Powered by Blogger.

May Reads #2

Reading scene from Harry Potter and the Sorcerer's Stone
Scene from Harry Potter and the Sorcerer's Stone (2001) | Mugglenet

Bagian kedua May Reads.

Baca juga bagian pertamanya, ya.

Ada April Reads dan postingan Monthly Reads lainnya, lho.

📚 Daftar Bacaan 📚
1. Normal People - Sally Rooney
2. Since You've Been Gone - Morgan Matson

2. Normal People

Sally Rooney


Foto sampul buku Normal People

Sudah lama mengincar buku ini setelah sering melihatnya di akun-akun bookstagram dan muncul di rekomendasi Goodreads. Aku penasaran kenapa buku ini begitu populer, dan kalau ingin mengetahui alasannya tentu saja aku harus membacanya. Tapi, karena harganya tidak begitu affordable akhirnya buku ini harus mendekam dulu di wishlist. Kemudian suatu hari aku mendapati bahwa Penerbit Bentang ternyata sudah menerbitkan versi terjemahannya (alias lebih murah). Yah, tentu saja aku langsung membelinya di Shopee (karena gratis ongkir memang benar-benar tak terelakkan ✨). 

Premisnya adalah tentang kehidupan percintaan antara dua anak muda: Connell si populer dan Marianne si penyendiri. Memang terdengar generik ala YA, tapi saat membaca bab pertama ketika Marianne pertama kali ngobrol santai dengan Connell di dapur rumahnya sambil ngemil coklat oles (dan membuatku ingin ngemil juga), aku tidak pernah berekspektasi bahwa tone ceritanya akan berubah lebih muram. Perkembangan ceritanya lambat karena selalu diselingi flashback para tokohnya (kayak keadaan pikiranku setiap sedang berusaha fokus untuk waktu sekarang) dan membuatku agak bingung dengan timeline-nya. Dinamika antara Marianne dan Connell nggak sempurna alias nggak punya status yang jelas (alias hanya teman-tapi-mesra) dan sering putus-nyambung (mungkin karena ada sesuatu yang belum terkoneksi di antara mereka—entah karena miskomunikasi atau karena mereka masih mempelajari perubahan yang sedang terjadi di antara mereka).

Aku bukanlah pakar dalam hal beginian, tapi mungkin alasan kenapa buku ini populer adalah karena orang-orang suka dengan bagaimana Rooney menggambarkan hubungan Connell dan Marianne secara real dan intim di tengah-tengah pembahasan politik, kuasa, kesehatan mental, perbedaan kelas sosial, dan peran gender??? Well yeah, sebenarnya aku masih belum begitu dapet, sih. Tapi, satu hal yang kudapat adalah buku ini nggak semulus novel-novel romance pada umumnya: ketemuan, jadian, dan hidup bahagia selamanya.

Bisa dibilang buku ini termasuk coming-of-age karena menceritakan perkembangan karakter Connell dan Marianne dalam kehidupan mereka yang kontras dan bagaimana mereka merespons perbedaan itu. Connell berasal dari kelas pekerja dan ibunya bekerja di rumah Marianne untuk bersih-bersih, sedangkan Marianne berasal dari kelas menengah atas dan tinggal dengan kakak laki-laki yang abusif dan ibu yang tidak pernah peduli. Mereka sama-sama intelek—melek politik, sering berdiskusi topik-topik serius, dan mendapat beasiswa saat kuliah. Connell selalu tampak bersikap dan menjalani hidup sebagai orang normal, sedangkan Marianne selalu ingin menjadi orang normal dan menjalani hidup senormal orang lain. Mungkin inilah kenapa judulnya Normal People—yang sebenarnya menggambarkan kebingungan Marianne dan Connell dalam memilih antara menjadi diri sendiri atau mengikuti definisi normal itu. Dan apapun yang tampak normal sebenarnya tidak begitu.

Bagian yang kusuka dari buku ini—selain bikin baper (maafkan aku atas penggunaan frasa ini)--adalah tentang bagaimana seseorang bisa mengubah hidupmu. 

Connell telah memunculkan kebaikan Marianne seperti hadiah, dan kini kebaikan itu menjadi milik Marianne. Sementara itu, kehidupan Connell terbentang di hadapannya sekaligus. Mereka telah melakukan banyak kebaikan untuk satu sama lain. Sungguh, pikir Marianne, sungguh. Orang bisa benar-benar mengubah satu sama lain.

Marianne yang seumur hidupnya tinggal di lingkungan toksik sampai berpikir dirinya tidak pantas untuk dicintai, akhirnya bertemu Connell yang peduli dan mencintainya, dan Connell yang selalu berusaha untuk bersikap sesuai ekspektasi orang lain, akhirnya bisa menjadi dirinya sendiri ketika bersama Marianne. Aku juga suka dengan ending-nya yang terbuka alias tergantung kepada imajinasi pembaca karena sudah pasti nggak akan mengecewakan.

Ngomong-ngomong, buku ini sudah diadaptasi menjadi serial dan sedang ditayangkan di Hulu.

3. Since You've Been Gone

Morgan Matson


Foto sampul buku Since You've Been Gone

Hal pertama yang membuatku tertarik untuk baca adalah sampulnya. Lucu banget bergambar dua cewek lagi asyik makan es krim. Setelah melihatnya aku langsung tahu bahwa ini adalah semacam buku YA yang cocok dibaca di musim panas (yah, kalau di Indonesia buku ini cocok-cocok saja dibaca di musim manapun). Aku membacanya gratis (dan legal) di situs Riveted (Terima kasih untuk si sender di akun Twitter @literarybase yang sudah memberi tahu tentang situs ini 🙌). Hal kedua yang menarikku adalah ulasannya di Goodreads yang bagus-bagus dan sinopsisnya yang lumayan bikin penasaran.

Namanya juga YA, buku ini tentu saja berkisah tentang kehidupan anak muda. Si protagonis, Emily, adalah anak yang pemalu dan hanya punya Sloane sebagai teman dekatnya. Dia juga punya seorang adik laki-laki yang hobi menjadi ninja dan kedua orang tua yang hobi menulis naskah drama. Suatu hari di liburan musim panas, Sloane tiba-tiba menghilang, telepon tidak diangkat, pesan tidak dibalas, rumahnya kosong, dan hanya meninggalkan daftar berisi 13 hal yang harus dilakukan (dan diselesaikan) Emily. Bagi sebagian orang mungkin 13 hal itu terdengar biasa saja dan kurang menantang, tapi bagi Emily cukup sulit. Seperti apa yang dia bilang:
 
I don't think you have to do something so big to be brave. And it's the little things that are harder anyway.

Syukurlah, Emily mendapat bala bantuan dari teman-teman barunya: Frank si juara kelas, Collins si sok asik, dan Dawn dari resto pizza sebelah yang suportif. Emily adalah tokoh yang relatable (yah, meskipun gak bisa relate dengan punya sahabat yang seru kayak Sloane). Tapi, aku mengerti betul kebingungan dan ketakutan Emily di interaksi sosial macam memulai percakapan dengan orang baru atau datang ke suatu perkumpulan tanpa mengenal siapapun. Aku suka dengan perkembangan karakternya: dari seseorang yang pemalu, selalu bergantung pada Sloane, dan takut di-judge ketika pergi ke tempat publik sendirian menjadi seseorang yang lebih berani dan independen. Emily nggak hanya berhasil menamatkan daftar Sloane dan menemukan di mana Sloane berada, dia juga pada akhirnya punya banyak teman. Aku juga suka dengan karakter Frank yang selalu dapat diandalkan entah jadi supir pribadi, teman curhat, teman berbagi mixtape, atau penyelamat Emily dari situasi canggung (alias doi benar-benar the-boy-next-door ❤).

Kalau aku boleh berkomentar, keseluruhan dialog dan plot-nya cenderung flat alias tidak ada konflik/tensi yang beneran terjadi. Dan aku sering mendapati bagian-bagian yang membosankan (yang pada akhirnya aku lewatkan saja) kayak dialog yang disela dengan deskripsi bahasa tubuh, ekspresi, atau perasaan si tokoh saat itu seolah-olah percakapan dipause sebentar. Well yeah, sebenarnya buku ini punya energi yang sama kayak film-film rom-com atau drama remaja produksi Netflix: ringan, nggak memusingkan, beberapa bagian bikin memutar bola mata atau mendesah "Hah apaan sih", tapi sebagian juga bikin senyum-senyum sendiri.

Bagaimanapun, membaca YA selalu menjadi pengalaman yang menyenangkan, dan membaca buku ini terasa seperti makan es krim di hari yang panas.

No comments

Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)