Powered by Blogger.

March Reads

Reading scene from Moonrise Kingdom
Scene from Moonrise Kingdom (2012) | Rebloggy

Sungguh bulan yang menakjubkan. Setiap hari hanya commuting dari kamar ke meja makan ke kamar mandi ke kamar lagi. Berita di TV hanya menayangkan tentang kasus yang semakin bertambah. Cuci tangan sambil menggumamkan lagu selama 20 detik. Toko-toko swalayan berasa kayak Cornucopia di Hunger Games. Pergi belanja berasa kayak scene menyetir mobil di Bird Box (bagian deg-degannya, maksudnya).  Agar tetap waras dan tidak terserang cabin fever kayak Jack Torrance di The Shining, aku melewatkan waktu dengan Netflix-an, menggubah signature song baru untuk para kucing, pergi belanja sambil melihat keadaan di kota dari dalam mobil, dan--tentu saja--baca buku.

Jadi, without further ado, inilah buku-buku yang kubaca selama #DiRumahAja alias March Reads.

Baca juga February Reads dan postingan Monthly Reads lainnya, ya.

📚 Daftar Bacaan 📚
1. Kuda Poni Merah - John Steinbeck
2. The Pearl - John Steinbeck
3. Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 - Cho Nam-Joo
4. Little Fires Everywhere - Celeste Ng

1. Kuda Poni Merah

John Steinbeck


Foto sampul buku Kuda Poni Merah

Kuda Poni Merah adalah buku Steinbeck kedelapan yang kubaca. Of Mice and Men adalah buku yang pertama kali kubaca, dan setelah menamatkannya aku jadi ingin membaca buku-bukunya yang lain. Steinbeck adalah salah satu penulis favoritku, dan aku senang setiap ada buku terjemahan baru yang diterbitkan penerbit lokal (well yeah, karena versi terjemahan lebih murah, tentu saja 👀). Aku suka dengan cara Steinbeck menciptakan tokoh-tokoh-nya dengan sifat dan tindak tanduk yang tidak sempurna-sempurna amat--kadang kompas moral mereka membuatku bingung dan kesal--tapi menghangatkan hati ketika pada akhirnya aku mengerti motivasi mereka. Dan bagaimana buku-bukunya berakhir dengan sedih alih-alih bahagia seperti film Hollywood.

Buku ini tipis, berukuran mini, dan bisa dibaca sekali duduk. Berisi empat cerita mengenai kehidupan seorang anak laki-laki bernama Jody di peternakan keluarganya. Salah satu novella Steinbeck yang bisa dibaca semua umur karena jalan ceritanya yang sederhana. Ada cerita tentang Jody yang baru dibelikan kuda poni untuk dirawat dan dilatih, seorang lelaki tua Meksiko yang pulang kampung ke tanah pertanian keluarga Jody setelah lama mengembara, Jody yang merawat seekor kuda betina hamil, dan kunjungan kakek Jody yang hobi bercerita ulang tentang petualangannya. Meskipun begitu--yah, karena Steinbeck yang menulis--mungkin bagian akhir dari beberapa cerita di dalam Kuda Poni Merah bisa membuatmu ingin berbaring di rerumputan sambil menutup mata dengan satu lengan, sementara kau merasa damai, tapi juga kesepian (aftertaste yang biasa timbul ketika aku selesai membaca buku Steinbeck).

2. The Pearl

John Steinbeck


Foto sampul buku The Pearl

Buku John Steinbeck kesembilan (dan kedua di bulan Maret) yang kubaca. Berkisah tentang seorang pencari mutiara bernama Kino yang tiba-tiba menemukan mutiara besar dan bikin geger sekampung. Impian-impian Kino yang ingin diwujudkan--dari mulai menikah secara resmi dengan istrinya, Juana, sampai menyekolahkan anaknya, Coyotito--berbenturan dengan keserakahan orang-orang di sekitarnya--si dokter dan para penjual mutiara di kota--untuk memiliki mutiara itu bagaimanapun caranya meski harus membunuh Kino.

Meskipun plot-nya sederhana saja, tapi The Pearl membahas berbagai hal: diskriminasi (ketika si dokter kota menolak mengobati Coyotito hanya karena Kino miskin dan bukan kulit putih), bagaimana keserakahan bisa menguasai siapa saja (ketika Kino tidak segan untuk membunuh demi melindungi mutiaranya), hope is a dangerous thing (berbagai hal buruk mulai menimpa Kino dan keluarga sejak memiliki mutiara itu), tradisi dan budaya (perahu kano milik Kino yang telah diwariskan turun-temurun, "lagu jahat" dan "lagu baik" yang selalu terngiang di benak Kino, dan doa-doa yang selalu dipanjatkan Juana).

The Pearl bisa dibaca sekali duduk, tipis, dan hanya terdiri dari enam bab. Aku merasa seperti membaca dongeng/cerita rakyat (setelah merisetnya dari Google, ternyata Steinbeck terinspirasi dari cerita rakyat Meksiko) dan beberapa bagiannya membuatku berdebar. Tapi, yah, sekali lagi karena Steinbeck yang menulis, akhir buku ini tidaklah sebahagia Kino ketika menemukan mutiara itu di laut.

3. Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982

Cho Nam-Joo


Foto sampul buku Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982

Walaupun sama-sama bercerita tentang kehidupan seorang perempuan, aftertaste-nya Perempuan di Titik Nol (Nawal el-Saadawi) bikin kepala mendidih, sedangkan aftertaste-nya Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 bikin sedih. Apa yang dialami Ji-yeong sebagai seorang perempuan relatable sekali (dan tidak pantas dialami siapapun!): dikuntit orang asing malam-malam, dikritik mengenai penampilan, dipandang sebelah mata, diejek dengan komentar yang melecehkan dan seksis, dan pada akhirnya disuruh memilih pilihan yang hanya terbatas pada bekerja atau mengurus anak.

Buku ini lumayan page-turning, meskipun di beberapa bagian aku merasa kayak lagi baca artikel Tirto.id (kurang infografis-nya saja, sih #lah). Memang pantas buku ini best seller--di negara asalnya, Korea Selatan, pun begitu (dan di kemudian hari aku baru mengetahui bahwa ternyata buku ini sempat kontroversial di sana). Selain bertema feminisme, tokoh-tokohnya dari mulai Ji-yeong, ibunya, kakak perempuannya, ketua tim di kantornya, wanita yang menemani Ji-yeong di halte bus, gadis-gadis di sekolahnya yang memprotes aturan seragam, sampai teman perempuannya di kantor yang melaporkan pelecehan seksual kepada polisi, adalah representasi perempuan-perempuan di luar sana yang kehilangan suaranya karena tekanan sosial (seperti Ji-yeong), dan perempuan-perempuan yang selalu stand up dan memastikan Ji-yeong-Ji-yeong lain menemukan suaranya kembali. Aku setuju sekali dengan podcast ini--yang dipandu Leila Chudori--bahwa tokoh-tokoh perempuan lain yang dihadirkan di buku ini berperan sebagai "suara" Ji-yeong.

Aku pertama kali mendengar Ji-yeong dari film berjudul sama yang tayang tahun 2019. Aku belum pernah menontonnya. Setelah membaca ulasan-ulasannya yang bagus-bagus aku tertarik untuk nonton, tapi sayangnya aku telat datang ke bioskop alias filmnya sudah turun layar duluan 😔. Kemudian, ketika sedang iseng cuci mata di Shopee, aku menemukan sebuah toko yang menjual buku ini dan ternyata, bukunya sudah terjual banyak! Aku jadi makin penasaran dengan Ji-yeong--kenapa bisa selaris itu (berarti bukunya memang bagus, dong)--akhirnya, tanpa ragu aku langsung check out. Dan, setelah menamatkannya, aku setuju bahwa Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 memang bagus, penting, dan harus dibaca semua orang.

4. Little Fires Everywhere

Celeste Ng


Foto sampul buku Little Fires Everywhere

Cerita diawali dengan peristiwa yang langsung menarik perhatianku dan menggegerkan warga Shaker Heights, yaitu si anak bungsu keluarga Richardson, Izzy, yang membakar rumah besar mereka. Setelah itu, setiap bab-nya berhasil menahanku semakin erat untuk cepat-cepat mengetahui apa yang terjadi selanjutnya.

Little Fires Everywhere berfokus pada kehidupan dua wanita: Elena Richardson (jurnalis dan ibu empat  anak yang tinggal di sebuah rumah besar) dan Mia Warren (seniman dan ibu satu anak yang tinggal di sebuah rumah sewaan milik keluarga Richardson). Mereka sama-sama tinggal di kawasan perumahan Shaker Heights (di kemudian hari kuketahui dari Google bahwa tempat itu ternyata benar-benar ada dan merupakan kampung halamannya Celeste Ng).

Shaker Heights memiliki kehidupan utopis yang cocok sekali bagi mereka yang ingin membesarkan anak dan aturan-aturan yang sengaja dibuat untuk menciptakan keharmonisan--dari mulai tinggi rumput di halaman sampai pemilihan warna cat berdasarkan tipe rumah. Karena kehidupan yang tentram tersebut, di sana tidak pernah ada peristiwa yang menggegerkan warga. Tidak sampai ketika sahabat Elena, pasangan McCullough, memutuskan untuk mengadopsi seorang bayi Tionghoa (yang kuketahui di beberapa bab selanjutnya bahwa si ibu kandung bayi, Bebe Chow--yang juga rekan kerja Mia--ingin memperoleh hak asuhnya kembali). Hubungan Elena dan Mia--yang tadinya hanya sebatas antara si pemilik dan si penyewa--mulai berubah.

Buku ini menekankan pembahasan tentang perbedaan kelas. Elena dan pasangan McCullough memiliki uang, koneksi, dan power untuk melakukan dan mendapatkan apapun yang diinginkan (misalnya, ketika Elena dengan mudahnya berhasil memperoleh informasi dari klinik untuk menyudutkan Bebe di pengadilan, dan ketika hak asuh si bayi dimenangkan oleh pasangan McCullough). Sementara Mia yang harus mengambil lebih dari dua pekerjaan untuk biaya hidup sehari-hari dan berhemat dengan memanfaatkan benda-benda di sekitarnya, serta Bebe yang struggling dengan keadaan finansial-nya dan dipertanyakan apakah pantas merawat seorang anak atau tidak, hanya bisa saling mendukung dan pasrah dengan keputusan pengadilan.

Yah, walaupun asal-usul Pearl, anak perempuan Mia, agak tidak make sense (tapi, tak apa, sih, aku pernah mendapati yang lebih tidak make sense 💁), buku ini page-turning dan membuatku merasa kayak baca novel-novel detektif--terima kasih untuk kalimat pembuka yang menggoda dan jadi membuatku bertanya-tanya alasan kenapa Izzy membakar rumah mereka. Tapi, aku tidak pernah menduga bahwa jawabannya akan kompleks--melibatkan masa lalu Mia, perebutan hak asuh anak, rahasia-rahasia yang dimiliki anak-anak Richardson dan Pearl. Setelah mengetahui jawabannya, aku jadi teringat salah satu materi kuliah Ekologi di semester tiga: bagaimana kebakaran berperan secara ekologis terhadap suatu ekosistem.

Ngomong-ngomong, Little Fires Everywhere sudah diadaptasi menjadi serial dan sedang ditayangkan di Hulu.

No comments

Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)