Mendapat kesempatan untuk berkunjung kembali ke Haramain: Mekkah dan Madinah.
Alhamdulillah.
Masya Allah.
Tabarakallah.
Setelah mengurus cuti dan perizinan ke pihak berwenang (cuti tahunan diambil semua karena tidak ada izin khusus dari perusahaan š), kali ini berangkat berdua saja bersama ma petite sÅur (sisterhood forever š).
Beberapa minggu sebelum hari H keberangkatan, halaman Explore Instagram-ku dipenuhi postingan-postingan bertema umroh atau kegiatan di Mekkah-Madinah. Kata Ma, itu tandanya akan berangkat umroh beneran. Hmm… jadi QS. 42:51 bisa bermakna pula perantara wahyu berupa algoritma Instagram yah, Bund.
Hari H keberangkatan aku menyaksikan pembuktian ayat Al-Quran tersebut. Padahal tadinya aku sempat takut cuti panjangku tidak akan disetujui (apalagi ini berupa cuti tahunan, bukan cuti khusus kayak menikah). Sampai-sampai setiap hari aku rehearsal dalam hati percakapan khayalanku ke pihak berwenang (alias atasan)—memastikan tidak ada salah ucap.
Tapi, alhamdulillah 99% hal yang kutakuti tidak terjadi (kayak lagunya Kunto Aji). Malah aku kaget “Hah gitu doang???” saat cutiku langsung ditandatangani tanpa ditanya/dikomentari macam-macam. Yah, memang pada dasarnya aku mudah cemas terhadap hal-hal sepele, sih (I’m still working on it tho š).
Karena hanya berangkat berdua dan ciwi-ciwi pula, ada beberapa orang yang langsung bertanya, “Cuma berdua? Berani?” Yha gimana yha kita lihat saja nanti *finger crossed* toh berangkat-nya ramean, bukan backpacker-an.
Alhamdulillah lagi. Selama perjalanan tidak ada kejadian aneh—entah tiba-tiba terpisah atau hilang. Kami membuat kesepakatan jikalau tiba-tiba terpisah: masing-masing langsung pulang ke hotel saja dan menunggu siapa yang duluan sampai.
Selalu berdua saat pergi ke manapun—tak terpisahkan selayaknya kucing adik-kakak atau sahabat sejati yang harus diadopsi keduanya—sampai-sampai kami dijuluki “Si Kembar” oleh para anggota rombongan umroh šš»♀️.
Kegiatan setiap hari selama di Mekkah dan Madinah hanya berupa makan, tidur, jalan-jalan, dan ibadah. Serupa kehidupan seekor kucing rumahan: no fear, no stress. Mungkin karena keajaiban Haramain pula, jadi vibe-nya tuh tetap terasa beda kalau dibandingkan bepergian di negara lain walau menjalani kegiatan yang sama.
š Hari 1-5 (CGK-JED-MEC) š
Berangkat dari CGK setelah adzan Maghrib berkumandang. Menghabiskan delapan jam di dalam pesawat berusaha untuk tidur (tapi tetap tidak bisa šš»♀️). Mendarat di JED setelah tengah malam dan langsung bertolak ke MEC.
Di bandara JED sempat merasakan naik LRT dari terminal kedatangan sampai tempat pengambilan bagasi. Lumayan juga sih menghabiskan waktu sambil menunggu proses handling bagasi dari pihak travel selesai. Sekalian foto-foto ala turis (ya ampun, akhirnya si warga kabupaten dari negara dunia ketiga bisa merasakan naik LRT negara dunia pertama!).
Akhirnya aku bisa tidur sejenak dalam bis perjalanan ke MEC. Setelah sembilan tahun sejak terakhir kali umroh, penampakan area sekitar Masjidil Haram sudah berubah banyak. Sekarang agak lebih rapi. Masih ada area konstruksi, sih, seperti yang kuingat. Tapi sekarang aku bisa menyaksikan Zam-zam Tower yang sudah selesai dibangun! Tinggi betul ternyata.
Alhamdulillah lagi. Hotel terletak tidak jauh dari masjid—lebih dekat ke area perluasan King Abdullah, agak lebih jauh dari pintu 79 (King Fahd Gate alias pintu utama) dan area pertokoan. Kami mendapat kamar dengan pemandangan langsung bagian barat Masjidil Haram dan Zam-zam Tower.
Kalau sedang mager (maafkeun) dan agar lebih cepat pulang ke hotel, kami shalat di pelataran masjid atau di dalam area perluasan. Seringnya sih ketika salat Subuh (masih muka bantal š“) atau kaki sudah sangat cangkeul sampai tidak sanggup lagi bergerak.
Langit-langit di area perluasan Masjidil Haram dengan lentera-lentera yang cantik |
Pernah juga shalat di rooftop masjid (aku lupa lewat pintu nomor berapa, pokoknya naik melalui eskalator), dengan pemandangan Zam-zam Tower yang menjulang. Di manapun tempat shalat-nya, speaker masjid tetap terdengar lantang dan tidak kresek-kresek.
Di pagi hari, ketika energi sudah diperbarui semalam sehingga sanggup jalan jauh lagi, kadang kami shalat Dhuha di pelataran Ka'bah—masuk melalui pintu 79—terus lanjut jalan-jalan santai sekaligus window shopping di pertokoan sekitar Zam-zam Tower sampai Dzuhur tiba. Setelah itu, makan siang di hotel. Rebahan sebentar, dan berangkat kembali ke mesjid untuk shalat Ashar.
Pintu 79 |
Ada satu hari ketika kami ingin makan siang di luar hotel, jadi setelah bubaran shalat Dzuhur, kami beranjak ke salah satu mall sebelah Zam-zam Tower.
Aku tidak pernah bisa mengingat nama tempatnya. Kalau ditanya orang, pokoknya aku jawab, “Yang itu weh” (gak jelas emang šš»♀️). Kayaknya nama mall-nya Abraj, deh.
Kami menemukan satu outlet Albaik di salah satu gang pertokoan (lagi-lagi aku tidak bisa menunjukkan dengan tepat ancer-ancernya š). Ngomong-ngomong, makanan khas Arab Saudi bukan nasi biryani, oke, tapi Albaik š.
Tapi, outlet Albaik yang ini tidak menjual paket ayam+kentang+roti yang per porsinya bejibun dan ikonik itu. Mereka hanya menjual paket nugget ayam+kentang+roti+minuman soda+maamoul dan per porsinya sama-sama bejibun, cukup untuk 2-3 kali makan bagi anak kos. Harganya SR 23. Satu porsi cukup untuk dua orang.
Makan siang Albaik yang praktis dan mengenyangkan. Starbucks cup siap minum dibeli di Bin Dawood |
Untunglah, di mall ada food court—mereka memasang banner bertuliskan, “Ada tempat makan untuk keluarga di lantai 3”—jadi tidak perlu bingung hendak makan di mana. Dan tentu saja food court dipenuhi para jamaah/turis/pekerja karena jam makan siang. Sebagian makanan yang dijual berupa makanan Timur Tengah dan India. Harganya standar, sih, SR 15-40.
Kami pernah mencoba beli shawarma—yang termurah di antara makanan lain—dan rasanya seperti lotek ditambahin ayam š✋. Sudah cukup mengenyangkan karena porsi besar (setiap makanan yang dijual di sana pasti berporsi besar). Kalau soal makanan, lidahku tidak pernah bermasalah sih, tapi tetap saja sama seperti stereotip jamaah Indonesia yang seleranya cenderung picky, aku pun kangen makan bakso dan makanan mengandung micin lainnya šš»♀️.
Setelah kenyang, kami kembali ke masjid sambil duduk-duduk menunggu adzan Ashar. Kalau mager, kembali ke hotel. Kalau sedang ditugasi Ma, kembali ke mall untuk mencari oleh-oleh—layaknya karakter game yang pergi berpetualang menunaikan misi penting agar dapat reward. Baru kembali ke hotel untuk makan malam jam 21:00 setelah bubaran salat Isya.
Masjidil Haram yang terang benderang di malam hari |
Aku hampir lupa bahwa kehidupan di Arab dimulai setelah Isya, ketika cuaca tidak lagi panas dan para penjual lebih semangat menawarkan dagangan ke para jamaah.
Sekarang running jokes di antara mereka ketika bertemu jamaah Indonesia adalah “abaya/gamis Syahrini” dan “bayar pakai Jokowi” (maksudnya rupiah). Sepertinya belum ada yang memberikan informasi terkini bahwa Syahrini tidak lagi jadi trending topic. Kurasa setelah sembilan tahun pun, running jokes-nya masih berpusat di Syahrini, deh. Dan aku penasaran kira-kira apa running jokes untuk jamaah negara lain?
Setiap mall-hopping alias loncat dari satu mall ke mall lain, pasti juga selalu mengunjungi supermarket-nya. Destinasi favorit: gang khusus etalase coklat!
Ada beberapa merk yang bisa ditemukan di Indonesia, tapi ada lebih banyak merk yang baru kutemukan di sana. Mana desain kemasan-nya lucu-lucu pula. Berasa ingin beli semua, langsung masuk ke keranjang. Teringat kapasitas koper dan tidak boleh kalap, akhirnya hanya beli beberapa bungkus.
Selain gang coklat, ada etalase berbagai merk jus buah dalam berbagai kemasan. Rasa jus-nya tidak terlalu artifisial, sudah cukup memberikan efek hidup sehat “wow hari ini aku mengonsumsi jus kaya vitamin”—walau aku tahu minuman kemasan pasti mengandung gula dan natrium šš»♀️. Worth to try because I always love having fun drinks.
Rutinitas selama lima hari di Mekkah begitu terus—dan baru kusadari di kemudian hari bahwa sembilan tahun lalu pun aku menjalani rutinitas yang sama.
Mungkin karena sudah berada di usia 20 tahunan alias semakin bertambah usia semakin menyadari dan memahami apapun yang terjadi—seolah satu bagian otak sudah terbuka sepenuhnya untuk menampung banyak pengetahuan baru—perjalanan umroh kali ini terasa jauh berbeda daripada sebelumnya.
Atau mungkin juga karena sekarang aku sudah termasuk so called kaum jompo, tawaf dan sa'i terasa lebih melelahkan (tidak ada yang mengalahkan rasa nikmat meneguk air Zam-zam setelah tawaf). Tapi, anehnya lebih make sense.
Well, aku tahu sejarah di balik tawaf dan sa'i, tapi aku baru menyadari betapa bermakna kedua ritual tersebut. Aku menganggap tawaf adalah bentuk penghormatan kepada Nabi Ibrahim dan Ismail yang sudah membangun (atau merekonstruksi?) Ka'bah, dan kepada Ka'bah itu sendiri sebagai kiblat—kalau tidak ada Ka'bah, jadi bingung kan harus menghadap ke arah mana ketika shalat?—, dan kepada Allah tentu saja karena sudah memberikan kesempatan untuk melihat Ka'bah—yang selama ini hanya lihat lewat sajadah.
Dan untuk sa'i, aku menganggapnya sebagai bentuk apresiasi untuk kegigihan dan keyakinan Siti Hajar lari bolak-balik antara dua bukit, mencari air untuk Ismail. Ketika acara city tour, bis melewati banyak gunung batu dan gurun dan aku selalu terpukau mengingat bagaimana tangguhnya orang-orang di zaman nabi dulu mengarungi itu semua dengan hanya berjalan kaki atau mengendarai unta/kuda.
Menakjubkan mendapati bagaimana orang-orang dari seluruh dunia berkumpul untuk beribadah di Masjidil Haram, bagaimana sebanyak apapun orang yang datang akan selalu ada tempat untuk mereka. Ini kusadari saat shalat Jumat—di mana jamaah lebih banyak daripada waktu-waktu shalat lain—kami masih mendapat tempat di dalam masjid, walaupun agak di belakang.
Karena bertemu banyaknya manusia dan megahnya Ka'bah jika dibandingkan manusia-manusia yang mengelilinginya, aku jadi merasa kecil dan tidak berarti. Kayak masalah yang tadinya kuanggap ala first world problem pun jadi terasa sepele. Aku jadi menanamkan keyakinan di dalam diriku: "It'll pass. It'll get better".
Dan maafkan tendensi-ku untuk selalu meromantitasi segalanya, bahkan momen ketika jamaah ikut berdiri mendirikan shalat jenazah tepat setelah selesai shalat wajib dan imam mengumumkan dengan kalimat ajakan yang diakhiri doa alih-alih paksaan—baru kuketahui arti dari pengumuman tersebut setelah kucari di Google—pun membuatku takjub.
Astaga, bagaimana rasanya meninggal di Haramain, kemudian dishalatkan orang-orang dari seluruh dunia? Merinding, guys (in a good way).
Satu hal lagi yang kembali membuatku terpukau, Masjidil Haram menyambut jamaah-nya dengan murah hati.
Boleh mengambil sebanyak mungkin air Zam-zam (dan tidak akan pernah habis!). Boleh tidur sambil selimutan atau bawa sajadah tebal yang berfungsi ganda sebagai alas tidur (dan ajaibnya otomatis terbangun tepat saat adzan mulai berkumandang) tanpa diusir petugas.
Boleh beribadah selama mungkin (selalu ada tempat). Mudah diakses pengguna kursi roda (ada jalur khusus di area tawaf dan sa’i). Menyediakan banyak kursi lipat untuk dipakai para lansia atau orang-orang yang tidak bisa shalat berdiri.
Dan ajaibnya lagi selalu ada random strangers yang memberi kurma, manisan Arab (aku tidak tahu namanya), roti, jus, teh, atau kopi Arab yang wangi dan terasa seperti jamu (I kinda like it)—wow, terima kasih random strangers! š«°š»
Ngomong-ngomong, di Masjidil Haram ada perpustakaan. Masuk melalui pintu 79, terus naik tangga di sebelah kanan dari pintu—ada bagian Lost and Found di bawahnya. Sayangnya, perpustakaan hanya terbuka untuk laki-laki ☹️.
Di tengah kegiatan terpukau-pukau dan tertakjub-takjub, ada kegiatan mandatory ala jamaah umroh, tentu saja: city tour.
Itinerary-nya sama seperti sebelumnya sih: mengunjungi per-jabalan; Jabal Tsur, Jabal Rahmah, Jabal Nur, Padang Arafah, Mina, dan mengambil miqat untuk umroh kedua di masjid Tan'im.
Sayangnya, akses ke per-jabalan sekarang terbatas. Boleh masuk, tapi harus jalan agak jauh. Jadi, karena para jamaah juga sama mager-nya dengan kami (banyak debu dan cuaca panas), kegiatan di sana hanya foto-foto grup. Terus ke tempat selanjutnya.
Ternyata di Padang Arafah pun begitu. Setelah foto-foto grup, kami langsung ngacir beli es krim harga SR 5 dan kembali duduk di bis sambil menunggu anggota rombongan lain selesai belanja. Tadinya kami akan berburu coklat kiloan—misi spesial dari Ma—tapi karena situasi terlalu ramai, panas, dan berdasarkan inspeksi sekilas tidak ada pedagang coklat kiloan yang proper, kami harus membatalkan misi. (Di kemudian hari berhasil dapat coklat kiloannya kok š MISSION ACCOMPLISHED š)
Setelah menyelesaikan umroh kedua dan rutinitas terakhir di Mekkah, saatnya pelesiran ke Ta’if!
š Hari 6 (TIF) š
Aku baru mendengar keberadaan Ta'if di perjalanan umroh kali ini. Awalnya, kukira Ta'if adalah kota baru yang sengaja dibangun khusus untuk pariwisata. Tapi, ternyata Ta'if sudah ada dari dulu dan punya sejarah yang berhubungan dengan Rasulullah! (Aku hampir nangis saat mendengar cerita pertemuan Rasulullah dengan Addas š)
Kalau di Indonesia, Ta'if ibarat kota Batu, Malang kali yha. Udaranya sejuk. Ada banyak perkebunan, penginapan, dan tempat bermain yang baru buka di malam hari. Aku tidak percaya Arab Saudi punya kota sedingin ini (di pikiranku Arab Saudi hanya berupa gurun, gunung batu, gurun, gunung batu, panas, panas, panas, dua kota suci šš»♀️).
Kegiatan spesial bagi jamaah Indonesia yang berkunjung ke Ta'if adalah: mengunjungi kebun mawar dan naik cable car.
Kegiatan di kebun mawar hanya berupa foto-foto grup, duduk di satu ruangan, menonton video penyulingan mawar yang akan diolah menjadi parfum, losion, dan jenis pengharum tubuh lainnya, kemudian diarahkan ke bagian penjualan. Lagi-lagi aku heran mendapati tumbuhan dan bunga-bungaan bisa tumbuh subur di Arab Saudi.
Nah, di sini aku teringat satu bagian di The Secret Commonwealth—sekuelnya His Dark Materials, btw—ada suatu wilayah di gurun yang menjadi pusat penyulingan mawar dan kelak menjadi sumber konflik dari buku ini.
Hmm, apakah “suatu wilayah di gurun” ini terinspirasi dari Ta’if? š¤Æ (ya halo Philip Pullman, Sir, please confirm)
Tidak belanja sama sekali di kebun mawar karena harganya pricey, walaupun parfum dan losion-nya wangi semerbak seperti habis mandi.
Setelah berkunjung ke kebun mawar, saatnya makan siang!
Bis berhenti di suatu rumah makan konsep outdoor dengan banyak saung kecil (seperti lesehan Sunda), dinaungi pohon-pohon, dan dipenuhi kucing chonky berbagai warna bulu tapi kabur saat didekati. Menu berupa nasi biryani (atau nasi mandi?) dan ayam panggang.
Aku langsung berpikir, “Oh, jiga ngaliwet nya” saat pertama kali melihat cara penyajiannya. Alih-alih daun pisang (seperti ngaliwet šš»♀️), nasi+lauk disajikan dalam pinggan besar untuk 4-5 orang. Tidak ada sayur (atau lalapan), tapi ada sambal tomat yang terasa segar dan asam—cocok betul dipadukan dengan rasa rempah nasi.
Perut sudah kenyang, kini saatnya merasakan pelesiran sebenarnya: naik cable car.
Di sepanjang jalan menuju tempat cable car, aku mendapati ada banyak tempat bermain terbuka untuk anak-anak, dilengkapi beberapa payung besar untuk orang tua duduk-duduk santai sambil menunggu. Wah, kalau ada di Indonesia, pasti sudah ramai dipadati warga menghabiskan sore atau hari libur dan dikerumuni para pedagang (bahkan jingle es krim pun langsung mengalun di bayanganku šš»♀️).
Ta’if benar-benar kota ramah keluarga (ya halo Indo government, what’s stopping you from making accessible public, kid-friendly areas like these?).
Suatu waktu ketika aku sedang terkantuk-kantuk, tiba-tiba aku melihat kerumunan babun di gunung batu! Banyak sekali, dari yang besar, kecil, sampai si ibu dengan anak di punggungnya. Agak surreal yha, berasa kayak semacam scene apocalypse gitu (Rise of the Planet of the Apes FOR REAL š✋).
Tapi, ternyata berdasarkan pencarian di Google, di Ta’if ada tempat wisata khusus monkey watching. Dan siapa tahu para babun memang sudah menghuni pegunungan tersebut sejak lama, ya kan? Lebih surreal lagi, di sepanjang jalan berikutnya tidak bertemu kerumunan babun lagi. Pengalaman ini disimpan ke dalam core memory-ku, sudah pasti.
Stasiun cable car terletak di dalam kompleks hotel. Vibe-nya sama seperti naik cable car di Genting, Malaysia. Rute panjang di ketinggian melewati pegunungan dan jalan raya, tapi berakhir di tempat bermain (yang di dalamnya ada banyak wahana dan water park) alih-alih berakhir di pertokoan barang branded.
Tampang senang habis naik cable car |
Ada wahana viral di kalangan jamaah Indonesia, yaitu Toboggan. Semacam kereta luncur yang dikendalikan manual dengan jalur naik-turun ala roller-coaster. Kami tidak sempat merasakan naik ini karena pertama: waktu terbatas, kedua: harus bayar tiket lagi (tidak termasuk tiket cable car), ketiga: sudah kepalang mager (this one, I believe, is just our natural tendency šš»♀️). Apalagi anggota rombongan yang naik di cable car yang sama dengan kami juga sama-sama mager turun ke tempat bermain.
Harga tiket cable car agak pricey: SR 100, tapi kurasa sepadan sih untuk pemandangan dan pengalaman selama 40 menitan.
Pemandangan dari jendela cable car |
Aku teringat satu bagian di Dune ketika Duke Leto Atreides bercita-cita memaksimalkan “kekuatan gurun”. Memandangi gunung-gunung batu dan pasir di balik jendela cable car membuatku heran dan penasaran: wah, kayaknya susah yha, semuanya tampak asing dan keras. Sudah pasti ada bagian dari gurun dan gunung tersebut yang tidak bisa dimanfaatkan sama sekali karena keterbatasan akses atau alat? Atau malah nihil, buang-buang waktu saja? Terus ngapain juga aku mikirin itu padahal bisa jadi kenampakan alam yang kulihat di Arab Saudi baru hanya 5%-nya?
Dalam perjalanan kembali ke Mekkah (waktu tempuh dua jam), aku sempat melihat kehidupan Ta’if di malam hari. Kini tempat bermain sudah buka (wahana-nya menyala dengan lampu neon warna-warni), dan ada beberapa mobil yang berhenti di puncak bukit. Para penumpang-nya menggelar karpet/sajadah dan beberapa bangku lipat terus duduk-duduk santai sambil menikmati suasana malam. Berasa kayak scene film atau buku.
Setelah sampai di Mekkah, lanjut beberes di hotel untuk persiapan ke Madinah besok.
š Hari 7-12 (MEC-MED-CGK) š
Kegiatan terakhir di Mekkah adalah shalat Subuh dan tawaf wada. Selama beberapa hari di Mekkah aku tidak benar-benar pernah melihat suasana sekitar Masjidil Haram dari waktu selesai Subuh sampai matahari terbit (yah, karena langsung kembali ke hotel begitu selesai shalat Subuh šš»♀️).
Jadi, setelah tawaf wada jam 06:00, kami seperti diberi kesempatan melihat suasana-nya seperti apa—seolah memastikan bahwa ini juga akan termasuk ke dalam core memory.
Ternyata, di pelataran luar masjid ada banyak banget burung merpati! Kayak, banyak banget. Ada seorang ibu-ibu yang sedang memberi makan, dan mereka berkerumun di sekitar si ibu. Gedung-gedung sekitar masjid dipenuhi cahaya keemasan matahari terbit. Ada bulan separuh yang masih terlihat di langit.
Birds! |
Dalam perjalanan kembali ke hotel, kami bertemu sekumpulan pekerja konstruksi yang entah baru saja bubaran shift atau siap-siap bekerja. Biasanya di hari-hari biasa jam segini pun aku sebagai pekerja budak korporat sedang berkutat dengan morning rush hour, tapi di pagi hari itu di masjid semuanya tampak menenangkan jiwa.
Gedung-gedung di sekitar Masjidil Haram |
Setelah sarapan dan check out, kami berkumpul di lobi sampai Dzuhur sambil menunggu waktu berangkat ke stasiun.
Nah, kini di Arab Saudi ada kereta cepat jurusan Mekkah-Madinah pp (atau bisa juga disebut KA lokal macam Prameks yha karena destinasi utama-nya sama-sama dua kota šš»♀️). Tapi, bentuk kereta-nya seperti Shinkansen (melihatnya aku jadi teringat film Bullet Train š).
Bullet train (KA lokal jurusan Mekkah-Madinah pp) |
Ada dua kelas: bisnis dan ekonomi. Kami sudah punya e-ticket kelas ekonomi dari pihak travel, jadi tinggal scan tiket dan masuk ke ruang tunggu (kereta berangkat jam 16:00). Karena tempat bagasi terbatas, jadi koper-koper besar dibawa terpisah oleh bis dan kami hanya bawa satu koper kabin.
Walau duduk di kelas ekonomi, tapi interior-nya bagus banget asli š✋. Bahkan lebih bagus daripada kelas eksekutif kereta Indonesia. Ada sandaran tangan dan kaki, colokan U(SB, meja lipat yang jauh lebih lebar, tempat sampah, keranjang barang, dan kursi yang sandarannya bisa diatur (bukan seperti kursi tegak yang tidak manusiawi itu š„¹).
Ada layar digital yang menunjukkan waktu tempuh perjalanan, suhu, kecepatan kereta, arah kiblat, nomor kereta, dan daftar stasiun perhentian dalam bahasa Arab dan Inggris. Di bagian belakang dari deretan kursi ada rak khusus koper. Astaga, kelas ekonomi saja sudah begini adem dan nyaman, apalagi kelas bisnis.
Aku sebagai seorang warga negara dunia ketiga merasa bahagia dan privileged bisa merasakan kereta selayak ini (terharu hiks).
Tampang senang habis naik kereta |
Ketika kereta berjalan, rasanya seperti naik MRT—lebih mulus dan minim guncangan. Waktu tempuh ke Madinah hanya dua jam dan kecepatan kereta sampai 300 km/jam!
Pemandangan berupa gurun, gunung batu, gurun, gunung batu, kadang jalan raya dan gedung-gedung. Kereta berhenti tiga kali sebelum sampai di stasiun Madinah: stasiun Jeddah, bandara King Abdulaziz Jeddah, dan King Abdullah Economic City (KAEC).
Agenda pertama begitu turun di Madinah adalah makan malam di chain restaurant Alromansiah. Menu-nya sama seperti di Ta’if: nasi biryani (atau nasi mandi?) ayam panggang yang disajikan dalam pinggan besar. Kali ini tempat makan-nya berupa bilik-bilik tertutup yang dialasi karpet untuk lesehan. Kalau soal rasa, aku lebih menyukai yang di Ta’if, sih.
Destinasi selanjutnya adalah hotel—check in dan rebahan sambil menunggu koper datang. Tapi, ternyata koper sudah datang duluan! Wah, cepat sekali daripada perkiraan (supirnya ngebut kali yha).
Proses check in sampai tiba di kamar memerlukan waktu yang lama pisan karena lift hotel kecil, lambat, terbatas, dan bertepatan dengan kembalinya para tamu hotel dari masjid. Jadi, naik lift tuh berasa kayak war tiket konser.
Antri. Rebutan. Harus sat set.
Mungkin karena lift-nya sudah tua dan tidak sempat ada perbaikan karena tamu yang terus berdatangan šš»♀️.
Lebih menakjubkan-nya lagi, tidak ada lift khusus barang/koper. Alhasil kami harus mengambil sendiri koper masing-masing (mana berat karena sudah terisi oleh-oleh šš»♀️) melalui lift yang sama kecil dan lambatnya yang beberapa menit lalu berhasil didapat dengan antri hampir setengah jam.
Dan ini adalah fenomena yang harus dihadapi selama enam hari di Madinah. Tapi, untungnya bisa dihindari dengan kehadiran ✨ tangga darurat ✨. Life lesson: inilah pentingnya mempelajari floor plan yang ada di setiap kamar/gedung.
Letak tangga darurat-nya pas betul persis di sebelah lift. Seolah manajemen hotel mengatakan, “Anda menyerah? Silahkan gunakan tangga”. Bahkan aku beberapa kali bertemu para pekerja hotel pun lebih memilih menggunakan tangga (mungkin karena terpaksa oleh keadaan juga ☹️).
Kamar terletak di lantai enam, dan memang rasanya olahraga betulan saat naik dari lobi. Tidak setiap saat menggunakan tangga darurat, sih (yah gempor juga lama-lama nih kaki, Bund). Tidak ada salahnya mencoba dulu memencet tombol lift ke atas, siapa tahu cukup kosong untuk menampung dua anak malang yang sudah kelelahan dan mager. Alhamdulillah, kesempatan menggunakan lift jauh lebih sering daripada tangga darurat.
Letak hotel hanya berjarak lima menit jalan kaki dari pintu 339 Masjid Nabawi. Selain melewati pertokoan, di sepanjang jalan juga selalu bertemu kawanan burung merpati dan kucing.
Nah, di Madinah ada lebih banyak kucing, tampak bersih dan cukup makan pula. Di kemudian hari kuketahui bahwa ada satu gang pertokoan dengan beberapa mangkuk penuh makanan dan air tersedia di setiap sudut. Terima kasih orang-orang baik sudah merawat para anabul š.
Selama di Madinah, jarang sekali makan di restoran hotel atau langsung kembali ke kamar hotel setelah selesai shalat (daripada harus war lift dulu). Jadi, untuk mengisi waktu selesai shalat Dzuhur langsung bablas mall-hopping sambil cari makan siang.
Di mall ada food court, tapi tidak ada tempat makan dengan meja dan kursi seperti di mall Mekkah. Kami beli semacam wrapped sandwich (yang termurah dan porsinya tidak terlalu banyak) terus makan di bangku-bangku depan pertokoan di lantai paling bawah.
Lanjut window shopping sebentar, terus duduk menunggu waktu Ashar di masjid.
Karena waktu tunggu yang lama, kadang harus berwudhu lagi. Dan aku suka iklim di Arab Saudi—walaupun membuat bibir dan kulit kering sehingga harus sering re-apply pelembab—kaos kaki atau lengan baju basah terkena air pun cepat kering, tidak bau apek. Bahkan, udara panas di Arab Saudi bukan jenis yang bikin hareudang atau engap.
Sore hari (setelah Ashar) waktunya acara minum teh alias ngemil. Kami jajan donat, jus buah (yang ternyata terasa seperti processed juice tapi dikemas dalam cangkir plastik), dan es kopi.
Ada kedai kopi viral di Madinah, namanya Barn’s dan terletak beberapa toko di samping Dunkin Donuts. Setelah perut cukup terganjal, lanjut duduk-duduk lagi di masjid sampai Maghrib dan Isya.
Makan malam pun lebih memilih jajan di luar (selain malas harus war lift, menu di restoran hotel tidak ada yang cocok). Ada kedai khusus makanan Indonesia—bakso, nasi goreng, mie goreng—namanya Soenda.
Tidak sesuai namanya sih, tidak ada menu autentik Sunda macam lalapan dan lauk goreng-gorengan. Tapi, lumayan lah yha dicoba agar tahu rasanya. Kami beli nasi goreng (porsinya cukup untuk dua orang) seharga SR 25 dan makan di kamar hotel.
Suasana sekitar masjid masih sama seperti yang kuingat sembilan tahun lalu.
Kini ibadah di Raudah lebih teratur dan tidak terburu-buru, walau tetap antri tapi pasti akan mendapat giliran (harus pesan jadwal dulu lewat aplikasi—dan untuk hal ini sudah diurus pihak travel). Rombongan kami masuk ke Raudah setelah shalat Subuh, diberi waktu ibadah selama 10 menit, dan dapat gratis sebotol air Zam-zam dari masjid.
Ketika keluar dari Raudah (sekitar jam 06:00), payung-payung di pelataran masjid sudah terbentang terbuka semua. Langit biru cerah. Lagi-lagi ada kawanan burung merpati berkumpul di pelataran. Dan ada seekor kucing calico yang diam-diam mengintai mereka.
Pemandangan setelah mengunjungi Raudah |
Sore di hari yang sama setelah ke Raudah, kami mencoba spot turis baru: city sightseeing tour Madinah dengan hop-on hop-off bus!
Halte-nya terletak di depan Hotel Sanabel. Harga tiket SR 80 per orang, bisa digunakan berkali-kali selama 24 jam, dapat fasilitas WiFi gratis dan earphone untuk mendengarkan penjelasan tur dalam 16 bahasa. Ada 12 lokasi pemberhentian bis di tempat-tempat bersejarah yang menjadi highlight Madinah, termasuk salah satunya Masjid Quba.
Masjid Quba |
Untunglah, penjelasan tur tidak dibawakan dengan suara monoton robot nan menyebalkan ala Google Translate, dan bahasa Indonesia yang digunakan tidak terdengar terlalu kaku seperti diterjemahkan langsung tanpa disunting dulu. Asyik betul jalan-jalan keliling kota sekaligus belajar sejarah (ew nerd).
Otiwi city tour |
Lagi-lagi sebagai seorang warga negara dunia ketiga aku senang karena bisa merasakan naik bis double decker seperti warga London.
Papan petunjuk berisi daftar pemberhentian bis dan peta lokasi sejarah sekitar Madinah |
Selain hop-on hop-off bus, kini di Madinah ada spot foto dengan pemandangan latar belakang Masjid Nabawi dari pintu 333. Berupa kotak besar menyerupai bingkai dengan tulisan Arab “I ❤️ Almadinah”. Tidak jauh dari situ juga ada kedai-kedai makanan bercat hijau dan tempat makan.
Setelah shalat Isya, kami membeli makanan Indonesia di salah satu kedai (dengan porsi tetap besar) harga SR 25: nasi goreng, mie goreng, telur balado (dapat dua butir!), dan rica-rica daging. Kedai ini juga menjual tahu, tempe, dan bakso. Rasanya tidak jauh berbeda seperti Soenda.
Kegiatan mandatory ala jamaah umroh tentu ada city tour juga. Rute perjalanan pun sama seperti hop-on hop-off bus. Tapi, kali ini dapat kesempatan berkunjung lebih lama di Masjid Quba dan Jabal Uhud. Terus lanjut ke kebun kurma alias acara belanja-belanji menghabiskan pundi-pundi riyal.
Taman bermain dengan latar belakang Jabal Uhud |
Alhamdulillah di Madinah pun turut merasakan shalat Jumat di Masjid Nabawi. Kami masih mendapat tempat di bagian dalam masjid. Setelah selesai shalat, sempat menyaksikan pembukaan atap masjid—yang dibuka perlahan secara otomatis. Sempat menyaksikan penutupan payung juga jam 17:00. Melihat cara rangka-rangka payungnya menutup perlahan aku jadi teringat struktur virus.
Kadang di waktu shalat wajib kami shalat di pelataran, bernaungkan payung-payung, dan kipas angin beruap dingin. Tidak terasa panas, tapi tetap masih terasa lebih adem di dalam masjid.
Berjalan di bawah payung-payung ini tidak akan terasa kepanasan |
Suatu waktu di hari-hari pertama di Madinah, kami shalat Subuh di pelataran (lagi-lagi dengan alasan yang sama seperti di Mekkah: agar lebih cepat kembali ke hotel šš»♀️), terus tiba-tiba mendapati ada banyak jangkrik dan belalang.
Banyak. Banget.
Merayap dan hinggap di mana-mana; sajadah, baju, kerudung, lantai, tiang payung. Sampai di hotel malah membawa pulang beberapa ekor teman baru yang sembunyi di selipan baju/kerudung. Tidak menakutkan, tapi mengesalkan karena harus membuang mereka satu persatu.
Aku tidak mengaitkan ini dengan fenomena macam-macam atau tanda akan terjadinya sesuatu—seperti seorang konspirator saja—tapi, aku langsung mencoba mengingat kelas Ekologi 4 SKS yang pernah kuambil dulu. Siapa tahu pernah dibahas, kan, apakah ini karena migrasi besar-besaran yang mungkin berkaitan dengan perubahan iklim? Atau karena peralihan ke musim panas yang lagi-lagi mungkin berkaitan dengan perubahan iklim?
Alih-alih dapat jawaban, aku dapat pelajaran penting: besok Subuhan mending di dalam masjid aja jangan di pelataran!
Ngomong-ngomong, di Masjid Nabawi juga ada perpustakaan dan terbuka untuk perempuan (yay! š§š»). Letaknya di sebelah pintu 23-24 (khusus area perempuan); ada ruangan kecil dan rendah dengan rak-rak buku, beberapa meja dan kursi.
Pustakawan-nya pun ramah. Begitu kami datang langsung ditunjukkan buku-buku berbahasa Indonesia dan Inggris. Koleksi buku lebih banyak berbahasa Arab dan hanya boleh dibaca di tempat. Lumayan juga bersantai di sini sambil menunggu waktu shalat.
Tinggal selama 12 hari di Mekkah-Madinah memberikan pengalaman ala hidup di suatu walkable city. Bisa ditempuh dengan hanya berjalan kaki ke manapun: tempat makan, tempat belanja, masjid, hotel. Saking praktisnya, aku mulai membayangkan bahwa kehidupan di surga nantinya akan mirip seperti ini.
La petite sÅur langsung berujar, “Di surga lift-nya gak antri.” šš»♀️
Malam terakhir di Madinah dirayakan dengan makan mie instan (berupa Pop Mie yang di-rebrand menjadi Indomie dengan micin terasa lebih sedikit, tapi jauh lebih enak. Aku lebih suka versi yang ini sumpah š) harga SR 5 dan donat lapis karamel yang dibeli di kios makanan lobi hotel.
Esok harinya terbang kembali ke CGK melalui bandara Madinah dengan tiga koper penuh berisi oleh-oleh dan tiga bungkus Albaik (yang ini baru berupa ayam+kentang+roti sebagai jatah makan terakhir dari travel sekaligus oleh-oleh untuk para jamaah Indonesia).
Semoga bisa kembali lagi ke Haramain š¤š».
Dalam rangka haji furoda, barangkali?
No comments
Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (įµį“„įµ)