Scene from Before Sunrise (1995) | Film Grab |
Karena tidak ada lagi tumpukan buku baru dan untuk berhemat, aku memutuskan untuk membaca buku-buku yang "seadanya saja" (no 3 dan 4 kuunduh gratis dari Project Gutenberg). Yah, kecuali buku nomor 2 yang kubeli saat diskon #StayAtHome Periplus (kapan lagi, coba?).
So yea, without further ado, this is April Reads!
Baca juga March Reads dan postingan Monthly Reads lainnya, ya.
📚 Daftar Bacaan 📚
1. The Chrysalids - John Wyndham
2. They Both Die at the End - Adam Silvera
3. What Men Live By and Other Tales - Leo Tolstoy
4. The Yellow Wallpaper - Charlotte Perkins Gilman
1. The Chrysalids
John Wyndham
Meskipun bertema post-apocalypse slash science fiction slash dystopia, buku ini tidak terlalu page-turning. Mungkin karena lexile level-ku atau kosakata/gaya bahasa yang dipakai Wyndham alias aku butuh beberapa kali ulangan membaca kalimat/paragraf yang sama agar bisa mengerti maksudnya apa. Tipikal buku-buku post-apocalypse, motivasi terbesar dari para tokohnya adalah untuk bertahan hidup, kemudian di tengah-tengah cerita mereka dihadapkan dengan situasi/peristiwa yang mengancam nyawa. Alih-alih strain virus baru yang dapat mengubah semua orang menjadi zombie, ledakan nuklir (yang disebut Tribulation dalam buku ini) menjadi apocalypse-nya. Setelah Tribulation, muncul mutasi genetik (yang disebut Deviation dalam buku ini dan menjadi hal yang paling dibenci). Apapun yang tercipta dari mutasi genetik--jari kaki berjumlah enam, kucing yang nggak punya ekor, kuda bertubuh besar, tumbuhan dengan bentuk daun yang tidak biasa--dianggap sebagai blasphemy alias melecehkan Tuhan dan harus "disterilisasi".
Si tokoh utama, David, ternyata diam-diam punya Deviation, yaitu bisa berkomunikasi dengan pikiran. Sayangnya, David yang malang tidak bisa hidup tenang, takut dan cemas setiap hari kalau-kalau seseorang tahu rahasianya. Ditambah lagi dengan ayahnya dan para warga Waknuk (kota tempatnya tinggal) beserta pemerintahnya yang amat sangat konservatif dan memuja kesempurnaan alias membenci Deviation. Bahkan, para bayi yang baru lahir pun harus diperiksa petugas pemerintah sebelum mendapat akta lahir. Untungnya, David tidak menderita sendiri. Ada sepupu jauhnya, Rosalind; adik perempuannya, Petra; dan beberapa anak lain yang juga sama-sama bisa berkomunikasi dengan pikiran. Dan ada Sophie, teman masa kecil David, yang punya jari kaki berjumlah enam.
Kalau di Waknuk apapun yang punya Deviation dianggap melecehkan Tuhan, di Fringes (suatu daerah di luar Waknuk yang dianggap asing, primitif, dan berbahaya) ada berbagai macam Deviation dan dianggap biasa saja. Setelah terjadi suatu peristiwa, David dkk memutuskan untuk melarikan diri (dan mencari perlindungan) ke Fringes. Yah, memang malang nasib mereka, ternyata di Fringes pun sama buruknya dengan Waknuk. Tapi, tiba-tiba ada deus ex machina yang muncul entah dari mana! (YES!!! 🙌). Ternyata, para pahlawan kesiangan ini juga punya Deviation yang sama dan datang dari Sealand (suatu daerah yang terdengar utopis dan sangat modern) menggunakan zeppelin. Di Sealand semua orang bisa berkomunikasi dengan pikiran, tapi siapapun yang tidak punya kemampuan itu dianggap inferior.
Yah, meskipun masalah sebenarnya belum teratasi, aku cukup lega David dkk pada akhirnya tidak perlu berlari lagi.
Yah, meskipun masalah sebenarnya belum teratasi, aku cukup lega David dkk pada akhirnya tidak perlu berlari lagi.
2. They Both Die at the End
Adam Silvera
Akhirnya baca buku YA (young adult) lagi. Apapun plot dan temanya, YA memang selalu jadi comfort-reads alias bikin mood jadi baik lagi (dan kewarasan pun terjaga) kayak setelah nonton film Disney. Judul buku ini memang terdengar menyedihkan (dan mengandung spoiler), tapi plot-nya sederhana dan gaya bahasa-nya tidak berat. Hanya tentang dua remaja laki-laki, Mateo dan Rufus, yang menikmati jam-jam terakhir mereka sebelum mati sambil jalan-jalan naik sepeda, makan di kedai favorit, ngobrol, beli buku dan kartu pos, naik wahana, foto-foto, dansa-dansi, dan karakoean. Kayak tokoh Jesse dan Céline di film "Before Sunrise".
Mateo dan Rufus hidup di kota yang sama, tapi di dunia mereka ada Death-Cast, suatu layanan pemberitahuan kematian lewat telepon di tengah malam atau di 24 jam terakhir si Decker, sebutan untuk si penerima telepon yang akan mati. Siapapun--tidak peduli usia, pekerjaan, atau kondisi fisik--yang menerima telepon itu sudah pasti akan mati dalam 24 jam. Tidak dijelaskan dari mana perusahaan Death-Cast ini mendapat informasi, pokoknya mereka tahu begitu saja. Dan, sebagai bentuk belasungkawa kepada para Deckers (yang tentu saja tidak akan menyia-nyiakan hari terakhir mereka), ada diskon dan gratisan di restoran-restoran dan transportasi, tempat rekreasi macam World Travel Arena (bisa keliling dunia dalam 80 menit alih-alih 80 hari) dan Make-A-Moment (bisa mencoba hal-hal ekstrem kayak skydiving atau renang bersama hiu hanya dengan VR), dan klub Clint's Graveyard (bisa minum-minum, dansa-dansi, dan karakoean). Ada juga Last Friend (aplikasi pencari teman yang mempertemukan Mateo dan Rufus) dan CountDowners (situs berisi cerita-cerita para Deckers).
Buku ini diceritakan dari sudut pandang banyak tokoh. Kecuali Mateo dan Rufus dengan kata ganti pertama, tokoh-tokoh lain menggunakan kata ganti ketiga. Ada The Plutos (geng-nya Rufus dari foster home), seorang laki-laki yang ingin membom sebuah gym, seorang karyawan Death-Cast yang baru saja putus dari tunangannya, seorang aktor ternama dari film franchise mirip-mirip Harry Potter yang mendapat panggilan Death-Cast, seorang jurnalis (dengan rambut warna-warni aurora) yang ingin mewawancarai si aktor, seorang karyawan Make-A-Moment yang sedang menulis novel terinspirasi dari Death-Cast, dan geng tanpa nama yang ingin membalas dendam kepada Rufus. Semuanya saling berhubungan dengan takdir Mateo dan Rufus (meskipun hanya papasan saat turun dari kereta), dan terjadi dalam waktu 24 jam. Mateo dan Rufus nggak hanya saling menemukan teman, pada akhirnya mereka juga saling menemukan diri masing-masing. Mateo--yang nerd dan anak rumahan--menjadi lebih berani, dan Rufus--yang masih berduka karena kematian keluarganya--bisa move on.
Satu hal yang kudapat setelah membaca They Both Die at the End: apapun yang menakutimu ternyata tidak akan menjadi semenakutkan itu jika ada teman di sampingmu.
Berisi empat cerita dengan plot sederhana dan kata-kata mutiara yang bisa digunakan sebagai captionnggak nyambung untuk potret diri di Instagram.
1. What Men Live By: bercerita tentang seorang malaikat yang menolak mencabut nyawa seorang wanita dengan dua bayi kembar. Sebagai hukuman dari penolakannya, Tuhan mengubahnya menjadi manusia dan disuruh mencari jawaban dari tiga pertanyaan: apa yang ada di dalam manusia (what dwells in man), apa yang tidak diberikan kepada manusia (what is not given to man), dan apa yang menjadi tujuan hidup manusia (what men live by).
Kata-kata mutiara:
2. Three Questions: bercerita tentang seorang raja yang bergumul dengan tiga pertanyaan: bagaimana caranya mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai sesuatu, siapa saja orang-orang yang harus didengar dan dibutuhkan, dan apa hal paling penting yang harus diperhatikan terlebih dahulu.
Kata-kata mutiara:
3. The Coffee-House of Surat: bercerita tentang para pemuka agama yang memperdebatkan siapa Tuhan menurut agama mereka masing-masing di sebuah kedai kopi di Surat, India. Sebelum mereka saling gelut, tiba-tiba ada seseorang bijak (dan penganut paham Confucius) yang mencoba menengahi dengan analogi matahari.
Kata-kata mutiara:
4. How Much Land Does A Man Need?: bercerita tentang seorang juragan tanah yang ingin memiliki tanah seluas-luasnya. Si juragan tanah semakin serakah saat mengetahui bahwa di desa sebelah ada satu komunitas yang menjual tanah murah dengan satu syarat sederhana.
Kata-kata mutiara:
Bercerita tentang seorang wanita yang didiagnosis suaminya--yang seorang dokter--mengalami temporary nervous depression dan disuruh beristirahat di sebuah kamar (dengan kertas dinding warna kuning) untuk pengobatannya. Si wanita dilarang melakukan apapun yang menurut si suami bakal memperburuk kondisinya, kayak jalan-jalan di taman, bertemu teman-teman dan keluarga, dan... menulis! Lebih buruk lagi, adanya kertas dinding warna kuning (dengan pola menyerupai figur wanita seolah-olah terperangkap di dalamnya) yang mulai mengganggu dan bikin penasaran.
Sedihnya, si suami (dan saudara laki-laki si wanita yang juga seorang dokter) menganggap bahwa kondisi mental si wanita bukanlah apa-apa:
Satu hal yang kudapat setelah membaca They Both Die at the End: apapun yang menakutimu ternyata tidak akan menjadi semenakutkan itu jika ada teman di sampingmu.
3. What Men Live By and Other Tales
Leo Tolstoy
Berisi empat cerita dengan plot sederhana dan kata-kata mutiara yang bisa digunakan sebagai caption
1. What Men Live By: bercerita tentang seorang malaikat yang menolak mencabut nyawa seorang wanita dengan dua bayi kembar. Sebagai hukuman dari penolakannya, Tuhan mengubahnya menjadi manusia dan disuruh mencari jawaban dari tiga pertanyaan: apa yang ada di dalam manusia (what dwells in man), apa yang tidak diberikan kepada manusia (what is not given to man), dan apa yang menjadi tujuan hidup manusia (what men live by).
Kata-kata mutiara:
I have learnt that all men live not by care for themselves but by love.
2. Three Questions: bercerita tentang seorang raja yang bergumul dengan tiga pertanyaan: bagaimana caranya mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai sesuatu, siapa saja orang-orang yang harus didengar dan dibutuhkan, dan apa hal paling penting yang harus diperhatikan terlebih dahulu.
Kata-kata mutiara:
There is only one time that is important--Now! It is the most important time because it is the only time when we have any power.
3. The Coffee-House of Surat: bercerita tentang para pemuka agama yang memperdebatkan siapa Tuhan menurut agama mereka masing-masing di sebuah kedai kopi di Surat, India. Sebelum mereka saling gelut, tiba-tiba ada seseorang bijak (dan penganut paham Confucius) yang mencoba menengahi dengan analogi matahari.
Kata-kata mutiara:
Let him who sees the sun's whole light filling the world, refrain from blaming or despising the superstitious man, who in his own idol sees one ray of that same light. Let him not despise even the unbeliever who is blind and cannot see the sun at all.
4. How Much Land Does A Man Need?: bercerita tentang seorang juragan tanah yang ingin memiliki tanah seluas-luasnya. Si juragan tanah semakin serakah saat mengetahui bahwa di desa sebelah ada satu komunitas yang menjual tanah murah dengan satu syarat sederhana.
Kata-kata mutiara:
Six feet from his head to his heels was all he needed.
4. The Yellow Wallpaper
Charlotte Perkins Gilman
Bercerita tentang seorang wanita yang didiagnosis suaminya--yang seorang dokter--mengalami temporary nervous depression dan disuruh beristirahat di sebuah kamar (dengan kertas dinding warna kuning) untuk pengobatannya. Si wanita dilarang melakukan apapun yang menurut si suami bakal memperburuk kondisinya, kayak jalan-jalan di taman, bertemu teman-teman dan keluarga, dan... menulis! Lebih buruk lagi, adanya kertas dinding warna kuning (dengan pola menyerupai figur wanita seolah-olah terperangkap di dalamnya) yang mulai mengganggu dan bikin penasaran.
Sedihnya, si suami (dan saudara laki-laki si wanita yang juga seorang dokter) menganggap bahwa kondisi mental si wanita bukanlah apa-apa:
If a physician of high standing, and one's own husband, assures friends and relatives that there is really nothing the matter with one but temporary nervous depression--a slight hysterical tendency--what is one to do?
My brother is also a physician, and also of high standing, and says the same thing.Semakin sedih lagi, si suami tidak memvalidasi kondisi mental si wanita:
He knows there is no reason to suffer, and that satisfies him.
dan akhirnya si wanita jadi merasa bersalah, frustrasi, dan burn-out.
Awalnya, aku mengira The Yellow Wallpaper adalah cerpen horor dengan tema mental illness. Setelah meriset-nya dari Google, ternyata cerpen ini tidak hanya ditulis sebagai cerpen horor, tapi juga ditulis sebagai bentuk kritik terhadap cara pengobatan mental illness di zaman itu (yah, di zaman sekarang pun masih). Gilman juga menulisnya untuk menggambarkan kondisi perempuan (terutama dalam pernikahan) yang terbatas pada pekerjaan domestik dan tidak boleh berkembang (kayak figur wanita yang terperangkap di dalam kertas dinding itu).
Ada satu hal yang kusadari dan menggangguku bahkan setelah selesai membacanya. Semakin aku memikirkannya, semakin bikin merinding pula: bagian tentang si wanita yang mengira bahwa kamar itu dulunya dipakai sebagai ruang anak/bayi karena adanya tempat tidur yang dipaku di lantai, kertas dinding yang terkoyak-koyak, cincin-cincin besi di dinding, dan teralis di jendela.
Awalnya, aku mengira The Yellow Wallpaper adalah cerpen horor dengan tema mental illness. Setelah meriset-nya dari Google, ternyata cerpen ini tidak hanya ditulis sebagai cerpen horor, tapi juga ditulis sebagai bentuk kritik terhadap cara pengobatan mental illness di zaman itu (yah, di zaman sekarang pun masih). Gilman juga menulisnya untuk menggambarkan kondisi perempuan (terutama dalam pernikahan) yang terbatas pada pekerjaan domestik dan tidak boleh berkembang (kayak figur wanita yang terperangkap di dalam kertas dinding itu).
Ada satu hal yang kusadari dan menggangguku bahkan setelah selesai membacanya. Semakin aku memikirkannya, semakin bikin merinding pula: bagian tentang si wanita yang mengira bahwa kamar itu dulunya dipakai sebagai ruang anak/bayi karena adanya tempat tidur yang dipaku di lantai, kertas dinding yang terkoyak-koyak, cincin-cincin besi di dinding, dan teralis di jendela.
No comments
Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)