Powered by Blogger.

February Reads

Reading scene from Pride and Prejudice
Scene from Pride and Prejudice (2005) | Focus Features

Astaga, ternyata membuat konten itu susah, yes, apalagi kalau tidak ada sumbernya. Alhasil, kembali menulis di blog ini lagi kalau ada sesuatu yang bisa ditulis—yah, contohnya kayak daftar buku yang sudah kubaca.

Jadi, *suara Jake Peralta* without further ado, inilah daftar buku yang berhasil kubaca di Februari!

Baca juga October Reads dan postingan Monthly Reads lainnya, ya.

📚 Daftar Bacaan 📚
1. Northanger Abbey - Jane Austen
2. Perempuan di Titik Nol - Nawal el-Saadawi
3. Kejahatan dan Hukuman - Fyodor Dostoyevsky

1. Northanger Abbey

Jane Austen


Foto sampul buku Northanger Abbey

Northanger Abbey adalah buku Jane Austen pertama yang kubaca (dan baru kuketahui kemudian bahwa ini adalah buku pertama yang ditulisnya). Yeah, memang, sih, buku Austen yang paling terkenal itu Pride and Prejudice, tapi aku menganggap diriku sudah "membacanya" karena sudah menonton filmnya (yang dibintangi Keira Knightley itu). Terus, karena rentang perhatianku pendek (mendingan dialihkan untuk hal lain saja), akhirnya aku memutuskan untuk membaca ini. Aku membaca sinopsis dan review-nya dulu di Goodreads, terus membaca preview-nya sedikit di Google Books—sekali lagi karena rentang perhatian yang pendek dan kondisi finansialku (aku tidak ingin menyia-nyiakan waktuku untuk membaca buku yang "salah"). Surprise surprise, kalimat pembuka-nya ternyata berhasil menarik perhatianku:

No one who had ever seen Catherine Morland in her infancy would have supposed her born to be an heroine. Her situation in life, the character of her father and mother, her own person and disposition, were all equally against her.

Alias, waduh! Ini, sih, aku banget, ya. Kayaknya setiap karakter protagonis yang kutemui kalau nggak ditakdirkan untuk menyelamatkan dunia, ya punya energi "halo-semuanya-aku-ini-nggak-seperti-kalian-lho". Catherine Morland—si heroine—tidak ditakdirkan untuk menyelamatkan dunia (ini bukan novel petualangan macam Harry Potter) dan tidak punya energi "halo-semuanya-aku-ini-nggak-seperti-kalian-lho" itu (ini bukan novel YA kayak buku-buku John Green).

Dan, yang semakin menarik perhatianku, ada paragraf ini di halaman terakhir bab pertama:

But when a young lady is to be heroine, the perverseness of forty surrounding families cannot prevent her. Something must and will happen to throw a hero in her way.

Catherine adalah gadis biasa-biasa saja, berasal dari keluarga sederhana dengan banyak anak yang tinggal di pedesaan. Suatu hari, dia diajak road trip bertamasya ke kota Bath oleh tetangga-nya yang kaya, Pak Allen dan Bu Allen. Katanya Bu Allen, "If adventures will not befall a young lady in her own village, she must seek them abroad." Dan aku tidak bisa lebih setuju lagi dengan Bu Allen.

Karena novel ini ditulis di abad 19 (dan latarnya di abad 19 pula), setiap hari kegiatan para tokoh hanya dansa-dansi, minum teh, bersilahturahmi dengan orang-orang penting, dan jalan-jalan dengan kereta kuda (astaga, terkadang aku ingin hidup seperti mereka). Aku terpana dengan adegan dansa di film Pride and Prejudice, jadi ketika adegan dansa-dansi Catherine dan Henry Tilney—si gebetan alias love interest alias lelaki yang di akhir buku menyatakan cintanya kepada si heroine—muncul, aku membayangkan adegan dansa Elizabeth Bennet dan Mr. Darcy (ya ampun, aku ingin dansa seperti itu juga).

Karakter Catherine mirip-mirip sama aku (hmm, nggak mirip-mirip amat, sih, tapi cukup relatable, lah):

👸 suka nggak enakan sama orang (ketika dia buru-buru datang ke rumah Tilney Bersaudara untuk menjelaskan kenapa malah nongkrong bareng Thorpe Bersaudara bukannya mereka)

👸 suka berimajinasi dan dramatis (ketika suatu hari dia diajak Tilney Bersaudara untuk tinggal sebentar di rumah mereka, Northanger Abbey. Yah, karena hobi membaca novel misteri adalah salah satu kepribadiannya (plus setelah ditakut-takuti Henry Tilney), dia jadi membayangkan bahwa Northanger Abbey adalah suatu tempat penuh misteri dan mungkin saja Pak Tilney membunuh Bu Tilney atau menyekapnya di suatu kamar!

Mungkin Northanger Abbey nggak seromantis Pride and Prejudice, dan karakter Catherine tidak se-lovable Elizabeth Bennet, tapi tetap saja beberapa adegan seperti ketika Catherine berusaha membuka lemari tua misterius di kamarnya dan menyelinap ke kamar Bu Tilney lumayan bikin penasaran. Dan, di bagian akhir ketika Henry Tilney bela-belain berkuda berkilo-kilo meter jauhnya ke desa tempat tinggal Catherine hanya untuk meluruskan kesalahpahaman Pak Tilney dan kemudian melamar itu lumayan menghangatkan hati dan (sebenarnya aku berusaha menghindari kata ini untuk mendeskripsikan sesuatu tapi yasudahlah) bikin baper.

2. Perempuan di Titik Nol

Nawal el-Saadawi


Foto sampul buku Perempuan di Titik Nol

Trigger warning: rape, domestic violence, sexual harassment

Perempuan di Titik Nol adalah novel feminis pertama yang kubaca. Karena ingin membaca lebih banyak buku karya perempuan, dan karena katanya buku karya penulis Mesir ini menyentil banget, aku memutuskan untuk membelinya. Mochtar Lubis—yang nulis Harimau! Harimau! dan nulis prakata—juga mengakui kalau buku ini keras dan pedas. Kalau kau tanya aku bagaimana pengalaman membacanya, well yeah, kuakui cukup page-turning, mengacak-acak jiwa, dan bikin kepala mendidih. Buku ini adalah tentang kehidupan Firdaus—seorang pelacur yang dipenjara karena membunuh seorang laki-laki—dari mulai masa kecilnya sampai di penjara menunggu hukuman mati.

Firdaus bertanya-tanya kenapa para laki-laki yang sering dia lihat jumaatan ke mesjid—yang selalu berzikir dan menyetujui apapun yang dikatakan Imam—bisa begitu ringan tangan memukul istrinya. Dia juga menyaksikan ketidakadilan yang diciptakan patriarki. Dia biasa menyaksikan bagaimana ibunya menunggui ayahnya makan sambil menatap kelaparan, dan diam-diam memakan sisa-sisa makanan ketika ayahnya selesai. Dalam hal pendidikan pun begitu. Firdaus tidak bisa mewujudkan impiannya untuk belajar di Universitas Al-Azhar seperti pamannya karena hanya laki-laki yang punya hak khusus untuk belajar di universitas. Akhirnya, pamannya menjodohkannya dengan seorang laki-laki tua pensiunan dan kaya, namanya Syeh Mahmoud. Firdaus sering dipukul dan setiap selesai makan, Syeh Mahmoud selalu melirik-lirik piring Firdaus dan ketika ada sisa-sisa sedikit di permukaan piring yang sebenarnya hanya bisa dibersihkan dengan sabun dan air, dia langsung mencomotnya dengan rakus dan menuduh Firdaus seorang pemboros. Halaman-halaman berikutnya berlanjut ke bagaimana dia terlunta-lunta di jalanan Kairo sambil membawa ijazah SMA-nya yang berharga, berharap mendapat pekerjaan yang layak, untuk mendapati bahwa para laki-laki di sekelilingnya hanya menginginkan tubuhnya.

Di akhir prakata, Mochtar Lubis berharap bahwa setelah membaca Perempuan di Titik Nol, laki-laki dan perempuan tergerak untuk memikirkan berbagai ketidakadilan yang menimpa hak-hak dan kedudukan perempuan. Kalau aku, sih, merasa bahwa aku masih perlu banyak belajar tentang feminisme—dan feminisme memang selalu menarik. Tidak ada siapapun yang pantas mengalami apa yang dialami Firdaus. Dan, aku setuju dengan Nawal bahwa kisah hidup Firdaus memang harus diceritakan.

3. Kejahatan dan Hukuman

Fyodor Dostoyevsky


Foto sampul buku Kejahatan dan Hukuman

Jujur saja, pengalaman membaca buku-buku Dostoyevsky, kayak Mimpi Orang Sinting dan Kembar (yang keduanya adalah edisi terjemahan dari Penerbit Kakatua), bukanlah sesuatu yang menyenangkan dan hanya menimbulkan ratusan tanda tanya di pikiranku setiap membalik halaman selanjutnya. Aku tidak berminat lagi untuk membaca buku-bukunya. Kemudian, suatu hari aku menonton episode ketiga serial TV Freaks and Geeks, dan Kejahatan dan Hukuman muncul di situ sebagai cameo. Jadi ceritanya, si salah satu tokoh utama—namanya Sam—mendapat tugas bacaan Kejahatan dan Hukuman di kelas. Kemudian, di akhir episode ketika ayahnya bertanya bagaimana pendapatnya tentang buku itu Sam menjawab, "Setiap tokohnya punya nama yang aneh dan panjang". Well yeah, memang benar, sih.

Tapi, syukurlah Kejahatan dan Hukuman tidaklah seberat One Hundred Years of Solitude-nya Gabriel García Márquez. Di edisi terjemahan dari Pustaka Obor yang kubeli, disisipkan daftar nama dan deskripsi singkat masing-masing karakter. Jadi, kalau tiba-tiba bingung di tengah-tengah cerita atau bertanya-tanya "Ini siapa dah" bisa langsung membuka daftar tersebut, deh.

Protagonis dalam buku ini adalah Rodion Raskolnikov, seorang mahasiswa miskin dan punya energi besar "I'm-not-racist-I-hate-everyone-equally", tapi sayang banget sama ibu dan adiknya. Suatu hari, dia punya niat untuk membunuh Alyona Ivanovna, ibu-ibu nyebelin yang suka didatangi Raskolnikov untuk berhutang. Awalnya, Raskolnikov ragu untuk mewujudkan niatnya, tapi setelah mencuri dengar perkataan seseorang di kedai minum bahwa Alyona pantas dibunuh, akhirnya Raskolnikov membulatkan tekadnya, menyembunyikan kapak di balik mantel, datang ke apartemen Alyona malam-malam, dan langsung membunuhnya. Sayangnya, Raskolnikov lupa menutup pintu sehingga ketahuan Lizaveta, adik Alyona. Raskolnikov terpaksa membunuhnya juga. Karena faktor keberuntungan, Raskolnikov berhasil kabur dari TKP tanpa ketahuan siapapun.

Sebagian besar isi buku berfokus pada keresahan hati dan tingkah Raskolnikov atas perbuatannya, bagaimana setelah membunuh dia langsung kelelahan dan tidur di apartemennya sampai siang, bagaimana dia sampai sakit dan bikin khawatir semua orang—mulai dari ibunya, adiknya, Donia, sampai sohibnya, Razumihin (yang naksir Donia). Tingkahnya yang aneh juga bikin curiga polisi, selalu mengurung diri di kamar, nggak mau ketemu dan berbicara dengan siapapun, dan ketika dikunjungi Razumihin yang selalu khawatir dia lebih memilih menghadap tembok. Meskipun Raskolnikov tega bunuh orang, tapi dia juga bermurah hati memberikan uangnya kepada Sonia (yang akhirnya menjadi love interest-nya) untuk menunjang keluarganya yang miskin, dan selalu membela dan melindungi adiknya dari Luzhin dan Svidrigalov yang selalu muncul untuk mengganggu.

Raskolnikov memang bukan karakter yang lovable—kayaknya setiap karakter ciptaan Dostoyevsky nggak ada yang lovable, deh—tapi, aku lumayan menikmati Kejahatan dan Hukuman dari alur ceritanya yang kadang bikin tegang dan penasaran (misalnya saat Raskolnikov berusaha kabur dari TKP dan interogasi di kantor polisi). Well yeah, meskipun ada beberapa bagian yang membosankan, setidaknya buku ini masih lumayan daripada Mimpi Orang Sinting dan Kembar.

No comments

Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)