Powered by Blogger.

Jalan-jalan Senang/Sebentar: Keraton Kasepuhan, Museum Linggarjati, dan Gua Sunyaragi Cirebon


Destinasi JJS (Jalan-jalan Senang/Sebentar) kali ini adalah Cirebon.

Selama ini acara kunjungan ke Cirebon selalu dalam rangka transit atau numpang lewat ketika mudik. Boleh dong sekali-sekali berkeliling kota sambil melihat-lihat rupa peninggalan Keraton Kasepuhan Cirebon (termasuk Gua Sunyaragi). Dan berkelana sedikit sampai ke Kuningan, kabupaten tetangga, untuk mengunjungi Museum Linggarjati.

Semua destinasi wisata ini ternyata bisa tercapai dalam waktu kurang dari 24 jam. Cukup naik kereta selama dua jam (yang tidak terlalu terasa juga sih karena tidur sepanjang perjalanan 🌞), dan tidak perlu menginap. Cocok untuk tamasya singkat di akhir pekan bagi para sobat pekerja.

Setelah sampai di Stasiun Cirebon jam 10 pagi, kami memutuskan untuk mengawali itinerary dengan menikmati brunch (atau second breakfast karena aku adalah seorang Hobbit 👶) berupa salah satu kuliner khas Cirebon: nasi jamblang.

Mungkin karena masih pagi dan belum jam makan siang, rumah makan nasi jamblang punyanya Ibu Nur yang ikonik di kalangan turis tidak terlalu ramai. Porsi nasi kira-kira seukuran satu kepalan tangan. Agak lebih banyak daripada porsi nasi kucing. Disajikan di atas daun jati dengan lauk-pauk dan sayur yang boleh ambil sendiri (tetap bayar di kasir, tentu saja).

Pilihan menu-ku adalah semur telur ceplok, sayur tahu, dan perkedel jagung. Total harganya 15 ribuan. Rasanya? Enak!

Nasi jamblang ala rumah makan Ibu Nur

Setelah perut terisi, kami bertolak ke Keraton Kasepuhan Cirebon yang terletak tidak jauh di tengah kota. Kira-kira hanya 10 menit perjalanan. Tata letak kompleks Keraton Kasepuhan sama seperti keraton-keraton di Solo dan Yogyakarta.

Di bagian paling depan ada alun-alun luas yang kini beralih fungsi menjadi tempat nongkrong warga dan dipenuhi kedai makanan. Ada beberapa gapura. Ada beberapa pendopo yang dulu digunakan sebagai tempat pengadilan dan arsitekturnya mengandung filosofi Islam. Ada taman dengan dua patung macan putih yang sedang nyengir. Dan di bagian paling akhir ada bangunan utama alias istana dengan museum berisi barang-barang peninggalan keraton.

Ikutan nyengir

Ada pemandu yang mendampingi berkeliling area keraton. Berkat penjelasan si pemandu, aku jadi tahu bahwa walau sama-sama berperan dalam penyebaran agama Islam, Kerajaan Cirebon adalah semacam rival dari Kerajaan Mataram. Aku masih belum paham hal apa yang menjadi masalah bagi mereka berdua 👀.

Dari segi budaya, Kerajaan Cirebon lebih dipengaruhi oleh negara-negara timur alias Tiongkok, India, Mesir, dan Turki (terima kasih atas peran para pedagang yang berlabuh di Cirebon berabad-abad lalu). Kalau Kerajaan Mataram punya kereta kencana dengan desain ala Eropa, Kerajaan Cirebon punya satu kereta kencana—namanya Singa Barong—dengan desain ala timur berupa seekor hewan yang memiliki kepala naga, belalai, dan dua sayap di sisi tubuh. Yeah, seperti makhluk ala kisah fantasi. Naga melambangkan Tiongkok, belalai melambangkan India, dan sayap melambangkan Mesir.

Badan kereta dicat dengan campuran serbuk emas, jadi ketika diamati lebih dekat agak berkilauan seperti glitter. Kalau berdasarkan penuturan si pemandu, kereta kencana ini memiliki desain yang paling unik dibandingkan kereta-kereta kerajaan lain. Aku membayangkan zaman dulu kereta ini melenggang di depan khalayak, terlihat mengintimidasi sampai-sampai membuat iri Kerajaan Mataram.

Kereta Singa Barong disimpan di dalam kotak kaca dan menjadi koleksi museum. Hanya dikeluarkan untuk dibersihkan pada waktu tertentu yang tentu saja mengikuti penanggalan Islam. Ada versi replika-nya juga, tapi dipajang tanpa kotak kaca.

Museum terletak di dalam bangunan terpisah dari istana. Koleksinya berupa: perlengkapan makan-minum, berbagai macam keris dan kujang, beberapa pakaian milik anggota kerajaan, aksesoris para penari kerajaan, alat-alat rumah tangga, berbagai macam pajangan kaca dan porselen, buku-buku yang ditulis dalam aksara Arab pegon, dan berbagai senjata yang dulu digunakan dalam perang melawan penjajah.

Nah, satu jenis perlengkapan perang yang tidak dimiliki prajurit Kerajaan Mataram adalah: baju zirah rantai!

Yeah, baju zirah rantai seperti yang selalu dikenakan para prajurit di film-film gitu. Aku bertanya-tanya seberat apa ketika dikenakan. Sayangnya tidak bisa dicoba, sih, hanya bisa dilihat melalui kotak kaca.

Di salah satu dinding museum terpajang lukisan Prabu Siliwangi dengan seekor harimau putih berdiri di sampingnya. Kata si pemandu, mata sang raja seolah mengikuti kalau dilihat dari segala sisi. Oke, mungkin ini menjadi misteri—sampai dikaitkan dengan hal-hal gaib. Tapi, yah, bisa jadi karena perspektif? (Ternyata ada penjelasan secara ilmiah untuk ini, terima kasih Google).

Di museum juga ada sebongkah batu hitam yang dulu digunakan sebagai alat penunjuk arah kiblat. Ukurannya besar sekali, berbentuk persegi panjang dan menghadap ke arah barat. Well, sebelum warga mengenal kompas, batu ini pernah berjasa besar.

Setelah berkeliling museum, tur dilanjutkan dengan melihat-lihat bagian istana. Di kanan dan kiri istana ada dua gerbang bercat putih dengan dekorasi keramik warna-warni. Di bagian dinding beranda istana—sebelum memasuki ruang singgasana—ditemukan banyak keramik bergambar.

Gerbang istana dengan keramik warna-warni

Ternyata, gambar-gambar itu adalah kisah-kisah yang diambil dari kitab suci. Beberapa di antaranya ada kisah bahtera Nabi Nuh, Nabi Musa dan 10 perintahnya, bahkan adegan Nabi Yusuf digoda oleh Zulaikha dan Nabi Sulaiman bertemu dua ibu yang memperebutkan satu bayi!

Mengamati keramik-keramik ini seperti membaca buku cerita bergambar. Sungguh kreatif dan menarik. Hmm, boleh lah ya jadi inspirasi dekorasi rumah kelak 💁🏻‍♀️.

Adegan ketika Nabi Yusuf digoda oleh Zulaikha

Ruang singgasana tidak terbuka untuk umum. Jadi, kami hanya bisa mengintip dari balik jendela di bangunan samping. Kalau kata la petite sœur, tata letak ruang singgasana seperti yang ada di drama Korea bertema kerajaan. Berupa panggung khusus tempat duduk raja, sementara di depannya ada kursi-kursi yang disusun berhadapan satu sama lain tapi tidak menghadap raja.

Di area paling belakang setelah ruang singgasana, ada keputren alias tempat tinggal para putri dan serambi yang dulu digunakan untuk mengaji. Di dinding serambi juga ada beberapa keramik bergambar, tapi tidak sebanyak di beranda.

Oh ya, menurut penuturan si pemandu, dulu di area belakang keraton ada sungai yang dihuni banyak buaya. Dan mereka punya tugas penting: menjadi penjaga sekaligus pemangsa bagi musuh yang mencoba menyusup. Bukti keberadaan buaya berupa tengkorak kepala yang dipajang menjadi koleksi museum.

Keren.

Selain Keraton Kasepuhan, Cirebon punya dua keraton lain yang sebenarnya adalah pecahan: Keraton Kacirebonan dan Keraton Kanoman. Kami tidak berkunjung ke sana, hanya numpang lewat. Walau sama-sama menjadi destinasi wisata, dua keraton yang lebih muda punya kompleks yang lebih kecil dan sepi pengunjung.

Setelah tur selesai, lanjut berfoto-foto sejenak di kompleks keraton. Destinasi berikutnya adalah Museum Linggarjati di Kuningan, terletak kira-kira 30 menit perjalanan dari Cirebon. Kuningan sudah bukan termasuk Cirebon yah alias kabupaten tetangga. Sepanjang perjalanan (jalannya menanjak), semakin mendekati Kuningan, Gunung Ciremai semakin terlihat.

Selain menjadi tempat perundingan, Museum Linggarjati ternyata dulu adalah hotel! Para delegasi Indonesia dan Belanda, bersama para notulen, menginap dengan fasilitas kamar tidur, kamar mandi, ruang makan, dan pemandangan Gunung Ciremai yang menjulang di latar belakang. Bangunannya ala arsitektur Belanda. Ada beranda-beranda luas dan sebuah taman dengan undak-undakan.

Manifesting

Ya ampun, aku pun akan betah juga sih kalau menginap di sana. Bahkan la petite sœur menjadikan arsitektur Museum Linggarjati sebagai inspirasi membangun kos-kosan 💁🏻‍♀️ (yang membuatku bertanya-tanya apakah jenis bangunan seperti ini bisa diaplikasikan di masa sekarang).

Sama seperti di keraton, ada pemandu yang akan mendampingi berkeliling museum. Tur dimulai dengan melihat diorama suasana perundingan. Delegasi Indonesia duduk di meja sebelah kiri, sedangkan delegasi Belanda di kanan. Seorang perwakilan dari Inggris duduk sebagai mediator perundingan di meja paling ujung. Para notulen duduk terpisah di meja paling belakang, bersama alat-alat perekam.

Rasanya seperti langsung pindah ke masa lalu ketika beralih ke ruangan selanjutnya. Diorama yang baru saja dilihat, langsung ada versi aslinya! Di ruangan selanjutnya alias ruang perundingan, tertata meja-meja panjang dan kursi-kursi yang sama. Di atas meja ada sebuah bendera dari negara masing-masing, dan papan nama para delegasi.

Ruang perundingan

Benakku langsung membayangkan situasi zaman dulu—para delegasi yang berbicara dan sesekali ditengahi oleh mediator, sementara riuh rendah mesin-mesin ketik terdengar di latar belakang.

Dan karena kunjungan ke Museum Linggarjati, aku baru menyadari bahwa dulu Indonesia pernah menjadi negara serikat. Sayang sekali bagian ini tidak pernah dibahas secara lebih detail saat pelajaran Sejarah (apalagi dulu Mrs. Y si guru Sejarah lebih suka membahas sejarah dirinya sendiri daripada sejarah Indonesia *bombastic side eyes at you, Mrs. Y 👀*).

Kamar-kamar tidur terletak di bagian belakang, dihubungkan oleh koridor. Para delegasi menempati satu kamar berdua, sedangkan sang mediator mendapat kamar VIP alias tidur sendiri dengan kamar mandi dalam. Tidak ada pendingin ruangan atau kipas angin. Hanya ada beberapa lemari pakaian dan lampu. Mungkin karena udara zaman dulu masih sejuk.

Kamar tidur para delegasi

Di bagian paling belakang ada kamar mandi dan ruang makan bersama. Kamar mandinya luas betul—muat untuk lima orang dan tidak ada toilet alias hanya digunakan untuk mandi. Sebuah bak mandi besar dari batu bata penuh berisi air terletak di sudut. Sampai sekarang masih dipertahankan sesuai keadaan asli.

Bagian ruang makan bukan seperti hotel zaman sekarang dengan meja makanan prasmanan, tapi hanya berisi lemari perlengkapan makan dan sebuah meja bundar dengan empat kursi. Sungguh sederhana. Enak kali yah malam-malam minum teh sambil menyeduh mie di sini 🍜.

Di sepanjang dinding koridor terpajang foto-foto yang menampilkan peristiwa selama perundingan berlangsung. Ada foto sekumpulan jurnalis dari media luar negeri yang sedang duduk-duduk di luar hotel. Ada foto sang mediator yang baru saja tiba dengan mobil sedan (aku tidak tahu jenis-nya apa, tapi sepertinya lumayan mewah). Ada foto diri sang pemilik hotel (yang telah berkenan menyediakan tempat bagi salah satu peristiwa bersejarah). Bahkan ada foto Presiden Soekarno sedang duduk berdiskusi bersama sang mediator. Ternyata, sebelum perundingan dimulai, Presiden Soekarno sempat mampir sebentar.

Ada ruang duduk yang selain berisi sofa-sofa panjang, dilengkapi sebuah grandfather clock dan piano. Sayang sekali piano-nya tidak bisa dimainkan (kayak yang bisa main aja dah 💁🏻‍♀️). Semuanya sampai sekarang juga masih terawat dan sesuai keadaan asli.

Vibe-nya Ghibli banget nggak sih? (Lihat yang hijau dikit langsung Ghibli 🤸🏻)

Selesai berfoto ria sambil manifesting punya investasi berupa bangunan seperti Museum Linggarjati, kami bertolak ke Cirebon lagi. Destinasi terakhir (hah final destination??? 😱) adalah Gua Sunyaragi.

Pintu masuk Gua Sunyaragi yang seolah menyiratkan, "Selamat datang! Selamat berpetualang!"

Terletak tidak jauh dari pusat kota Cirebon, Gua Sunyaragi adalah salah satu bagian dari peninggalan Keraton Kasepuhan. Dulu digunakan sebagai tempat para raja dan keluarganya bermeditasi. Aku kira penampakannya akan seperti gua-gua peninggalan kolonial alias gua buatan, atau kalau tidak, yah, seperti gua-gua alami dengan stalaktit dan stalagmit gitu deh. Loh, ternyata tidak seperti keduanya sama sekali!

Gua Sunyaragi memang buatan, tapi terdiri dari banyak gua kecil dan tersembunyi yang dibangun dari batu-batu karang. Masing-masing gua punya nama tersendiri. Ruang di dalamnya sangat kecil, sempit, dan gelap. Hanya cukup ditempati oleh satu orang. Sungguh cocok digunakan sebagai tempat menyendiri alias meditasi. Cocok juga, sih, untuk main petak umpet.

Salah satu mulut gua

Menelusuri kompleks Gua Sunyaragi rasanya seperti mencari jalan keluar di labirin yang berubah-ubah. Apalagi batu-batu karang terlihat seperti kamuflase. Kirain di baliknya ada jalan setapak menuju arah keluar, ternyata menuju pintu masuk gua lain. Tapi, tidak begitu membingungkan, menakutkan, dan menegangkan juga, sih. Menyenangkan malah.

Jalur di antara gua-gua kecil

Kesan pertamaku saat memasuki Gua Sunyaragi adalah: “Wah, seperti main game Temple Run, tapi tanpa dikejar gerombolan monyet”.

Di bagian tengah ada satu gua yang paling tinggi dan besar. Namanya Gua Peteng. Di puncaknya ada sebuah makam yang dipagari. Dan yeah, gua tersebut boleh dimasuki pengunjung. Jalurnya agak curam karena berundak-undak. Ruangannya sempit dan gelap (sampai harus menyalakan senter hape). Kirain akan berakhir di suatu dimensi lain (atau tersesat), ternyata berakhir kembali di udara terbuka di sisi seberang.

Makam di puncak Gua Peteng

Ada seorang turis ibu-ibu yang tampak ragu-ragu sebelum memasuki gua, dan setelah mendapati kami keluar dengan selamat, si ibu langsung berkata dengan lantang, “Nah, tuh mereka udah keluar di sana!” 🧞‍♀️

Sebenarnya, Gua Sunyaragi dikelilingi oleh danau. Tapi, karena saat itu musim kemarau dan belum turun hujan sama sekali, aku tidak ngeh kalau sebenarnya ada danau (karena sedang kering). Mungkin kalau dibandingkan dengan Kerajaan Mataram, Gua Sunyaragi seperti Taman Sari kali yah.

Setelah berfoto-foto dan berhasil keluar tanpa terlempar ke dimensi lain, kami lanjut menjalani kegiatan mandatory turis Indonesia: belanja-belanji.

Selain wisata kuliner, Cirebon juga punya motif batik tersendiri. Selama ini kukira yang namanya Trusmi itu adalah sebuah merek batik. Ternyata, Trusmi adalah nama desa/daerah khusus pengrajin batik yang kini jadi destinasi wisata.

Ada deretan toko batik di sepanjang jalan, tapi yang bangunannya paling besar dan papan tandanya menjulang adalah BT Batik Trusmi (yang karena penggunaan daerah ini menjadi merek membuatku salah mengira). Ini semacam supermarket khusus oleh-oleh seperti Krisna Bali.

Sambil memborong kain-kain batik, kembali ke Stasiun Cirebon untuk pulang menuju kabupaten.

JJS ke Cirebon ini berhasil menyadarkanku bahwa tidak peduli tamasya sesingkat atau selama apapun, tetap saja di akhir hari alias H-1 sebelum masuk kerja, anxiety akan selalu menghampiri. Jadi yah, kalau ada rencana JJS lagi, langsung eksekusi saja karena toh tidak ada bedanya.

Kapan-kapan JJS lagi 💅🏻.

No comments

Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)