untuk memastikan lagi--seperti halnya membaca penjelasan ending suatu film setelah menontonnya. Aku juga mencari penjelasannya lewat thread di Reddit, ulasan-ulasan di Goodreads, dan postingan-postingan blog. Setiap orang punya pendapat masing-masing. Ada yang bilang karena Susan sedang puber, murtad, lebih mementingkan urusan duniawi daripada akhirat (orang-orang bilang Narnia adalah alegori kisah-kisah kitab suci), dan karena Lewis seksis/misoginis (yang beberapa orang menentangnya dengan fakta bahwa Lewis justru menjadikan tokoh-tokoh utamanya perempuan).

Menurut salah satu postingan blog ini, mungkin Lewis menulis ending-nya seperti itu karena ingin menunjukkan kepada para pembaca bahwa inilah yang terjadi jika kau berhenti percaya. Kalau ingin memanusiakan Susan--bagaimanapun dia adalah tokoh fiksi ๐Ÿ’--ending-nya kejam betul dan membuatku cemas banget terhadap Susan. Tapi, kembali lagi namanya juga fiksi alias seperti yang kubaca di Normal People (yang kubahas di postingan selanjutnya) bahwa mencemaskan tokoh fiksi tidak serius secara intelektual ๐Ÿ’). Dan, sebanyak apapun aku melayangkan protes, ending-nya tetap tidak akan berubah. Aku berharap banget nanti serial TV-nya (yang sedang digarap Netflix) bisa memecahkan masalah Susan ini atau setidaknya mengemas ending-nya dengan lebih menghibur, karena melalui serial TV yang setiap episode-nya 45-55 menit tentu saja ada banyak bagian dari buku yang masih bisa dikembangkan. Sementara itu, aku lumayan terhibur dengan postingan Tumblr ini yang menulis ending alternatif tanpa mengubah fakta bahwa Susan masih sekeren yang pembaca pikir.

Terlepas dari Susan, aku suka dengan ending sisanya. Aku suka dengan "Narnia Baru sebenarnya adalah Narnia Lama" sehingga Pevensie Bersaudara, Jill, dan Eustace pada akhirnya tidak akan pernah lagi meninggalkan Narnia untuk kembali ke dunia nyata. The Voyage of Dawn Treader adalah favoritku karena ada Caspian yang gayeng, pemberani, dan lovable (mohon maaf, nih, Peter memang Raja Agung tapi Caspian ๐Ÿ‘Œ๐Ÿ‘Œ๐Ÿ‘Œ๐Ÿคด๐Ÿป⚔), redemption arc-nya Eustace yang well-written ๐Ÿ™Œ, Reepicheep si tikus kemlinthi, para Dufflepud yang lucu, petualangan di setiap pulau yang seru-seru, dan yang pasti TIDAK ADA PERANG. Aku juga suka karakter Puddlegum (si marsh-wiggle yang pesimistis) di The Silver Chair (HE IS THE WHOLE MOOD).

Ngomong-ngomong, aku setuju dengan kutipan di The Horse and His Boy:
Salah satu kekurangan berpetualang adalah ketika kau tiba di tempat-tempat yang indah sekali, kau sering kali terlalu cemas dan terburu-buru untuk menghargai tempat-tempat itu.

Dan kutipan di The Silver Chair ini mencerahkan:
Menangis tidak apa-apa asalkan secukupnya. Tapi, kau harus berhenti cepat atau lambat, kemudian kau masih harus memutuskan apa yang harus dilakukan.

No comments

Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (แต”แดฅแต”)