Powered by Blogger.

Jalan-jalan Senang/Sebentar: Kebun Raya Bogor

Istana Bogor dengan bangunan putih, pilar-pilar, dan menara beratap warna emas di latar belakang

Kalau aku bisa menerapkan 20-20-20 rule, setelah bekerja selama 20 menit, aku akan pergi ke Kebun Raya Bogor, kemudian memandangi pohon-pohon dalam jarak pandang 20 kaki, dan tidak akan kembali dalam 20 hari.

Destinasi Jalan-jalan Senang/Sebentar kali ini adalah Kebun Raya Bogor. Dulu saat masih kitten—eh masih muda, maksudnya—pernah berkunjung ke Kebun Raya Bogor tapi tidak ada satupun hal yang kuingat. Jadi, kunjungan kedua kali adalah untuk menelusuri memori sekaligus melihat rupa Kebun Raya Bogor saat ini.

Bertamasya ke Kebun Raya Bogor membuatku belajar banyak hal. Aku takjub mendapati sebatang pohon bisa tumbuh tinggi menjulang selama ratusan tahun. Walau sudah melewati berbagai peristiwa dari mulai kolonisasi sampai pandemi, dia tetap tegak berdiri. Kurasa peribahasa “Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpa” terinspirasi dari pohon-pohon di Kebun Raya Bogor deh.

Aku senang mendapati kehadiran suatu tempat publik yang penuh tumbuhan hijau, dan melihat orang-orang berseluncur dengan sepeda, atau jalan kaki santai, atau beramai-ramai duduk di rerumputan. Ternyata adanya ruang ketiga dalam hidup manusia itu penting ya.

Rasanya menenangkan melihat hamparan rumput hijau, air mancur dengan kolam penuh daun teratai, jalan-jalan dinaungi pohon-pohon tinggi, dan sesekali diramaikan dengan suara-suara burung (tapi untuk yang ini harus didengarkan dengan saksama karena suaranya samar sekali).

Ternyata benar berdasarkan apa yang kutelusuri di Google Maps sebelum hari kunjungan; Kebun Raya Bogor terletak di tengah kota (for real!). Karena aku tinggal di kabupaten dan jarang sekali melihat kehadiran ruang hijau terbuka, aku sedikit takjub mendapati ada taman luas terawat dengan pohon-pohon berusia ratusan tahun di tengah hiruk-pikuk kendaraan dan jalan raya.

Kami masuk melalui pintu utama (Pintu I) yang terletak persis di depan pasar dan Lawang Suryakencana. Banyak pedagang menawarkan aneka topi dan alas duduk. Harga tiket masuk 25500 per orang (harga weekend), bisa dibayar pakai cash atau QRIS.

Setelah masuk, kami disambut hiruk-pikuk pengunjung dalam rombongan besar dan kecil. Banyak shuttle car terparkir di pinggir jalan, beberapa ada yang berlalu lalang membawa para pengunjung. Ada papan besar berisi peta dan informasi mengenai sejumlah spot menarik yang harus dikunjungi.

Dari Monumen Lady Raffles yang berwarna putih, kami mengambil jalan ke kanan—ke arah timur. Di sepanjang jalan banyak orang berjalan kaki, naik sepeda kayuh dan sepeda listrik, dan berseluncur naik skuter. Tidak terlihat kendaraan bermotor sama sekali kecuali milik petugas yang hanya satu-dua berlalu lalang. Wah, sungguh akhir pekan yang menyenangkan.

Di tengah jalan, kami menepi untuk melihat pohon kayu raja. Ternyata dia sudah menjadi penghuni kebun sejak ratusan tahun lalu. Melihatnya tumbuh menjulang menimbulkan rasa hormat di diriku. Ya ampun pohon, betapa gigih untuk tetap hidup sampai sekarang. Apa saja yang sudah kau saksikan dan alami?

Aku memandangi pohon kayu raja
Hormat dan takjub

Aku jadi teringat Treebeard, salah satu tokoh pohon tua di The Lord of the Rings. Dia pasti akan senang hati menyambut si pohon kayu raja sebagai temannya. Mendapati bahwa ada sebatang pohon tua seperti dirinya yang sama-sama masih hidup.

Lingkar batang pohon kayu raja amat tebal dan lebar—saking lebarnya sampai tidak bisa kupeluk. Daun-daunnya amat lebat, rantingnya sampai menutupi sebagian besar permukaan batang. Akar-akarnya tumbuh menjalar di permukaan tanah membentuk menyerupai papan yang disebut akar banir. Aku bahkan bisa bersembunyi di bawahnya seperti ketika Frodo dkk bersembunyi dari Nazgûl.

Setelah berfoto-foto, kuucapkan selamat tinggal dan terima kasih kepada si pohon kayu raja. Semoga akar-akarmu tetap menancap kuat, semoga batangmu tetap tumbuh tegak.

Selanjutnya kami berjalan tak tentu arah. Tiba-tiba sampai di Taman Meksiko, berisi koleksi tumbuhan kaktus dan sukulen. Dekorasi Taman Meksiko dengan patung-patung khas Meksiko mengingatkanku akan film Coco. Un Poco Loco langsung mengalun di benak.

Aku berpose di sebelah segerombol kaktus
Gerombolan kaktus yang tumbuh subur

Kontras dengan ekosistem si pohon kayu raja yang tidak terasa panas karena dinaungi teman-teman pohonnya, Taman Meksiko bermandikan sinar matahari. Seolah langsung berganti filter dari kehijauan menjadi kekuningan.

Di salah satu gerombolan kaktus tampak goresan-goresan kasar. Ketika dilihat dengan lebih saksama, ternyata goresan-goresan itu adalah nama-nama orang. Sepertinya beberapa pengunjung ingin melestarikan kehadiran mereka dan menunjukkan kepada pengunjung di masa depan bahwa mereka pernah ke sini.

Goresan-goresan nama pada kaktus seperti Indi, Lintang, Nanda
Media baru untuk menulis, "[nama] was here"

Dari Taman Meksiko berlanjut ke Taman Akuatik berisi tumbuhan-tumbuhan air. Ada kolam besar dengan jembatan kayu sebagai spot foto. Sekelompok ibu-ibu sedang asyik duduk di tikar sambil berjoget-joget ala TikTok. Di Taman Akuatik tidak banyak yang bisa dilihat, jadi beralih ke lokasi selanjutnya.

Berdasarkan papan informasi di depan tadi, salah satu spot menarik yang harus dilihat adalah Rafflesia arnoldii alias bunga padma raksasa. Kami ingin melihat secara langsung, karena selama ini hanya melihat melalui buku. Oh, ternyata bunga bangkai dan bunga padma itu berbeda! Nama spesies-nya pun berbeda.

Astaga, mengetahui fakta ini aku merasa gagal menjadi seorang alumni Biologi (ya memang sudah gagal sih, lihat saja sekarang karirku berakhir di mana 💁🏻‍♀️).

Sayang sekali. Sayang seribu sayang. Setelah bertanya ke petugas, rupanya bunga padma sedang tidak mekar. Ketika kutelusuri lebih lanjut di Google, bunga padma baru mekar pertama kali tahun 2022 di Kebun Raya Bogor! Dan sepertinya waktu mekar selanjutnya masih lama. Ya sudah, silakan berkunjung kembali lain kali 👋.

Sebatang pohon kapuk randu dengan akar-akar banir
Pohon kapuk randu

Seraya menanggung kekecewaan kami kembali berjalan tak tentu arah. Di sebuah bukaan ada sebatang pohon tinggi berdiri menjulang dengan akar-akar membentuk papan. Sama seperti si pohon kayu raja, batangnya lebar dan tebal sampai tidak bisa kupeluk. Akar-akarnya muncul di permukaan tanah, begitu lebar dan tinggi. Aku bisa bersembunyi di baliknya.

Dua papan kayu dipasang di bagian atas batang. Masing-masing bertuliskan nama spesies si pohon, Ceiba pentandra. Dan satu lagi bertuliskan, “Hati-hati dahan jatuh!” dilengkapi ilustrasi pohon dengan dahan patah dan orang yang terkejut.

Akar-akar banir pohon kapuk randu dengan papan bertuliskan nama spesies dan peringatan dahan jatuh
Cocok untuk main petak umpet

Setelah dilihat dengan lebih saksama rupanya ada banyak benda mungil semacam tanduk tumbuh di permukaan batang. Berdasarkan hasil penelusuran di Google, tanduk semacam ini umum dijumpai pada pohon kapuk sebagai alat perlindungan diri selama masa pertumbuhan.

Begitu banyak pohon besar tinggi menjulang sejauh mata memandang. Tampak batang-batang pohon yang sudah tumbang dibiarkan tergeletak begitu saja di bawah kelembapan kanopi. Beberapa ada yang sengaja dipotong menjadi beberapa bongkah, dan ditumpuk dengan rapi. Seolah sebagai dekorasi tidak sengaja. Aku membayangkan di balik batang-batang tumbang itu ada kehidupan sekelompok serangga seperti scene di The Lion King ketika si Timon dan Pumbaa mengajari Simba filosofi hakuna matata.

Aku memandangi akar-akar banir pohon kapuk randu
Terpukau memandangi tanduk-tanduk mungil di permukaan batang

Di dalam Kebun Raya Bogor ada satu restoran yang terletak di atas bukit. Di bawahnya terhampar taman berumput hijau dengan kolam air mancur dan bunga beraneka warna. Beberapa pengunjung sedang duduk-duduk di bangku pinggir kolam, ada pula yang duduk dan rebahan di rerumputan. Enak betul ya rebahan sambil memandang langit dan puncak pepohonan.

Harga menu-nya agak pricey; 100 ribuan untuk satu orang. Aku memesan nasi goreng buntut dan nasi bakar ala Kebun Raya untuk la petite sœur. Rasanya? Well, biasa saja sih. Tapi karena sudah lapar dan lelah berjalan kaki, makanan langsung habis dalam sekejap.

Restoran Kebun Raya Bogor di atas bukit dengan pemandangan kolam air mancur
Langit biru, rumput hijau, dan kolam teratai

Setelah mengisi perut dan memulihkan tenaga, bermaksud untuk melihat Istana Bogor. Letaknya agak jauh dari restoran, jadi kami memutuskan untuk menyewa sepeda listrik. Eh, ternyata butuh SIM C yang akan disimpan sebagai jaminan di loket penyewaan. Kebetulan aku tidak membawa SIM C (what a bummer ☹️), jadi menyewa sepeda kayuh seharga 40 ribu per jam untuk satu unit.

Setiap menyewa kendaraan, KTP harus dititipkan di loket penyewaan yang nanti bisa diambil kembali. Setelah mengecek kondisi sepeda, mulailah kami menelusuri jalan menuju Istana Bogor. Tidak ada yang memberitahu sebelumnya bahwa ternyata mengayuh sepeda di jalanan Kebun Raya Bogor itu melelahkan!

Aku berpose di atas sepeda dengan pepohonan di latar belakang
Ekspresi senang yang menutupi lelah setelah mengayuh sepeda selama beberapa menit

Setelah bersepeda selama beberapa menit, aku langsung berhenti mengayuh di tengah jalan. Otot-otot kedua kakiku tegang, urung melanjutkan bekerja keras. Demi pohon-pohon raksasa, lebih baik aku berjalan kaki daripada naik sepeda. Rupanya selain karena aku jarang berolahraga, kondisi jalanan yang naik-turun membuatku tidak kuat mengayuh lebih jauh. Atau memang dasar aku yang sudah jompo 💁🏻‍♀️.

Melalui hal ini aku belajar satu hal lagi tentang kemampuan diri. Aku sanggup berjalan kaki selama bermeter-meter jauhnya (sudah terbukti saat umroh dulu), tapi tidak sanggup mengayuh sepeda 🏳️. Oh, kini aku mengerti mengapa sebagian besar pengunjung lebih memilih menyewa skuter atau sepeda listrik. Ya karena tidak perlu mengeluarkan banyak ATP alias energi untuk mengayuh.

Karena alasan sayang duit sudah mahal-mahal menyewa sepeda, jadi lebih baik lanjut berputar-putar tidak jelas saja daripada mengembalikan. Padahal durasi belum satu jam. Untunglah ada jalanan datar dengan naungan pepohonan besar menjulang di kiri dan kanan. Lanjut bersepeda ke area itu sambil berfoto-foto.

Jalan dengan naungan pepohonan di kiri dan kanan
Sungguh menyejukkan mata

Setelah mengitari area restoran dan kolam air mancur (dan berfoto-foto lagi), kami mengembalikan sepeda kemudian lanjut berjalan kaki menuju Istana Bogor. Rutenya mengarah ke pintu masuk utama, kembali melewati Monumen Lady Raffles. Ada sebuah danau luas dengan permukaan penuh daun teratai. Pemandangan masih berlanjut sampai ke depan Istana Bogor. Perlahan-lahan bangunan itu mulai terlihat. Ya ampun, akhirnya sampai juga!

Danau berisi penuh daun teratai
Ancer-ancer mendekati Istana Bogor

Memang benar rupa Istana Bogor seperti yang sering kulihat di media. Bangunan putih besar yang menghadap kolam berisi daun teratai. Pilar-pilar menopang atap berbentuk segitiga. Sebuah menara dengan atap bundar berwarna emas menjulang di belakang.

Nah, sekarang foto-foto di Istana Bogor menahbiskan fakta bahwa si orang kabupaten ini pernah menginjakkan kaki di salah satu tempat bersejarah kepresidenan Indonesia.

Aku berpose di depan Istana Bogor
Oh, jadi ini toh yang namanya Istana Bogor

Salah satu tujuan ke Kebun Raya Bogor juga termasuk melihat rusa-rusa penghuni istana. Tidak ada tanda-tanda keberadaan mereka selain bau khas kandang. Mungkin ditempatkan di area lain. Kukira mereka dibiarkan bebas berkeliaran di halaman istana depan kolam.

Di dekat area kolam ada sebuah tugu bergambar sang pendiri Kebun Raya Bogor, dengan penjelasan dalam bahasa Indonesia, Belanda, dan Inggris. Oh, ternyata sang pendiri adalah orang Jerman: C. G. K Reinwardt.

Monumen di depan Istana Bogor bertuliskan nama pendiri C. G. K Reinwardt
Sang pendiri Kebun Raya Bogor

Seraya menanggung kepuasan sudah berhasil melihat Istana Bogor, kami menyusuri rute keluar. Melewati hutan bambu yang tumbuh lebat dan membentuk kanopi sampai tidak tertembus sinar matahari. Udara mendadak menjadi lebih sejuk dan suasana sunyi. Ternyata di balik hutan bambu ada kompleks pemakaman Belanda.

Tidak luas, hanya terdiri dari beberapa batu nisan besar bertuliskan nama dan kalimat dalam bahasa Belanda. Seikat bunga yang sudah kering tergeletak di depan salah satu batu nisan. Sepertinya baru-baru ini ada yang datang berziarah.

Setelah melewati sekumpulan pohon sekali lagi—yang tidak setinggi dan setua si pohon kayu raja, kami sampai di tempat parkir mobil. Di baliknya kembali terlihat hiruk-pikuk jalan raya.

Mengesalkan karena harus meninggalkan keteduhan kanopi pohon. Melelahkan karena sudah berjalan kaki mengelilingi kompleks. Sekaligus memuaskan karena sudah melihat pemandangan hijau-hijau yang menyejukkan mata. Mungkin ini yang dirasakan Pevensie bersaudara setelah kembali dari Narnia.

Semoga bisa kembali ke Kebun Raya Bogor ketika bunga padma mekar 🪷.

No comments

Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)