Powered by Blogger.

February Read: Tempat Terbaik di Dunia - Roanne van Voorst

Foto sampul buku Tempat Terbaik di Dunia - Roanne van Voorst

Selama ini, kemiskinan selalu dikaitkan dengan gagasan menghakimi seperti kemalasan dan kriminalitas. Alias orang miskin tetap miskin karena malas, kurang bekerja keras, kurang memiliki kemauan untuk berubah, dan lebih cenderung berbuat sesuatu yang melanggar hukum. Tapi, ada juga gagasan romantik yang menganggap orang miskin cenderung lebih rajin, mau bekerja keras, dan lebih komunal atau solid alias susah senang selalu bersama.

Gagasan-gagasan tersebut terpatahkan di bab pembuka Tempat Terbaik di Dunia. Kemiskinan terjadi bukan karena kemalasan, dan tidak terkait dengan kriminalitas, kerja keras, atau komunal. Orang-orang miskin memiliki kepribadian yang sama seperti individu-individu lain. Tidak ada stereotip tertentu. Perbedaannya, mereka tidak mendapatkan kesempatan dan akses yang sama sebagai anggota masyarakat—dalam pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan hal-hal dasar lainnya. Di bab-bab selanjutnya, Roanne menunjukkan bukti-bukti bahwa orang miskin memang sengaja dimiskinkan secara struktural.

Tempat Terbaik di Dunia adalah catatan pengalaman Roanne ketika tinggal di kampung kumuh Bantaran Kali di Jakarta selama satu tahun. Tidak hanya meneliti untuk tesisnya tentang respon warga kampung kumuh terhadap banjir, dia juga mempelajari kehidupan sehari-hari mereka yang pada dasarnya sama dengan kehidupan warga pada umumnya. Mengurus keluarga, bekerja, sekolah, mengobrol dengan tetangga, menghadiri hajatan, dll dst dsb. Hanya saja, mereka harus menghadapi permasalahan-permasalahan sulit seperti ancaman penggusuran dari pemerintah, banjir yang datang sewaktu-waktu, resiko kebakaran karena instalasi listrik ilegal dengan posisi antar rumah yang saling berdekatan, dan mencari solusi cepat agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Ada tokoh-tokoh seperti Tikus (pengamen), Neneng (pekerja seks), Enin (pemilik kontrakan tempat Roanne tinggal), Uyi (tukang pijat), Yantri (pedagang rempah-rempah di pasar), dan Pinter (pengelola bank keliling) yang berperan sebagai narasumber sekaligus “orang tua” bagi Roanne selama tinggal di sana. Kisah-kisah mereka dikemas di antara trivia-trivia tentang Indonesia, seperti budaya jam karet, budaya korupsi dan suap-menyuap, pandangan "kasihan" terhadap seseorang yang pergi ke suatu tempat secara sendirian (padahal sedang me time 💁), hierarki sosial yang ditentukan berdasarkan usia alih-alih banyaknya harta dan prestasi, bahkan perhatian berlebih dari warga lokal kepada bule (yang juga dialami Roanne).

Roanne juga membahas peran pemerintah terhadap kehidupan warga kampung kumuh. Misalnya pemasangan sistem peringatan dini di daerah aliran sungai yang rawan banjir. Tapi, alat itu sudah lama rusak dan tidak pernah diperbaiki. Akhirnya, warga harus mencari solusi sendiri. Beberapa warga rela menghabiskan seluruh tabungannya untuk membeli portofon (walkie talkie) yang harganya sangat mahal. Mereka berpikir punya portofon jauh lebih penting dan berharga daripada mobil karena selain bisa mengetahui kabar banjir secara lebih cepat, ada status sosial "Guru" yang juga akan melekat. Beberapa warga dengan status itu dianggap sebagai orang pertama yang tahu kabar banjir lebih dulu, layaknya seorang guru yang tahu segalanya. Sayangnya, kegunaannya tidak begitu efektif karena mereka harus selalu standby selama 24 jam. Mereka jadi kehilangan pekerjaan utama, entah karena dipecat atau berhenti secara sukarela agar lebih fokus.

Selain banjir, mereka masih harus mencemaskan penggusuran. Pemerintah menganggap kampung kumuh adalah ilegal dan harus “dibersihkan”. Walau akhirnya warga terlunta-lunta di jalan setelah penggusuran, dan berpindah-pindah tempat tidur sebelum menemukan tempat bermukim baru, mereka pasrah menerimanya. Dan ini lagi-lagi dianggap sebagai siklus kehidupan biasa.

Beberapa orang yang saya wawancarai bahkan menyebut banjir sebagai kejadian traumatis dalam hidup mereka atau membuat mereka bermimpi buruk. Meski demikian, mereka akan bilang kalau itu sudah biasa.

Pemerintah menyediakan rumah susun bersubsidi agar mereka tidak perlu tinggal di kampung kumuh, tapi rumah susun itu memiliki harga sewa yang tidak sesuai dengan kemampuan finansial mereka. Alih-alih membangun lebih banyak rumah susun murah, pemerintah membangun lebih banyak mal dan pusat perbelanjaan. Di awal bab, Roanne menunjukkan bahwa pemerintah cenderung menganggap orang miskin sebagai kriminal. Bahkan beberapa pejabat menyarankan Roanne "berlibur" ke tempat yang lebih "bersih" dan menarik untuk turis.

Beberapa warga pernah mengalami diskriminasi ketika berobat ke rumah sakit. Mereka ditolak karena dianggap tidak akan bisa membayar tagihan. Padahal, anggota keluarga atau teman mereka saat itu sedang kritis. Karena selalu mendapat penghakiman dan penolakan, warga Bantaran Kali harus bertahan hidup dengan cara-cara yang lebih solutif, kadang malah inovatif.

Ketika sakit, mereka lebih memilih mengobati sendiri dengan kerokan dan minum jamu. Ketika ingin menabung, mereka menggunakan layanan bank keliling dari Pinter, mengikuti arisan, membeli barang dengan mencicil, atau "bertukar" uang lewat sumbangan hajatan. Tikus pun ingin punya bisnis sendiri. Setelah bernegosiasi dengan Pinter mengenai modal, dia memutuskan untuk membuka tempat gym dengan memanfaatkan barang-barang bekas sebagai alat peraga, seperti ban sepeda, tong, rak gantungan, dan bak mandi untuk jacuzzi.

Dalam hal mentalitas menabung, orang kaya dan orang miskin sama-sama punya keinginan untuk menabung. Tapi, orang miskin hanya punya sedikit uang sehingga hanya sedikit pula yang bisa disisihkan. Apalagi mereka harus berusaha lebih keras dalam mengendalikan diri walau hanya untuk bersenang-senang sedikit (seperti membeli es teh di warung sebagai pelepas dahaga di siang hari yang terik). Beda halnya dengan orang kaya yang masih bisa menabung setelah sebanyak apapun es teh yang mereka beli.

Sebagai antropolog, Roanne merasa tidak berhak menghakimi atau mengomentari cara hidup warga Bantaran Kali. Selain meneliti, dia juga berdonasi dan membantu LSM setempat menyampaikan usulan-usulan ke pemerintah. Sayangnya, cara-cara itu tidak cukup mengubah keadaan. Tapi, Roanne tahu dia bisa menulis tentang warga Bantaran Kali, menyampaikan kisah-kisah mereka yang suaranya tidak pernah didengar.

Tempat Terbaik di Dunia tidak menampilkan orang-orang miskin sebagai pengingat untuk bersyukur (seperti yang ada di postingan-postingan bernada inspiratif (tapi sebenarnya tone-deaf) di media sosial), dan tidak menjadikan orang-orang miskin sebagai pihak yang pantas mendapat penghakiman hanya karena cara hidup (seperti kata pejabat dan sebagian orang). Walau ada data-data penelitian dan referensi pustaka yang diselipkan, Tempat Terbaik di Dunia tidak terasa seperti karya non fiksi.

Storytelling dari Roanne berhasil menghadirkan kesan yang sama menyenangkannya seperti baca karya fiksi, dengan tokoh-tokoh unik dan kisah-kisah menarik yang tidak hanya membuat geleng-geleng kepala sambil senyum-senyum sendiri, tapi juga menimbulkan rasa prihatin. Tempat Terbaik di Dunia adalah salah satu buku penting yang harus dibaca semua orang, terutama tentu saja bagi pembuat kebijakan atau pihak-pihak yang punya kuasa dalam mengubah sesuatu.

Also kudos to Martha Dwi Susilowati yang sudah menerjemahkannya dengan apik dan gayeng dari bahasa Belanda! ✨

✦✦✦

Ngomong-ngomong, ada dua artikel menarik dari The Conversation yang sama-sama membahas kemiskinan. Pertama, artikel yang mematahkan gagasan kunci sukses ada pada kerja keras alih-alih latar belakang ekonomi, dan kedua, artikel riset SMERU Institute yang menunjukkan bahwa anak dari keluarga miskin akan tetap miskin ketika dewasa.

✦✦✦

Postingan ini adalah bagian dari February Reads. Baca juga January Reads dan postingan Monthly Reads lainnya, ya.

No comments

Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)