Aku menunggu jemputan di depan rumah, bareng sama adikku. Hari ini adalah hari kelima aku ikut jemputan sekolah. Salah satu alasannya, seharusnya aku ikut jemputan sekolah.
“Lebih baik, kamu ikut jemputannya Dika,” usul Mama. Dika adalah nama adikku.
“Tapi Ma…,” aku ingin menolak. Tapi, yaa…mau bagaimana lagi.
Akhirnya, mobil jemputan datang juga. Aku dan adikku segera naik. Biasanya, yang mengantar adalah Pak Ridwan. Tapi, kali ini bukan. Bukan Pak Ridwan yang mengantar ke sekolah. Seorang Bapak dengan ekspresi bengis, jenggot yang berantakan, dan mata yang lebar, yang mengantar aku dan Dika ke sekolah. Anehnya, Dika tidak peduli. Dia tidak kaget kalau bukan Pak Ridwan yang mengantar.
“Cepat naik!” perintahnya dengan galak. Akhirnya, aku naik ke mobil jemputan itu. Seperti biasa, anak-anak di dalam jemputan selalu ribut. Kebanyakan dari mereka adalah teman-teman seangkatan Dika. Tapi, Dika tidak menganggap mereka adalah teman-temannya. Dika memang masih kelas 4 SD, tapi entah apa yang mempengaruhi gaya berpikirnya.
“Hei, siapa Bapak itu?” tanyaku pada Dika sambil menunjuk Bapak galak itu.
“Oh…itu Pak Dan. Masak Kakak nggak tau?” jawab Dika, lalu mendengarkan musik dari i-Pod berwarna hijaunya. Hei, sejak kapan Dika punya i-Pod?
Sepanjang perjalanan, Pak Dan selalu menatapku dengan mata lebarnya yang menyeramkan. Aku jadi merinding.
“Napa sih, Kak?” tanya Dika. Kepalanya asyik bergoyang-goyang mengikuti irama musik.
“Nggak kok!” jawabku, gemetar. Kemudian, Pak Dan mengalihkan perhatiannya kepada jalanan yang macet.
Akhirnya, sampailah di sekolah. SMP-ku saling bersebrangan dengan SD Dika. Aku berjalan masuk ke lingkungan sekolah, sementara Pak Dan berlalu dengan mobilnya. Aku bersyukur. Akhirnya, aku bisa bebas dari tatapan Pak Dan yang menyeramkan.
Di sekolah, sahabatku Denna, memberiku sebuah kado yang dibungkus kertas kado warna hijau dengan gambar kucing-kucing lucu. Oh iya, hari ini kan hari ulang tahunku!
“Sahabat nggak akan lupa hari ulang tahun sahabatnya sendiri,” kata Denna sambil tersenyum.
“Wow, kamu masih inget janji kita. Makasih yah!” kataku sambil menerima kado dari Denna.
Akhirnya, tiba juga waktu pulang sekolah. Kembali aku harap-harap cemas. Mudah-mudahan saja Pak Ridwan yang kali ini menjemput. Tapi, sayang sekali. Lagi-lagi Pak Dan yang menjemput. Tapi, kali ini Pak Dan terlihat rapi sedikit. Kalau tadi pagi jenggotnya berantakan dan kotor, kali ini jenggotnya rapi dan bersih. Aku juga sempat memperhatikan Dika mengedipkan sebelah matanya pada Pak Dan. Aneh.
Yang aku inginkan sekarang, aku ingin cepat-cepat sampai di rumah. Di perjalanan, kembali Pak Dan memelototiku dengan matanya yang lebar menyeramkan. Tapi, aku baru sadar, kalau Pak Dan mengambil rute jalan yang lain. Seharusnya, arah ke rumah belok kanan, tapi Pak Dan mengambil ke kiri. Mungkin saja, kedua jalan itu saling berhubungan, pikirku.
Tapi, ternyata tidak! Aku panik, gelisah, takut, dan hampir menangis. Jangan-jangan aku diculik! Aku memperhatikan Dika dan anak-anak lainnya. Mereka tampak tenang-tenang saja. Dika malah asyik bercanda dengan salah satu temannya, dan bahkan salah satu teman Dika ada yang tertidur pulas!
“Dika, apa kamu nggak sadar kita menuju ke mana?” tanyaku pada Dika.
“Kakak ini gimana sih? Bukannya kita mau mau jalan-jalan sebentar?” jawab Dika.
“Iya, Kak! Kan enak tuh sambil menikmati pemandangan,” ujar Rico, salah seorang teman Dika menimpali. Oh…ya ampun! Anak-anak ini nggak sadar kalau mereka diculik!
Mobil jemputan masuk ke dalam lingkungan sebuah hotel mewah.
“Ayo semua turun dari mobil!” perintah Pak Dan. Dengan takut-takut aku turun dari mobil. Jangan-jangan, Pak Dan mau memperdagangkan aku dan lainnya di hotel ini? Tapi, prasangkaku menghilang saat melihat Dika nyengir padaku.
Pak Dan membawa kami ke lobby hotel. Pak Dan membicarakan sesuatu dengan salah seorang resepsionis hotel. Kemudian, resepsionis hotel tersebut mengantar kami ke salah satu ruangan yang berpintu lebar. Saat resepsionis tersebut membuka pintu itu,
“SELAMAT ULANG TAHUN, VEGA!!!!”
Semua orang langsung berteriak begitu pintu dibuka. Aku merasa diriku melayang. Tiba-tiba saja semua jadi begini. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Hei, Kak, kau pasti kaget,” ujar Dika, mengedipkan sebelah matanya padaku kemudian ke Pak Dan lalu ke Mama dan Papa.
“Kami semua mengadakan kejutan ini untukmu,” jelas Pak Dan, kali ini dia tersenyum. “Maaf, kami membuatmu kaget.”
“Semua ini direncanakan adik ‘ajaib’mu, Dika,” tambah Papa, lalu mengedip nakal pada Dika. Oh…ya ampun! Dikaaa!!!! Dasar anak itu! Tapi, ya sudahlah, aku senang dengan kejutan ini.
“Thanks for all,” ujarku akhirnya, dan aku merasa pipiku merona merah. Aku hampir saja menangis terharu.
p.s. Cerita ini ditulis pas SMP terus kukirim ke suatu koran nasional--di bagian anak-anak. Tapi, pihak editorial malah mengirim balik, katanya bahasa-yang-kugunakan-terlalu-dewasa-nggak-cocok-gitu-deh. Hmm, ya udah deh mau gimana lagi? Tapi, yang bikin aku lumayan senang waktu mereka mengatakan begini di surat yang disertakan dengan ceritaku, "Kami harap, Anda mengirimkan karya-karya lagi kepada kami. Kami tunggu", dah yah... semacam itu deh. Anyway, gimana nih komentarmu tentang cerita ini? Thanks.
No comments
Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)