Powered by Blogger.

August Reads

Reading scene from 10 Things I Hate About You
Scene from 10 Things I Hate About You (1999) | i-D

Saat menulis Monthly Read kali ini aku baru sadar bahwa ternyata berisi buku-buku dari penulis-penulis Jepang semua.

So yea, without further ado, this is August Reads!

Baca juga July Reads dan postingan Monthly Reads lainnya, ya.

📚 Daftar Bacaan 📚
1. Never Let Me Go (Jangan Lepaskan Aku) - Kazuo Ishiguro
2. Convenience Store Woman (Gadis Minimarket) - Sayaka Murata
3. Malice (Catatan Pembunuhan Sang Novelis) - Keigo Higashino
4. Strange Weather in Tokyo - Hiromi Kawakami

1. Never Let Me Go (Jangan Lepaskan Aku)

Kazuo Ishiguro


Foto sampul buku Never Let Me Go (Jangan Lepaskan Aku)

Pertama kali tahu buku ini dari postingan akun-akun bookstagram yang sering muncul di tab Explore. Banyak yang bilang bahwa buku ini bukan buku yang mudah untuk diselesaikan. Yah, terima kasih atas ulasan-ulasan mereka, aku jadi ingin baca juga. Ditambah lagi, sudah diadaptasi menjadi film (yang dibintangi Keira Knightley dan Andrew Garfield) dan penulisnya mendapat Nobel Prize, aku semakin penasaran. Untungnya, buku ini tersedia di Gramedia Digital, jadi aku bisa langsung baca, deh.

Premisnya adalah tentang tiga sahabat: Kathy, Ruth, dan Tommy yang tumbuh besar bersama di sebuah sekolah asrama Hailsham di Inggris. Mereka dan anak-anak lain adalah kloning yang dipersiapkan untuk menjadi donor bagi orang-orang sakit di luar sana. Hailsham sama seperti sekolah pada umumnya—ada pelajaran kesenian, olahraga, bahasa, geografi, dll dst dsb—dan para pengajar yang disebut guardian. Tapi, murid-muridnya tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi di luar Hailsham—mereka hanya tahu bahwa setelah lulus dan menjalani pelatihan sebagai perawat, mereka akan menjadi donor.

Keseluruhan cerita disampaikan oleh Kathy—yang di awal bab bilang bahwa dia sudah menjadi perawat selama lebih dari 11 tahun. Para donor yang dirawatnya selalu bertanya-tanya tentang Hailsham dan Kathy mendapat semacam privelege karena seorang alumni. Setelah merawat dan reunian dengan Ruth yang menjadi donor, Kathy mulai mengenang kembali masa-masa di Hailsham: persahabatannya dengan Ruth dan Tommy, para guardian, berbagai gosip dan rumor yang dulu pernah terdengar, teori-teori tentang dunia luar yang pernah didiskusikan bersama Tommy, dan benda-benda koleksinya.

Walaupun ber-genre fiksi sains dan distopia, buku ini tidak benar-benar membahas itu alias yah, memang benar Kathy dkk hidup di dunia ketika kloning manusia diciptakan dan diproduksi untuk medis, tapi itu hanya sebagai latar belakang. Tidak seperti buku-buku distopia lain kayak 1984 (George Orwell), Brave New World (Aldous Huxley), atau Fahrenheit 451 (Ray Bradbury) dengan tokoh protagonis yang berusaha menentang sistem opresif dan pemerintah yang selalu mengawasi, Never Let Me Go lebih berfokus ke momen-momen para tokohnya. Kathy dkk tidak berusaha untuk kabur dari Hailsham, bergabung dengan suatu gerakan bawah tanah, dan berhasil menciptakan dunia yang utopis—mereka cenderung menerima dengan apa yang terjadi. Ada beberapa bagian ketika mereka bertanya-tanya tentang diri mereka sebagai kloning dan donor. Tapi, pembahasan itu hanya sampai di situ saja seolah mereka sama-sama setuju dalam diam bahwa tidak ada yang bisa dilakukan tentang itu.

Never Let Me Go sebenarnya membahas tentang definisi menjadi manusia. Kathy dkk memang diciptakan sebagai kloning, tapi bukan berarti mereka tidak punya sisi manusawi. Ada beberapa momen yang kusukai dan kalau dipikir-pikir sebenarnya menyedihkan. Aku berkali-kali berpikir "Astaga, mereka nggak perlu sampai kayak gitu" saat menemukannya. Ada momen ketika Ruth menemukan selembar iklan majalah yang menampilkan suasana di perkantoran. Ruth bermimpi suatu hari dia bisa bekerja di perkantoran seperti para model di iklan itu. Bahkan, dia, Kathy, dan Tommy sampai pergi ke Norfolk untuk mencari "kemungkinan" Ruth atau seseorang yang dijadikan model untuk kloning. Ada juga ketika Kathy suka mendengarkan satu lagu klasik berjudul Never Let Me Go (judul buku ini berasal dari sini, ngomong-ngomong) dari pemutar kaset sambil menari-nari memeluk bantal. Suatu hari, kaset itu hilang dan terlupakan sampai saat Kathy dan Tommy tiba-tiba menemukannya di Norfolk. Atau ketika Kathy dkk mempercayai suatu rumor yang mereka dengar tentang penangguhan donor bagi pasangan jika bisa membuktikan mereka benar-benar saling mencintai. Kemudian Kathy dan Tommy berusaha memastikan kebenarannya dengan berkunjung ke rumah guardian lama mereka.

Kurasa kenapa judulnya Never Let Me Go adalah karena Kathy tidak akan pernah melupakan persahabatannya dengan Ruth dan Tommy—bahkan setelah Ruth dan Tommy menyelesaikan donor mereka.

Aku berbicara dengan salah satu donorku beberapa hari yang lalu, yang mengeluh tentang bagaimana kenangan-kenangan, bahkan yang paling berharga sekalipun, memudar cepat sekali. Tapi aku tidak setuju dengan itu. Kenanganku yang paling kuhargai, aku tidak melihatnya pernah memudar. Aku kehilangan Ruth, kemudian Tommy, tapi aku takkan pernah kehilangan kenanganku tentang mereka.

Aku setuju bahwa buku ini tidak mudah untuk diselesaikan dan ada beberapa bagian yang membosankan. Tapi, secara keseluruhan aku menikmati pengalaman membacanya—terutama untuk momen-momen hangat antara Kathy dkk. Dan ngomong-ngomong, selama membaca aku membayangkan diriku juga berada di Clevedon Pier, dermaga yang menjadi lokasi syuting filmnya dan video musik One Direction (pantas saja aku merasa familiar ketika pertama kali melihat poster filmnya).

2. Convenience Store Woman (Gadis Minimarket)

Sayaka Murata


Foto sampul buku Convenience Store Woman (Gadis Minimarket)

Keiko Furukura sudah 18 tahun bekerja sebagai pegawai paruh waktu di suatu minimarket. Rutinitasnya seputar menyapa pelanggan, merapikan barang-barang jualan, melayani di kasir, mempersiapkan makanan-makanan siap saji, dan membersihkan toko. Keiko sangat menikmati pekerjaannya—dia merasa minimarket sudah menjadi bagian dari dirinya yang tidak terpisahkan. Hidupnya sangat chill—bekerja selama lima hari dalam seminggu dan bertemu teman-teman lama di hari libur—sampai keluarga dan teman-temannya mulai bertanya-tanya kenapa di umur 36 tahun Keiko masih bekerja sebagai pegawai paruh waktu—di minimarket pula—dan belum menikah. Keiko (yang tadinya chill) akhirnya menyadari bahwa dia hidup di dalam masyarakat yang suka menghakimi dan aturan-aturannya yang menuntut. Apa yang selama ini dianggapnya normal dalam hidupnya ternyata tidak normal menurut masyarakat.

Walaupun ini fiksi, tapi kehidupan Keiko benar-benar relatable alias (banyak) terjadi di kehidupan nyata juga. Keiko adalah representasi dari orang-orang yang sebenarnya punya kehidupan chill dan tidak mempermasalahkannya, tapi selalu mendapat komentar atau pertanyaan menyebalkan yang bernada basa-basi dan bermaksud menghakimi. Karena Keiko adalah orang yang chill maka setiap mendapat pertanyaan yang aneh-aneh dia selalu menjawabnya dengan santai dan jawaban yang sama. Adiknya bahkan sampai membantunya dalam mempersiapkan jawaban yang aman dan masuk akal.

Menurutku ketika ada sesuatu yang dianggap aneh, semua orang tanpa sungkan merasa berhak untuk ikut campur dan mereka berusaha untuk mengungkap alasannya.

Sejak kecil, Keiko sudah dianggap aneh oleh orang-orang di sekitarnya. Ketika menemukan seekor burung mati di taman, alih-alih bersedih seperti orang-orang dan ingin menguburkannya, Keiko ingin membawanya pulang untuk dimakan. Dia tidak paham kenapa harus bersedih untuk si burung sedangkan orang-orang memetik dan membunuh bunga-bunga yang ada di taman untuk menandai kuburan. Dan ketika dua anak bertengkar di sekolah, Keiko melerai mereka dengan memukul kepala seorang anak pakai sekop karena menurutnya cara itu lebih cepat. Sejak saat itu, Keiko berhenti mengambil tindakan sendiri dan mulai meniru atau mengikuti instruksi orang lain. Tapi, saat SMA hal itu menjadi masalah karena Keiko dianggap terlalu pendiam.

Bagiku diam adalah cara terbaik, seni hidup yang paling rasional untuk menjalani hidup.

Saat mulai bekerja, prinsip itu masih dijalani Keiko. Dia cenderung meniru gaya bicara rekan-rekan kerjanya dan menyesuaikannya jika sedang berbicara dengan atasan atau teman-temannya. Dia juga tidak pernah secara sengaja mengeluh, marah-marah, atau mendadak curcol di depan orang (di kehidupan ada orang-orang seperti ini, ngomong-ngomong). Keiko lebih senang menjadi pendengar dan pengamat—dan kadang ikutan mengeluh/marah atau menimpali sekadar untuk feedback. Dalam hal ini, aku merasa relate dengan Keiko karena aku juga menerapkan prinsip itu dalam kehidupan sosial. Entahlah, mungkin ini adalah salah satu mekanisme pertahanan diri???

Kemudian ada Shiraha, seorang rekan kerja Keiko yang lebih suka mengomel tentang masyarakat dan aturan-aturannya daripada bekerja. Dia selalu meledek Keiko dengan melontarkan komentar seksis dan membahas peran gender saat di Zaman Jomon ketika laki-laki berburu dan perempuan menghasilkan keturunan (berdasarkan artikel ini, Zaman Jomon berlangsung sekitar 10.500 - 300 BC). Karena sama-sama merasa tidak normal alias sebagai "sampah masyarakat" (belum menikah dan tidak punya pekerjaan tetap), Keiko akhirnya mengajak Shiraha untuk menikah—bukan sebagai pasangan, tapi sebagai solusi yang akan menguntungkan mereka berdua. Setidaknya orang-orang akan berhenti berkomentar dan tidak akan membuang mereka dari masyarakat.

Dunia normal adalah dunia yang tegas dan diam-diam selalu mengeliminasi objek yang dianggap asing. Mereka yang tak layak akan dibuang.

Bagian lucunya adalah ketika Shiraha tinggal di kos Keiko dan Keiko menganggapnya sebagai hewan peliharaan.

"Aku juga miskin, jadi aku tak bisa memberimu uang. Aku bisa memberimu pakan asalkan kau mau makan apa saja yang kuberikan."
"Pakan...?"
"Oh, maaf. Baru pertama kali ada binatang di rumahku, jadi aku merasa seperti punya hewan peliharaan."

🔥 SAVAGE 🔥

Berdasarkan percakapan-percakapan yang kusimak antara Keiko dengan orang-orang di sekitarnya, aku menyimpulkan bahwa Keiko bukanlah orang yang mengintimidasi dengan kalimat-kalimatnya, tapi orang yang suka langsung mengutarakan pikirannya (kayak percakapannya dengan Shiraha di atas). Keiko juga cenderung flat alias lempeng (kalau Keiko adalah sebuah emoji, maka dia adalah 😐) alias dia bukanlah seseorang yang mudah menunjukkan emosinya. Tapi, satu hal menarik yang kupelajari dari karakter Keiko adalah betapa dia suka mengamati. Keiko menyadari keadaan di sekelilingnya—bagaimana selama 18 tahun dia bekerja suasana di minimarket terlihat sama saja tapi sebenarnya sudah banyak berubah, berbagai macam pelanggan yang datang, karakter rekan-rekan kerjanya, dan gerakan-gerakan halus teman-temannya saat sedang mengobrol (contohnya saat dia menyadari ludah seorang temannya muncrat ke daging barbeku). Dalam bekerja Keiko juga kompeten kayak selalu datang lebih awal, sigap dalam bertindak kayak merapikan barang-barang atau melayani pelanggan, dan mengikuti panduan toko.

Setelah membaca buku ini, aku jadi berpikir bahwa ternyata kehidupan sosial di Jepang sama saja dengan di Indonesia alias masyarakat (di mana saja) tidak akan pernah diam dan puas—sekalipun berhasil memenuhi ekspektasi/tuntutan mereka, selalu saja ada hal yang bisa dikomentari dan dianggap kurang. Definisi kenormalan pun bergantung pada cara pandang setiap orang. Mungkin satu orang berpendapat sesuatu adalah normal, tapi tidaklah normal menurut satu orang lain. Oleh karena itu Keiko sangat nyaman bekerja di minimarket karena hanya di sanalah dia bisa menjadi normal.

Kenapa harus mengomentari cara hidup seseorang padahal tidak merugikan siapapun? Dan selama seseorang itu nyaman dengan hidupnya, kenapa harus ikut campur?

Seperti pertanyaan balasan Keiko ke seorang temannya:

"Aku tak bisa terus seperti ini? Maksudnya aku tak bisa terus menjalani kehidupan yang kujalani sekarang?"

Ngomong-ngomong, berdasarkan artikel ini, Convenience Store Woman ditulis berdasarkan pengalaman Murata ketika bekerja di minimarket selama 18 tahun.

3. Malice (Catatan Pembunuhan sang Novelis)

Keigo Higashino


Foto sampul buku Malice (Catatan Pembunuhan sang Novelis)

Trigger warning: murder, violence, bullying

Ini pertama kalinya aku membaca buku Keigo (salah satu penulis novel misteri terkenal Jepang). Selama ini aku hanya mengenal Sherlock Holmes dan Hercule Poirot, sekarang baru kutahu kalau Jepang juga punya tokoh detektif fiktif namanya Kaga Kyoichiro. Dan Malice adalah buku pertama dari seri Detektif Kaga.

Satu malam sebelum kepergiannya ke Kanada, novelis Hidaka Kunihiko ditemukan tewas di ruang kerjanya oleh istrinya, Hidaka Rie, dan sahabat masa kecilnya, Nonoguchi Osamu. Seperti kasus pembunuhan pada umumnya, orang-orang terdekat korban adalah yang dicurigai terlebih dahulu, tapi keduanya punya alibi yang kuat. Nonoguchi yang juga adalah novelis mendokumentasikan peristiwa-peristiwa yang terjadi—dari mulai kunjungannya ke rumah Hidaka sore itu sampai ketika dia menemukan tubuh Hidaka—di buku catatan. Melalui catatan tersebut, Kaga berhasil mengungkap identitas si pelaku. Tapi, penyelidikannya belumlah berakhir, malah baru dimulai karena hal yang paling penting menurutnya adalah motif si pelaku alias "Kenapa dia melakukannya?" Kaga akhirnya berhadapan dengan serangkaian fakta yang diputarbalikkan, bukti-bukti palsu, peristiwa yang terjadi di masa lalu, dan penuturan para saksi dengan versi berbeda-beda.

"Setiap orang pasti menyimpan rahasia, dan seharusnya mereka juga berhak untuk menyimpan rahasia itu, termasuk yang sudah meninggal."

Malice tidak mengikuti formula ala Sherlock Holmes dan Hercule Poirot ketika identitas si pelaku terungkap di akhir cerita. Tapi, Kaga juga sama-sama mengonfrontasi si pelaku di akhir dengan kesimpulannya. Karena ini tentang novelis yang dibunuh, ada sedikit pembahasan mengenai dunia tulis-menulis dan penerbitan. Aku mempelajari bahwa ada salah satu metode belajar menulis yang bisa dilakukan. Kayak Nonoguchi menulis ulang novel-novel Hidaka untuk mempelajari ritme cerita dan deskripsi. Dan Hidaka mengumpulkan materi penulisan lewat foto (itu menunjukkan bahwa riset sebelum menulis itu penting). Di buku ini juga disisipkan arti dari beberapa kata Jepang yang sengaja dibiarkan dalam istilah aslinya (aku suka dengan penerjemahan seperti ini karena tidak akan membingungkan pembaca dan sisi bagusnya bisa menambah kosakata juga).

Secara keseluruhan, buku ini lumayan page-turning. Cerita dibawakan berdasarkan dua sudut pandang: catatan Nonoguchi dan dokumentasi Kaga. Setelah membaca bab pertama, aku mengira ini akan mirip The Murder of Roger Ackroyd (Agatha Christie) dengan teknik bercerita melalui catatan si narator/penutur dan Hercule Poirot (atau si detektif) hanya sebagai tokoh pendukung. Aku juga sudah mengantisipasi bahwa ceritanya akan berakhir seperti itu pula. Tapi, ternyata aku tidak pernah menyangka bahwa Malice akan penuh dengan twist berlapis-lapis. Aku sempat berpikir "Oke, case closed, nih, motifnya sudah ketemu", tapi ternyata itu hanya untuk mengecoh dan menggiring ke titik awal. Walaupun begitu, penyelidikan Kaga tetap seru diikuti dan sama halnya kalau membaca novel detektif, aku selalu salah dalam menebak apa yang akan terjadi selanjutnya (💁).

Membaca Malice merupakan pengalaman yang menyenangkan—seperti halnya membaca novel-novel misteri lain (aku selalu suka buku bertema misteri, anyway). Dan tentu saja aku ingin membaca buku-buku Keigo yang lain.

4. Strange Weather in Tokyo

Hiromi Kawakami


Foto sampul buku Strange Weather in Tokyo

Suatu hari Tsukiko Omachi tanpa sengaja bertemu dengan seorang guru bahasa Jepang SMA-nya, Harutsuna Matsumoto alias Sensei, di sebuah bar di Tokyo. Sejak saat itu mereka sering bertemu di bar yang sama tanpa sengaja. Waktu-waktu di bar dihabiskan dengan minum-minum bir dan sake kemudian lanjut minum lagi di rumah Sensei. Sambil duduk sebelahan di bar, mereka membicarakan tentang topik apapun, mulai dari koleksi poci teh Sensei, cara menuang minuman, jenis-jenis jamur, tim baseball, sampai haiku Basho. Setelah beberapa kali bertemu, Sensei mengajak Tsukiko window-shopping ke pasar, berburu jamur di gunung bersama si pemilik bar (yang selanjutnya menjadi teman baik mereka), piknik sambil melihat sakura, dan berlibur di suatu pulau yang sering dikunjunginya. Seiring semakin banyak waktu yang dihabiskan bersama, Tsukiko mulai naksir Sensei. Tapi, setelah mendengar cerita-cerita Sensei tentang istrinya yang sudah pergi, Tsukiko bertanya-tanya apakah harus melupakan perasaannya atau tidak—mengingat Sensei tampaknya belum move-on.

Strange Weather in Tokyo adalah penggambaran dari "Pada akhirnya, yang istimewa akan kalah dengan yang selalu ada" (ya, aku baru saja memutar bola mataku). Tsukiko naksir Sensei karena sering bertemu. Walaupun Tsukiko juga kadang pergi kencan dengan Kojima, salah seorang teman lamanya di sekolah, Tsukiko selalu kangen Sensei. Ada bagian ketika Tsukiko suatu malam sedang galau sampai berjalan-jalan tanpa arah sambil bernyanyi-nyanyi sendiri, tiba-tiba muncul Sensei di belakangnya. Atau ketika Tsukiko berkali-kali memanggil nama Sensei di satu waktu.

Yet even when we were apart, Sensei never seemed far away. Sensei would always be Sensei. On a night like this, I knew he was out there somewhere.

Walaupun karakter Tsukiko dan Sensei berbeda (yah, pada dasarnya setiap manusia punya karakter yang berbeda 💁) dan punya perbedaan usia yang jauh (kalau di dunia nyata pasti sudah dipermasalahkan 💁), mereka menemukan kenyamanan melalui keberadaan masing-masing. Seperti satu pepatah yang Sensei yakini:

Even a cracked pot has a lid that fits.

Terlepas dari kisah cinta yang punya vibe mirip kayak film Lost in Translation (yang dibintangi Scarlett Johansson dan Bill Murray), satu hal yang kusukai dari buku ini adalah deskripsi makanan-makanannya! (❤) Mulai dari bento box yang dibeli Sensei di toko, sup jamur yang dimasak setelah berburu, shabu-shabu gurita (yang berubah warna setelah dimasak), sampai yudofu. Aku paling penasaran dengan yudofu karena Tsukiko bilang itu adalah makanan favoritnya, dan ada satu bagian ketika Sensei memasaknya dengan ikan kod dan daun krisan.

Aku juga suka dengan humor-humornya. Misalnya kayak ketika Tsukiko bela-belain pakai lipstik sebelum pergi ke kamar Sensei, dan ternyata hanya mendapati Sensei sedang sibuk mencari kata berima untuk puisinya, Tsukiko diam-diam langsung menghapus lipstiknya dengan kertas. Atau ketika Tsukiko dan Sensei window-shopping ke pasar kemudian bertemu anak dan ibu yang sama di setiap stan penjual sampai-sampai Sensei menduga mereka adalah pembeli pura-pura yang sengaja dihadirkan untuk menarik lebih banyak pembeli.

Buku ini direkomendasikan bersama Convenience Store Woman (Sayaka Murata) di Goodreads. Mungkin karena sama-sama punya tokoh protagonis (yang juga menjadi penutur) seorang wanita di umur 30-an dengan kehidupan biasa saja. Tsukiko punya karakter yang mirip Keiko: sering berpikir tentang dirinya sendiri, cenderung cuek ketika berhubungan dengan orang lain, berani mengemukakan apa yang dipikirkannya, independen, dan introvert. Mereka pun sama-sama relatable (pada dasarnya, buku-buku dengan tema kehidupan sehari-hari selalu relatable, sih). Walaupun perkembangan ceritanya lambat dan tidak ada konflik yang signifikan, Strange Weather in Tokyo tidak membosankan dan lumayan page-turning (mungkin bisa diselesaikan dalam sekali duduk untuk para pembaca yang biasa baca cepat).

No comments

Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)