Powered by Blogger.

Jalan-jalan Senang/Sebentar: Bukit Merese, Gili Trawangan, dan Sembalun Lombok

Bukit Merese Lombok

Kurasa salah satu alasan mengapa aku menyetujui penciptaan dan kelahiranku di dunia adalah agar bisa hidup untuk menikmati alam pulau Lombok.

Berkenaan dengan libur panjang Imlek dan dapat cuti bersama dari perusahaan (asyik! 😎), memutuskan untuk menetapkan Lombok sebagai destinasi JJS (Jalan-jalan Santai/Sebentar). Kunjungan kedua kali ke Lombok layak disebut “2024 Bingo Card” karena yah, siapa sangka bisa kembali setelah satu dekade berlalu.

Karena dulu aku masih kitten—eh masih muda maksudnya—jadi aku rada lupa tentang tempat-tempat yang pernah dikunjungi. Walau begitu, Lombok ternyata masih mengesankan seperti yang kuingat: lebih sepi dan tenang dibandingkan Bali.

Aku kembali menelusuri jalan-jalan yang berkelok-kelok, naik-turun dengan pemandangan perbukitan dan laut, dan destinasi berjarak 90+ km yang bisa dicapai hanya dalam dua jam tanpa lewat tol.

Menginap di hotel area Kuta, berjarak 30 menit dari bandara dan 10 menit dari Sirkuit Mandalika. Jalan kaki keluar hotel beberapa langkah langsung bertemu Pantai Kuta. Pemandangan dari balkon kamar berupa perbukitan, yang bisa terlihat juga dari pantai.

Itinerary-nya lumayan lengkap. Mulai dari Kuta di Lombok Tengah, Gili Trawangan di Lombok Utara, Kota Mataram (ibukota provinsi), sampai Sembalun di Lombok Timur. Aku terkejut mendapati bahwa ternyata Lombok bisa dikelilingi hanya dalam satu hari!

🐚 Hari 1 (CGK-LOP-Bukit Merese) 🐚

Berangkat ke CGK setelah Subuh karena tinggal di kabupaten sebelah (2 jam perjalanan). Mendarat di LOP jam 14:00 dan kegiatan pertama adalah makan siang. Tidak jauh dari bandara ada rumah makan yang menyediakan kuliner khas Lombok, namanya nasi balap.

Rupa nasi balap mirip dengan nasi campur Bali. Ada tumis kacang panjang, suwiran ayam pedas, sepotong ayam goreng, sate lilit ayam, serundeng, dan kentang goreng. Mungkin karena paket makan ala wisatawan, jadi nasi balap disajikan dengan plecing kangkung dan bebalung (sup daging).

Nasi balap Lombok dengan lauk ayam suwir, ayam goreng, sate lilit, sayur tumis kacang panjang
Selamat makan!

Rasanya? Well, sama dengan nasi campur. Tapi, sambal plecing kangkung-nya terasa lebih pedas dan asam. Bebalung terasa seperti sup daging, lebih asam dan segar.

Setelah perut terisi dan lidah masih sedikit terasa kepedasan, lanjut berkunjung ke Desa Adat Sukarara. Ini adalah salah satu desa penghasil kerajinan tenun di Lombok. Wisatawan bisa belajar menenun, belanja kain dan pernak-pernik hasil tenunan, dan mencoba pakaian adat. Semua aktivitas di desa ini gratis, kecuali bagian belanja-belanji sih hehe 💁🏻‍♀️.

Setelah sampai, disambut oleh beberapa ibu-ibu yang sedang menenun. Saat ditawari untuk belajar menenun, aku langsung merasa tidak enak hati karena aku takut merusak proses tenunan 😭.

Tapi, si ibu tidak keberatan diinterupsi dan meyakinkan kami kalau ada yang salah bisa diperbaiki. Lagipula kapan lagi bisa mencoba menenun secara langsung di Lombok? Ya sudah, dengan masih menanggung perasaan khawatir aku langsung duduk memangku alat tenun.

Alatnya besar dan tidak terlalu berat. Banyak benang silang-menyilang dengan rumit di kayu-kayu penyangganya. Kata guide yang mendampingi, pola tenunan dibuat terlebih dahulu sebelum proses menenun.

Dua orang sedang menenun kain khas kerajinan Lombok
Belajar menenun

Sesungguhnya proses menenun lumayan mudah. Diawali dengan menggeser kayu penyangga ke depan kemudian memukulnya tiga kali sampai berbunyi “Trak, trak, trak” keras. Terus, mengaitkan benang satu persatu ke kayu-kayu lain, dan memukul tiga kali lagi. Prosesnya diulangi seperti itu sampai mendapat hasil kain yang memanjang.

Aku masih takut salah, jadi aku hanya mencoba sebentar. Selanjutnya kuserahkan kepada si ibu untuk melanjutkan. Aduh, maaf ya Bu kalau hasil tenunanku payah 😭.

Setelah belajar menenun, lanjut mencoba pakaian adat sambil berfoto-foto di tangga rumah adat. Pertama, pakai kain tenun sebagai bawahan yang cukup dililitkan ke pinggang seperti sarung. Kedua, pakai atasan semacam blus. Ketiga, pakai selendang tenun yang disampirkan di kedua bahu. Selesai! Sungguh sederhana dan hijabi friendly.

Hujan langsung turun saat selesai berfoto-foto dan belanja-belanji. Yah, bahkan di Lombok pun belum tentu cuaca akan cerah. Sambil menerobos hujan—yang perlahan-lahan reda—kami memasuki Kuta untuk check in hotel sebelum menikmati matahari terbenam di Bukit Merese.

Wilayah Kuta sungguh sepi, tidak banyak kendaraan berlalu-lalang. Pemandangan sepanjang jalan adalah perbukitan. Lagi-lagi aku terkagum-kagum bahwa ternyata di Indonesia ada pemandangan seperti ini—pemandangan yang pernah kulihat saat menelusuri wisata New Zealand di Google.

Alhamdulillah yah, tidak perlu punya saldo rekening 60 juta agar bisa pengajuan visa ke New Zealand 😭.

Melewati Sirkuit Mandalika dengan patung Pak Jokowi naik motor dan pintu-pintu gerbang tertutup (tidak terbuka untuk umum kecuali ada acara). Sekelompok turis sedang berfoto-foto sambil dikerubungi penjual cinderamata. Melewati beberapa ekor sapi sedang asyik merumput di pinggir jalan raya. Bahkan ada yang menyeberang jalan dengan santai tanpa takut tertabrak.

Saat sampai di Bukit Merese, aku kembali terkagum-kagum karena kali ini pemandangan yang kudapati seperti di Irlandia! Astaga, setelah menonton film The Banshees of Inisherin aku langsung bertanya-tanya, “Ya Allah, kapan ya w bisa melihat langsung pemandangan tebing menghadap laut seperti itu.”

Aku berpose di depan tebing pinggir laut di Bukit Merese Lombok
Wajah bahagia setelah melihat pemandangan di latar belakang

Eh, alhamdulillah yah tidak perlu jauh-jauh ke Cliffs of Moher (dan pengajuan visa pula) ke Irlandia. Ternyata di Lombok pun ada pemandangan menakjubkan yang serupa!

Matahari terbenam yang diselubungi awan-awan
Bukan sesuatu yang bisa kulihat setiap hari

Puncak-puncak tebing sudah dipenuhi pengunjung yang sama-sama ingin menikmati matahari terbenam. Ada yang membawa kursi lipat, cemilan, dan minuman. Ada yang turun melalui jalan setapak menuju pantai, dan duduk-duduk di pasir. Diramaikan pula oleh beberapa ekor anjing milik warga lokal dan beberapa ekor elang yang sedang latihan terbang bersama pemiliknya.

Pemandangan matahari terbenam di pinggir laut dengan bayangan-bayangan orang di atas bukit
Ungkapan "Bagus banget!" masih belum cukup

Selain pantai dan laut, pemandangan di kejauhan berupa Gunung Rinjani. Well, aku tidak bisa mendeskripsikan secara terperinci seperti Grandpa Tolkien mendeskripsikan Middle Earth. Hal yang hanya ingin kulakukan saat itu adalah duduk diam sambil memandang matahari perlahan-lahan tenggelam di titik pertemuan antara laut dan langit.

Pengunjung Bukit Merese duduk-duduk di atas bukit sambil memandang matahari terbenam
Terbekatilah orang-orang lokal Lombok yang bisa melihat pemandangan ini setiap saat

Saat itulah aku menyadari bahwa mungkin hidup memang (masih) layak dijalani. Siapa sangka salah satu tujuanku hidup di dunia adalah menyaksikan matahari terbenam di Bukit Merese, dengan dikelilingi pemandangan tebing menghadap laut?

Baru kali ini aku mendapati langit luas tanpa dibayangi bangunan-bangunan, dengan awan-awan kelabu dan warna-warna yang belum pernah kulihat sebelumnya. Campuran ungu, biru, dan jingga. Pelukismu agung, siapa gerangan?

Warna langit ketika matahari terbenam di Bukit Merese
Melihat ini aku jadi terharu

Untunglah tidak turun hujan di Bukit Merese.

Tentu saja aku akan memasukkan kenangan di Bukit Merese ke dalam memori inti. Astaga, bahkan sampai sekarang aku masih tidak percaya aku pernah menjejakkan kaki di atas tebing pinggir laut 🥹.

🐚 Hari 2 (Senggigi-Gili Trawangan-Lombok Wildlife Park) 🐚

Hari kedua adalah hari air alias berpesiar ke Gili Trawangan.

Setelah sarapan, jam 09:00 berangkat menuju Senggigi karena kapal yang akan berlayar ke Gili Trawangan berlabuh di sana. Perjalanan lumayan jauh—kira-kira 2,5 jam—tapi pemandangan sepanjang jalan amat menakjubkan.

Wilayah Senggigi berupa jalan berkelok-kelok, naik-turun dengan laut biru di kiri jalan (kalau datang dari arah Kuta). Ada banyak penginapan di pinggir pantai, tapi tidak banyak kafe dan hingar-bingar seperti di area Kuta, Bali.

Sebelum sampai di pelabuhan, singgah sebentar di satu tempat yang biasa digunakan untuk lokasi foto. Orang-orang menyebutnya “Villa Hantu” karena berupa semacam bangunan mangkrak dengan kerangka-kerangka yang menjadi penyekat antar ruang.

Pemandangan laut biru dari jendela Villa Hantu
Alangkah biru

Dinding masih berupa semen belum dicat, banyak ditulisi grafiti. Belum ada daun pintu dan jendela, hanya ada ruang-ruang kosong. Padahal villa-nya berdiri di lokasi yang bagus dan strategis—di pinggir jalan raya, dengan pemandangan menakjubkan berupa laut dan perbukitan.

Ada satu ruang yang sepertinya akan difungsikan menjadi ruang keluarga. Dari situ para penghuni rumah bisa bersantai sambil memandang laut dari jendela besar yang memenuhi satu dinding penuh.

Melihat ini aku jadi teringat adegan di film A Series of Unfortunate Events ketika Bibi Josephine menghilang dan rumahnya hancur terkena amuk badai. Hanya menyisakan satu kerangka jendela yang juga menghadap laut 💁🏻‍♀️.

Pemandangan laut biru dari jendela Villa Hantu
"Aunt Josephine?"

Karena cuaca sedang cerah, laut tampak biru jernih. Seperti warna mata siapa ya?

🎵 Ocean blue eyes looking in mine 🎵

Ya ampun, aku merasa lega sekali saat melihat laut biru setelah melihat laut kelabu di Pantai Sedari lmao 😭. Benar-benar menyejukkan mata.

Setelah memenuhi galeri hape dengan foto, lanjut menuju pelabuhan. Kukira pelabuhan di Senggigi seperti pelabuhan publik pada umumnya. Ramai dengan kapal dan orang-orang yang hendak naik-turun kapal. Rupanya pelabuhan yang kami datangi adalah milik pribadi. Jadi, kapal langsung menjemput di pinggir pantai setelah kembali dari gili.

Dari pelabuhan bisa melihat tiga gili secara jelas. Letaknya saling berdekatan dan mudah dicapai dengan kapal. Karena keterbatasan waktu, kami hanya bisa mengunjungi Gili Trawangan alias tidak bisa gili hopping. Waktu berlayar ke Gili Trawangan kira-kira 30 menit.

Di dalam kapal terombang-ambing ombak rasanya seperti naik kuda. Sesekali ada air laut yang memercik wajah (ya lumayan lah jadi skincare berbahan dasar sea salt 💁🏻‍♀️). Tapi, besar ombak-nya tidak sampai membuat mabuk laut. Merasa diayun-ayun aku malah jadi terkantuk-kantuk.

Kapal-kapal yang sedang berlayar di laut menuju Gili Trawangan
Memang benar vitamin sea

Pelabuhan Gili Trawangan diramaikan oleh hiruk-pikuk para turis yang sedang menunggu keberangkatan menuju Bali. Mereka membawa banyak koper dan tas besar. Rupanya ada rute kapal cepat yang langsung menghubungkan Bali dan Gili Trawangan, pulang-pergi. Wah, aku baru tahu informasi ini. Semacam Prameks gitu ya, tapi di laut.

Keluar dari pelabuhan langsung disambut deretan cidomo (delman) yang menunggu di sepanjang jalan. Cidomo adalah salah satu alat transportasi utama di Gili Trawangan selain sepeda. Ternyata tidak ada motor di gili. Jadi, kalau ingin berpesiar mengelilingi gili bisa naik cidomo atau menyewa sepeda.

Ada sepeda kayuh biasa dan sepeda listrik. Eh, asyik loh ternyata sepeda listrik dilengkapi pemutar musik! Jadi, si pengendara bisa berkeliling pulau sambil menikmati playlist. Seolah menyiarkan selera musiknya ke seluruh penjuru pulau.

Mengetahui ini la petite sœur langsung berujar, “Akan gue Kpop-kan pulau ini.”

Nah, sekarang di gili aku menemukan banyak toko, kafe, dan penginapan. Mulai terdengar hingar-bingar musik dari kafe. Banyak turis berlalu lalang sambil naik sepeda. Banyak cidomo mengangkut para turis beserta koper mereka yang besar-besar.

Kusir cidomo yang sedang mengarahkan kuda
Naik delman istimewa ku duduk di muka

Berdasarkan pencarian lebih lanjut mengenai Gili Trawangan di Google, ternyata ada peninggalan Perang Dunia berupa gua Jepang. Kata si kusir cidomo, letak gua Jepang agak jauh dari pinggir pantai alias ada di suatu bukit tengah pulau.

Karena perjalanan dengan cidomo hanya menyusuri pinggir pantai—sebatas melihat suasana kafe dan penginapan—jadi kami tidak melewati tempat gua, pasar malam, dan permukiman warga lokal. Oh, kukira Gili Trawangan berupa pulau kecil yang bisa dikelilingi hanya dengan berjalan kaki. Ternyata cukup luas.

Setelah makan siang, kami duduk-duduk sejenak di bean bag restoran pinggir pantai sambil menunggu kedatangan kapal. Menikmati hembusan angin dan suara ombak. Menyaksikan beberapa kapal berlabuh dan menurunkan turis-turis.

Aku berpose di depan kapal-kapal yang sedang berlabuh di Gili Trawangan
Salfok sama kapal bertuliskan "Hello brother"

Kapal-kapal dicat beraneka warna. Ada yang ditulisi nama kapal, menunjukkan siapa pemiliknya. Karena udara panas dan angin semilir, aku jadi terkantuk-kantuk. Tahu-tahu sudah tertidur beberapa menit sebelum dibangunkan untuk berangkat kembali ke mainland.

Kini aku mengerti mengapa para turis lebih menyukai leyeh-leyeh di pinggir pantai. Awalnya aku berpikir, “Apa tidak sayang duit sudah jauh-jauh ke sini malah untuk rebahan doang?”

Eh, astaga. Ya ampun. Demi seribu kenikmatan di dunia.

Ternyata bersantai di pinggir pantai tuh enak banget! Pikiran langsung kosong, semua indra hanya berfokus pada semilir angin dan hempasan ombak. 10/10 recommended untuk kesehatan mental yang lebih baik.

Setelah Gili Trawangan, destinasi selanjutnya adalah Lombok Wildlife Park. Berawal dari Kuta di Lombok Tengah, terus Senggigi di Lombok Barat, dan sekarang ke Lombok Utara. Wow, berkeliling Lombok dalam sehari!

Lombok Wildlife Park letaknya agak terpencil, melewati area perdesaan dan jalan-jalan kecil. Pintu masuk hingga area dalam Lombok Wildlife Park dinaungi banyak pohon dan tumbuhan tinggi. Terasa tidak panas pada awalnya, tapi ternyata setelah berjalan sebentar jadi terasa lembab yang menyebabkan keringatan. Mungkin ini rasanya iklim hutan tropis (entahlah, aku belum pernah benar-benar masuk hutan tropis 💁🏻‍♀️).

Burung-burung aneka warna langsung menyambut kedatangan kami. Ada burung kakatua, beo, dan tukan yang saling berkaok riuh-rendah meminta jatah makanan. Di loket depan tersedia paket keranjang makanan seharga 50 ribu untuk dibagikan kepada para hewan. Isinya berupa sayur-mayur, semangka, pisang, dan jagung. Para burung senang sekali dapat setongkol jagung untuk camilan sore.

Lanjut ke area selanjutnya ada dua ekor gajah sedang bercengkrama dengan beberapa animal keepers. Salah seekor gajah sedang hamil, jadi kata animal keepers dia agak sensian ketika disentuh. Kebetulan sekali saat itu tidak terlalu banyak pengunjung, jadi bisa memberi makan sekaligus bersentuhan sekaligus berfoto bersama para gajah dengan leluasa.

Ternyata rambut gajah terasa kaku dan kasar seperti sapu ijuk!

Aku berpose di samping gajah
Gajah yang ramah

Ya ampun, baru kali ini aku berdiri sangat dekat dengan gajah. Dan ternyata cara mereka memegang atau mengambil sesuatu dengan belalai yaitu dengan mencapit pakai dua cuping (nostril), bukan dengan menghisap!

Sumpah ya, kukira selama ini mereka menghisap benda-benda lmao 😭✋. Sepertinya aku terlalu mempercayai apa yang pernah kutonton di kartun.

Sekelompok rusa yang sedang berjalan-jalan
Hebat sekali si bayi rusa, baru berumur tiga hari sudah lincah

Setelah berpisah dengan para gajah, selanjutnya bertemu seekor orangutan besar yang langsung terbangun dari tidur siang saat mendapat kunjungan; seekor beruang madu yang sedang mengunyah-ngunyah semangka; sekelompok binturong yang sedang tidur siang di bawah kanopi; dua ekor kuda nil mini yang sedang berpesta seember penuh rumput; tiga keluarga rusa yang sedang makan siang sambil jalan-jalan santai (di tengah kelompok ternyata ada bayi rusa berumur tiga hari!); beberapa ekor buaya termasuk seekor buaya muara yang pernah viral di seantero Lombok karena makan manusia (badannya besar sekali!); sebaris burung pelikan yang sedang meringkuk santai; dan dua ekor orangutan kakak-beradik yang tak terpisahkan dan bisa berinteraksi dengan pengunjung.

Seekor buaya raksasa yang sedang berdiam di balik kandang
Buaya muara raksasa yang pernah viral

Setelah Gili Trawangan dan Lombok Wildlife Park, kembali ke Kuta. Melewati jalan dan pemandangan yang sama seperti tadi pagi.

Penutup hari berupa makan malam bakso di Kota Mataram.

🐚 Hari 3 (Sembalun-Bukit Selong-Air Terjun Tiu Kelep) 🐚

Setelah bepergian ke laut, kini waktunya ke gunung. Yah, karena asam di gunung dan garam di laut bertemu di belanga.

Sebelum sarapan, aku dan la petite sœur berjuang melawan rasa mager dan meninggalkan kehangatan tempat tidur untuk jalan-jalan santai sejenak di pinggir pantai Kuta. Jaraknya sangat dekat, hanya tiga menit berjalan kaki.

Pantai Kuta dengan batu-batu karang
Ciri khas pantai Kuta dengan perbukitan dan batu karang

Ombak pantai Kuta amat sangat chill, alias bukan yang berbuih dan menghempas seperti ombak pantai pada umumnya. Suasana pantai di jam 07:00 sudah ramai. Ada beberapa keluarga yang sedang berpiknik dan berenang. Ada pula beberapa ekor anjing yang sedang main kejar-kejaran sambil meninggalkan jejak paw di pasir.

Kapal-kapal di pinggir pantai Kuta
Pagi-pagi sudah ramai dengan kapal

Sekilas laut tampak kehijauan alih-alih biru. Di kejauhan terlihat banyak kapal nelayan sedang berlabuh di pantai. Bukit yang terlihat dari balkon kamar hotel kudapati ada di sini. Melihat pemandangan pantai Kuta aku jadi merasa familiar. Oh, ternyata mirip Danau Loch Ness!

Nah kan, tidak perlu pengajuan visa lagi ke Skotlandia 😭✋.

Aku berpose di pantai Kuta sambil menutupi pandangan dari sinar matahari
Silau

Berfoto-foto sebentar kemudian naik untuk sarapan. Jam 09:00 berangkat menuju Sembalun yang terletak di kaki Gunung Rinjani. Jaraknya tiga jam perjalanan, melewati rute yang sama seperti kemarin.

Nah, sekarang berawal dari Lombok Tengah dan berakhir di Lombok Timur. Setelah melewati laut di Senggigi, pemandangan berganti menjadi hutan lebat di kiri-kanan jalan yang menanjak sekaligus berkelok-kelok. Suara-suara khas hutan langsung mengiringi perjalanan. Eh, tiba-tiba satu-dua ekor monyet muncul di pinggir jalan!

Ternyata hutan ini adalah habitat monyet, dan mereka selalu turun untuk minta makanan dari pengendara yang lewat. Semakin mendekati area Sembalun alias semakin lebat kanopi hutan, semakin banyak kemunculan para monyet. Ada yang besar, kecil, bahkan sambil membawa bayi. Mereka duduk dalam barisan teratur di pinggir jalan. Seolah menjadi penyambut tamu.

Singgah sebentar di pemberhentian pertama, yaitu Taman Wisata Pusuk Sembalun—semacam spot foto dengan banyak pedagang cilok dan beberapa ekor monyet yang berkeliaran. Rupanya para monyet doyan makan cilok juga. Aku tidak tahu mengapa cilok menjadi jenis jajanan utama di sini. Mungkin karena semua orang suka cilok (bahkan para monyet).

Gerobak pedagang cilok di Sembalun yang bertuliskan, "Harga diri seorang pedagang cilok adalah kejujuran"
Mantap betul

Sekarang tambah lagi daftar hewan paling bahagia di muka bumi selain kucing rumahan dan anjing pantai, yaitu monyet Sembalun.

Ada seekor monyet yang tampaknya sudah tua sedang duduk-duduk santai di atas pagar pembatas taman. Dia tidak merasa ingin berbuat usil kepada para pengunjung, hanya ingin menikmati siang hari yang sejuk. Bahkan posisi duduknya pun membelakangi bukit-bukit Sembalun.

Seolah berkata, “Oh, maaf. Aku menutupi pandanganmu ya? Tapi, akulah pemandangan itu.”

Tak lama kemudian muncul seekor monyet yang lebih kecil dan tiba-tiba rebahan di sebelah si monyet tua. Melihat itu, beberapa pengunjung langsung menghampiri mereka untuk berfoto.

Aku berpose di samping dua ekor monyet
Ya halo permisi

Dari taman ini bisa melihat bukit-bukit Sembalun yang kehijauan dan tersaput awan. Udaranya sejuk, tidak begitu dingin sampai perlu pakai jaket. Pemandangan ini tampak familiar, tapi aku tidak bisa menemukan mirip apa. Oh, ternyata seperti yang ada di Jurassic Park! Tiba-tiba lagu tema-nya langsung mengalun di kepala.

Bukit-bukit itu begitu jauh, begitu hijau dan lebat oleh pepohonan. Karena awan cukup tebal dan menutupi hampir setengahnya, jadi seolah-olah menyimpan sesuatu yang tersembunyi (seperti kehidupan dinosaurus 🦕).

Salah satu bukit Sembalun yang hijau dan menjulang
Salah satu bukit Sembalun

Setelah berpisah dengan para monyet, kini pemandangan berganti menjadi perdesaan dan persawahan dilatarbelakangi bukit-bukit hijau. Singgah sebentar di Kedai Sawah Sembalun untuk brunch (atau second breakfast karena aku seorang hobbit).

Papan tulisan di Kedai Sawah Sembalun. Masing-masing bertuliskan, "Kedai Sawah Sembalun"; "Jomblo sabar!"; "Alay pantes diputusin"
Papan tulisan di kedai makan

Letaknya di kaki perbukitan berupa kedai makan di pinggir sawah dengan beberapa spot foto. Memang dasar tipikal tempat wisata Indonesia, di sini pun ada spot foto bertema cinta. Bukan lambang hati sih, tapi papan tulisan “Love” besar warna putih.

Perjalanan dilanjutkan menuju Bukit Selong, setelah mengisi perut dengan sepiring singkong goreng dan segelas teh lemon hangat. Meninggalkan area persawahan dan memasuki hutan bambu. Ada beberapa ekor sapi sedang merumput sambil berteduh di bawah kanopi pohon bambu. Mendekati peternakan sapi jadi harus hati-hati melangkah untuk menghindari “ranjau organik”.

Dua ekor sapi di bawah kanopi pohon-pohon bambu
Ya halo permisi

Bukit Selong lebih berupa tempat melihat (viewpoint) perbukitan Sembalun dengan lebih leluasa. Ada dua lokasi dengan ketinggian berbeda. Karena kami semua sudah jompo, kami memilih yang lebih rendah. Jalur pendakiannya mudah dilalui, untunglah sudah berupa tangga-tangga batu.

Wah, rupanya kalau dilihat dari Bukit Selong, pemandangan yang tadi kulihat di Kedai Sawah Sembalun terasa lebih dekat dan jelas. Perbukitan masih tersaput awan, semakin lama semakin menebal sampai hampir menutupi semuanya.

Bukit Sembalun yang dilihat dari Bukit Selong dengan petak-petak persawahan terhampar di bawahnya
Gunung menjulang. Berpayung awan. Oh, indah pemandangan

Di kaki perbukitan terhampar petak-petak persawahan dengan atap-atap mungil gubuk menyebar di beberapa tempat. Aku jadi terlarut dengan pemandangan menakjubkan di depanku. Sejauh mata memandang aku bertanya-tanya yang mana kiranya dari antara bukit-bukit itu yang disebut Gunung Rinjani.

Rupanya Gunung Rinjani belum termasuk ke dalam perbukitan yang sudah kulihat. Perbukitan ini termasuk ke dalam tujuh puncak tertinggi di Lombok, dengan Gunung Rinjani sebagai yang tertinggi. Oh wow, bukit-bukit ini saja sudah terlihat menjulang. Apalagi Gunung Rinjani.

Setelah beberapa menit melamun di atas Bukit Selong, perjalanan dilanjutkan menuju kawasan Air Terjun Tiu Kelep dan Sendang Gile. Tidak ada yang pernah menyangka bahwa menelusuri jalur menurun menuju air terjun akan menjadi leg day.

Akses menuju air terjun mudah dicapai. Hanya perlu menuruni seribu tangga batu yang dinaungi pepohonan. Setelah beberapa menit berjalan, aku langsung berasa ingin melepas kedua kaki sejenak. Kusandarkan pada susuran tangga, dan kutunggu sampai rasa letih hilang.

Aku sampai meracaukan bebunyian aneh yang sampai sekarang aku masih tidak menyangka bisa keluar dari mulutku lmao 💁🏻‍♀️. Asli ya, demi para penghuni hutan Sembalun, kedua kakiku sampai bergetar. Nafasku ngos-ngosan. Entah sudah berapa kali aku berhenti di tengah jalan.

Sambil bersusah payah menyusuri tangga, ternyata aku bisa melihat dua air terjun mengalir deras dari dua ketinggian berbeda. Suara deburan air sudah terdengar jelas, seolah menyemangati semacam, “Hasil tidak akan mengkhianati usaha.”

Setelah sampai di anak tangga terakhir dan disambut dua ekor monyet (bagaimana bisa mereka sampai sini?), aku mendapati satu pemandangan menakjubkan lainnya.

Air terjun yang kulihat namanya Air Terjun Tiu Kelep. Aliran air-nya hanya satu, tapi kalau menilai dari suara dan kecepatan air, sepertinya kepala akan pecah kalau berdiri di bawah air terjun langsung (sumpah ya, bagaimana bisa orang-orang melakukan itu? Berdiri di bawah air terjun sambil berpose namaste?).

Aku sedang memandang air terjun
Hard work paid off

Air Terjun Sendang Gile terletak di lokasi yang berbeda. Masih harus menyusuri jalan beberapa ratus meter lagi. Yah, karena kami sudah jompo dan menyerah (tidak, terima kasih) jadi kami cukup menikmati Air Terjun Tiu Kelep. Kalau diberi kesempatan untuk berkunjung ke sini lagi, aku harus memastikan tubuhku cukup bugar dan alas kaki yang kupakai nyaman.

Walau sudah beristirahat sejenak, tenaga belum pulih sepenuhnya untuk menapaki tangga kembali ke atas. Untunglah ada beberapa ojek motor siap mengantar para pengunjung yang kelelahan. Aku langsung naik ke atas jok motor dengan lega, setidaknya leg day sudah berlalu.

Eh, ternyata jalur yang dilewati ojek lumayan menegangkan.

Bagaimana tidak; di sebelah kiri ada saluran irigasi dengan aliran air yang deras dan gorong-gorong gelap, sedangkan di sebelah kanan ada jurang tanpa pembatas jalan sama sekali. Jalur berupa jalan setapak yang hanya muat dilewati satu motor. Mendapati ini sekujur tubuhku langsung waspada lagi. Aku tidak berhenti memikirkan segala hal terburuk yang akan terjadi.

Di tengah ketegangan, ada kekaguman terhadap para tukang ojek yang dengan lihai dan gesit mengendarai motor tanpa terpeleset. Walau mereka melakukannya setiap hari, tetap saja butuh keahlian khusus.

Aku hampir saja menyerah dan berkata ke tukang ojek, “Udah Pak, saya jalan kaki aja 😭”. Padahal aku hanya jadi penumpang lmao. Bahkan commuting ke tempat kerja melewati jalanan berlubang dan penuh lonjakan pun tidak lebih buruk daripada ini.

Bertolak kembali menuju Senggigi, Kota Mataram, dan Kuta. Kali ini melalui jalur yang berbeda dari kedatangan. Tidak melewati hutan monyet lagi. Aku tidak tahu apa nama daerahnya. Jalan tetap berkelok-kelok dan naik-turun.

Tiba-tiba di kejauhan, di titik yang lebih tinggi daripada jalan, nyaris menyatu dengan langit, tampak laut biru membentang. Awalnya kukira itu langit, tapi kok warna birunya beda. Wah, senang sekali melihat laut lagi. Benar-benar definisi turun gunung.

Sampai di Kota Mataram bertepatan dengan waktu makan malam. Jadi, mampir dulu mencicipi kuliner khas Lombok lainnya: sate rembiga.

Sepiring nasi, beberapa tusuk sate rembiga, plecing kangkung, dan bebalung
Selamat makan!

Rasanya mirip seperti sate maranggi. Sama-sama dibuat dari daging sapi dan dimarinasi dengan bumbu. Tidak disajikan dengan bumbu kecap, tapi justru itu yang membuat bumbu-nya lebih terasa. Jauh lebih pedas daripada sate maranggi. Kalau diminta memilih, aku lebih suka sate rembiga.

Lanjut pulang ke Kuta dengan perut kenyang dan lidah masih terasa kepedasan (sedikit). Setelah mengunjungi laut dan gunung, ini adalah malam terakhir di Lombok.

🐚 Hari 4 (Pantai Kuta-LOP-CGK) 🐚

Untuk merayakan pagi terakhir di Lombok, kami kembali jalan-jalan santai sejenak di pantai Kuta. Kali ini kami berkunjung jam 06:00. Sedikit lebih pagi, tidak lama setelah matahari terbit.

Batu-batu karang di pantai Kuta
Batu-batu karang

Oh, ternyata suasana pantai Kuta jauh berbeda daripada kemarin. Laut tampak surut, kehijauan penuh alga. Sebuah kapal nelayan sedang berlabuh di dekat batu-batu karang. Beberapa orang membawa keranjang besar berisi alga yang baru dipanen. Wah, jadi ini alga yang akan diolah menjadi dodol dan keripik!

Pantai Kuta dengan air yang kehijauan
Alga di permukaan air

Karena punya lebih banyak waktu di pantai, kami lanjut menjelajah di sekitar. Tampak banyak lubang kecil di pasir. Ketika dilihat lebih saksama, rupanya ada seekor hewan mungil serupa kepiting yang sedang merayap keluar-masuk lubang. Warnanya menyatu dengan pasir. Bahkan mereka lihai bersembunyi di antara kerang-kerang yang tersebar.

Kerang-kerang yang tersebar di atas pasir pantai Kuta
Tidak ada kepiting di dalam foto ini

Tak lama kemudian terdengar salakan para anjing yang datang berbaris. Tampaknya mereka baru saja dibiarkan berkeliaran oleh para pemilik. Seolah mengumpulkan pasukan dulu baru menyerbu pantai. Beberapa langsung menyelinap di antara batu karang. Beberapa duduk-duduk santai di pinggir pantai, matahari yang keemasan menyinari bulu-bulu mereka.

Dua ekor anjing sedang duduk-duduk santai di depan tulisan "Kuta Mandalika"
Berjemur di pagi hari bersama teman

Semakin mendekati siang hari, warna kehijauan alga semakin menghilang. Kini batu-batu karang di dasar pantai sudah tertutupi sepenuhnya oleh air.

Setelah berfoto-foto, menikmati pagi sambil menghirup udara pantai yang bersih nan sejuk, kami naik untuk sarapan. Saat melewati tulisan “Kuta Mandalika” yang besar di pinggir pantai dan mendongak melihat langit, rupanya ada pelangi!

Pelangi di atas tulisan "Kuta Mandalika"
Pelangi sebagai tanda perpisahan

Ya ampun, kok pas betul posisinya berada tepat di atas tulisan. Muncul di pagi hari pula. Aku jadi terharu 🌈.

Setelah sarapan dan mengangkut koper-koper serta kardus oleh-oleh ke mobil, kami bertolak ke LOP. Sepanjang penerbangan pulang aku hanya tidur. Di dalam tas ada hape dengan galeri penuh berisi foto dan video tentang laut dan gunung.

Hari selanjutnya aku kembali bekerja dengan separuh nyawa yang masih tertinggal di Lombok.

Semoga agenda JJS berikutnya bisa berkunjung ke wilayah yang terletak semakin timur lagi dari Lombok 🏄🏻‍♀️.

Aku berpose di depan batu-batu karang pantai Kuta

No comments

Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)