Powered by Blogger.

Jalan-jalan Senang/Sebentar: Naik Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Peron stasiun Padalarang dengan bangunan putih

Sebagai seorang warga kabupaten, aku merasa memiliki hak istimewa karena sudah pernah naik KRL, MRT, dan bus Transjakarta. Ini adalah pengalaman transportasi publik layak terdekat jika dibandingkan dengan kondisi transportasi di kabupaten K-town 💁🏻‍♀️. Kereta commuter dengan banyak tujuan yang beberapa terhubung langsung dengan bus kota? Oke. MRT dengan stasiun bersih, adem, dan wangi? Mantap.

Tapi, kereta cepat dengan bentuk menyerupai Shinkansen yang ada di Jepang dan mungkin sama nyamannya dengan kereta cepat Haramain? Dan kini tersedia sebagai transportasi publik? Wah, inilah pengalaman terdekat menjadi warga negara dunia pertama lmao.

Kurasa kehadiran transportasi publik jenis ini adalah hal yang sophisticated, kalau tidak mustahil.

Ketika mempelajari kanji, aku mengetahui bahwa awalan kanji Shinkansen (kereta cepat Jepang) memiliki kanji yang sama untuk kata “baru” (atarashii) dalam bahasa Jepang. Rupanya kalau diartikan per kata Shinkansen adalah “jalur utama baru”.

Mungkin karena konsep kereta cepat dengan jalur khusus dianggap hal yang baru di masa itu ketika Shinkansen diluncurkan pertama kali. Well, sama halnya dengan kereta cepat alias Whoosh—atau dalam hal ini aku lebih setuju dengan netizen bahwa nama yang lebih cocok adalah BJIR, Bandung-Jakarta Intercity Rails.

Setelah membaca utas pengalaman orang-orang di Twitter, aku lumayan penasaran dengan Whoosh, eh, BJIR. Dari mulai demografi penumpangnya yang kata netizen sebagian besar mengendarai mobil mewah, menu kereta makan yang disediakan oleh waralaba minimarket, sampai rekomendasi nomor kursi agar mendapat pemandangan bagus sepanjang perjalanan.

Mempertimbangkan bahwa rute sebatas bolak-balik Jakarta-Bandung dan durasi perjalanan hanya 30 menit—sudah ada jalan tol pula, aku sebagai bagian dari kaum mendang-mending berpikir, “Tibang ke Bandung ini daripada ke Jakarta dulu untuk ke stasiun kereta cepat mending naik travel aja lah. Lebih murah pula”.

Dan setelah merasakan naik kereta cepat, aku—yang pada dasarnya memang terlahir sebagai kaum mendang-mending—kembali berpikir demikian 💁🏻‍♀️. Tapi, sekali-sekali boleh lah ya dalam rangka pemanjaan diri (dan sudah memastikan kondisi finansial cukup).

Katanya sih di K-town akan dibuka stasiun kereta cepat juga. Karena saat ini masih dalam tahap persiapan (atau pembangunan), jadi kami sebagai warga kabupaten pinggiran yang tidak termasuk ke dalam Jabodetabek (sangat tidak adil!) harus bertolak dulu ke bagian timur ibukota agar bisa berangkat dari stasiun Halim.

Kukira stasiun-nya akan terhubung langsung dengan bandara, ternyata terletak di pinggir jalan tol Jakarta-Cikampek dan sebelahan dengan gerbang tol Halim. Parkiran dipenuhi mobil, jarak antar ruang lumayan sempit sampai sulit untuk manuver. Kalau aku yang menyetir, aku akan menyerah dan meninggalkan mobil di sana.

Mendapati ini aku jadi terheran-heran dengan pemikiranku yang awalnya skeptis: sebatas rute Jakarta-Bandung yang bisa dilewati tol, ngapain orang repot-repot naik kereta cepat dah? Ketika aku memasuki ruang tunggu (yang disambut beberapa ekor kucing, mesin pemindai, dan miniatur kereta cepat), surprise surprise!

Aku mendapati beberapa baris antrian panjang penumpang yang akan memasuki peron. Di bagian depan ada layar besar berisi informasi jadwal keberangkatan kereta yang berubah-ubah sangat cepat dan hanya diselingi waktu 15 menit.

Oh, wow.

Rupanya penumpang kereta cepat pun banyak. Beberapa ada yang membawa koper-koper besar. Proses pemindaian tiket di mesin lumayan cepat. Setelah memasuki peron, rasanya seperti berada di Jepang (entahlah, aku belum pernah ke Jepang 💁🏻‍♀️).

Pemandangan di latar belakang berupa bangunan-bangunan kelabu, dibatasi pagar kaca transparan. Dinding dan atap peron dicat putih, menampakkan kesan bersih dan minimalis. Di sepanjang jalur rel berdiri tiang-tiang dengan kabel listrik yang malang-melintang.

Peron stasiun Padalarang
日本 (?)

Kukira kedatangan kereta cepat menuju peron akan diiringi suara atau bunyi tertentu. Ternyata nihil suara! Tidak ada suara peluit, terompet, guncangan, getaran, atau decit. Proses pemberhentiannya mulus sekali, padahal awalnya bergerak cepat. Badan kereta mengkilap dan licin, mengingatkanku pada mainan kereta plastik. Kaca-kacanya gelap, memantulkan bayangan wajah ketika aku menoleh dan malah membuatku anxious lmao.

Kami duduk di kelas ekonomi untuk keberangkatan dari Halim, dan kelas bisnis untuk keberangkatan dari Padalarang. Walau penampakan dalamnya sama-sama nyaman dan bagus, tapi fasilitas yang didapat berbeda. Kursi di kelas ekonomi mirip kursi bus dengan kain pelapis bermotif. Pengaturan baris kursi 2-3.

Bagian paling depan kereta cepat dengan bentuk meruncing seperti peluru
Seperti mainan

Ketika duduk rasanya seperti kursi pesawat karena punggung kursi yang sangat tegak (tapi bisa diatur, untunglah) dan memiliki semacam bantalan di bagian kepala. Karena aku seorang Hobbit, jadi kepalaku tidak bisa merasakan kenyamanan itu.

Meja lipat terpasang di bagian belakang kursi. Ada kartu petunjuk dan pamflet menu di kantung kursi. Colokan charger tersedia di bagian bawah kursi. Tidak ada sandaran kaki sama sekali yang kurasa cukup adil mengingat durasi perjalanan hanya 30 menit. Tidak perlu tidur alias aku bisa tetap terjaga menikmati pemandangan.

Layar yang tergantung di tengah hanya menampilkan video demo alih-alih informasi kecepatan, suhu, atau daftar stasiun pemberhentian. Tapi, penumpang masih bisa melihat kecepatan kereta melalui LED yang terpasang di atas pintu. Lagi-lagi aku takjub ketika mendapati bahwa kecepatan bisa mencapai 350 km/jam.

Bagian dalam kereta kelas ekonomi dengan kursi berlapis kain biru motif
Siapa hendak turut?

Pemandangan berupa jalan tol Jakarta-Cikampek, gedung-gedung apartemen, kawasan industri, dan perlahan-lahan berubah menjadi perbukitan dan hutan. Suasana ruang kereta riuh rendah dengan para penumpang yang makin heboh dan tertawa geli ketika slogan Whoosh berkumandang.

Setelah turun di stasiun Padalarang, lanjut naik kereta feeder yang sudah menunggu dengan manis untuk sampai di stasiun Bandung. Kereta feeder disediakan secara gratis (maksudnya sudah termasuk ke dalam tiket. Tapi, karena tidak perlu membayar lagi jadi anggap saja gratis. Untunglah, karena Padalarang is out of nowhere). Kereta feeder mirip seperti kereta bandara, dengan kursinya yang hijau-hijau.

Karena mengangkut penumpang kereta cepat dan mungkin harus didahulukan, kereta feeder mampu mengalahkan kecepatan kereta lokal yang sebenarnya berhenti di stasiun yang sama. Dan karena sudah merasakan perjuangan naik kereta lokal, aku dan la petite sœur langsung tertawa puas sambil duduk nyaman ketika menyaksikan kereta itu berjalan perlahan di jalur sebelah seolah mengalah secara inferior.

Pamflet menu kereta makan berupa kopi, teh, dan roti
Kudapan

Perjalanan menuju stasiun Bandung tidak lama, hanya 19 menit. Berhenti sebentar di stasiun Cimahi sebelum melanjutkan perjalanan. Sampai di stasiun Bandung bertepatan dengan jam makan siang, jadi kami langsung bertolak ke rumah makan sate maranggi.

Bandung macet parah, mengakibatkan kami malas untuk pergi ke manapun, dan dua jam selanjutnya adalah keberangkatan kereta pulang; kami memutuskan untuk kembali ke stasiun Bandung. Nongkrong minum es kopi sambil menunggu waktu. Tidak masalah sih, toh tujuan utamanya adalah merasakan naik Whoosh, eh, BJIR.

Penumpang kelas bisnis rupanya mendapat semacam hak istimewa: kesempatan naik kereta feeder duluan jadi tidak akan terburu-buru dan sudah pasti dapat tempat duduk. Walau penumpang bisnis dan ekonomi naik kereta yang sama dan berangkat di jam yang sama 💁🏻‍♀️.

Kursi di kelas bisnis dilapis bahan kulit warna merah. Pengaturan baris kursi 2-2. Nah, sekarang kursinya mirip yang ada di kelas eksekutif kereta api jarak jauh. Ada sandaran kaki, meja lipat di bagian sandaran tangan, dan colokan charger.

Rel dan tiang listrik stasiun Padalarang yang terlihat dari jendela kelas bisnis
Perjalanan pulang yang singkat

Hal paling menyenangkan dari menjadi penumpang kelas bisnis adalah: mendapat kudapan roti dan minuman! Dua jenis roti pula, roti pizza dan roti coklat.

Alhamdulillah rezeki, lumayan disimpan untuk sarapan esok hari.

Dua roti dan sebotol air mineral yang dikemas dalam boks
Kudapan gratis

Sebenarnya pergi ke Bandung naik kereta cepat bukanlah kegiatan sia-sia sih. Dan sekarang aku jadi paham pilihan orang-orang mengalokasikan sebagian uang untuk tiket kereta cepat, alih-alih menyetir mobil sendiri melalui tol.

Proses perjalanannya praktis dan menghemat waktu dari mulai check in, boarding, sampai tiba di stasiun akhir (oleh karena itu dinamakan Whoosh?). Fasilitas dan pelayanannya bagus pula.

Aku sangat mengapresiasi kereta feeder yang gratis. Sumpah, aku awalnya skeptis bahwa penumpang akan dibiarkan mendarat di Padalarang dan harus melanjutkan perjalanan ke Bandung tanpa adanya transportasi publik yang layak 😨.

Well yeah, semoga ada penambahan rute kereta cepat. Semakin jauh sampai ke bagian timur pulau Jawa. Layaknya lirik lagu, “Ke Bandung, Surabaya. Bolehlah naik dengan percuma.”

No comments

Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)