Kalau kau seorang yang hobi melahap buku, terutama sastra, dan hobi menulis juga, maka kau pasti akan menampilkan senyum terbaikmu sepanjang hari ketika sudah bertemu seorang sastrawan. Sementara, kau akan melambung tinggi ketika sastrawan yang kau temui itu mengomentari tulisanmu.
Aku tidak bermaksud pamer, tapi aku baru saja mengalami hal itu.
Hari Sabtu tanggal 23 November, aku ikut seminar kepenulisan di perpus pusat. Panitia acaranya adalah BEM FKH. Iya, aku tahu kau pasti berkomentar, tapi menurutku itu bagus banget karena hei, berapa banyak sih mahasiswa yang doyan sastra selain doyan aksi nyata?
Sekadar informasi, aku ini salah satu orang yang (seringnya) tidak mood untuk pergi ke kampus di hari libur. Tapi, karena salah satu pembicaranya adalah Ahmad Tohari (!!!) aku memotivasi diriku untuk berangkat. Sempat mengalami rasa khawatir bakal telat karena ada gerbang menuju perpus pusat yang ditutup jadi aku harus mengambil rute melewati Mirota (astaga, lampu merahnya itu loh). Untungnya, tidak telat dan acara belum mulai. Pembicara pertama adalah Pak Yusuf Maulana, dan beliau punya banyak klien yang dibimbingnya hingga jadi penulis handal. FYI, Pak Yusuf ini lebih suka menangani seseorang yang tidak mendapat nilai cukup bagus di kampus atau sekolah. Dan kata beliau, kalau mau menulis buku, fokuslah ke buku yang kita tulis itu, bukan karena biar jadi bestseller.
Pembicara kedua (yang ditunggu-tunggu) adalah Pak Ahmad Tohari. Seketika semua peserta menegakkan duduknya. Dan yang ada di pikiranku ketika beliau duduk di depan adalah, “Astaga, itu dia penulis Ronggeng Dukuh Paruk yang pernah kubaca di SMA—tepat di depan mataku!” Well, curcol sedikit, aku pertama kali tahu Ronggeng Dukuh Paruk dari cuplikan cerita di buku teks Bahasa Indonesia SMA. Begitu tahu bahwa ternyata Pa punya bukunya di rak, aku langsung melahapnya. Dan aku baru menemukan akhir cerita yang tidak bahagia. Rasus dan Srintil akhirnya bertemu, tapi… Srintil yang malang.
Ada acara menulis juga, dan tulisan peserta nanti akan dikomentari oleh Pak Tohari. Oh, astaga. Aku malah gugup. Di luar sana ternyata banyak orang yang lebih jago nulis, terlihat dari komentar mereka ketika sesi diskusi. Aku memutuskan untuk menulis tentang seorang cowok namanya Budi (karena aku bingung harus memberi nama apa lagi) yang bereksperimen untuk menciptakan mesin penghilang benda (kuakui, aku sedikit terinspirasi sama The Vanishing Cabinet-nya Malfoy :-P). Karena keterbatasan waktu, akhirnya Pak Tohari membawa pulang semua tulisan peserta lalu akan dikomentari lewat SMS. Tadi sehabis kuliah, hapeku bergetar dan ketika kubuka ternyata SMS beliau datang juga!
Sempat bingung mau membalas apa. Bayangkan, peeps, dikomentari oleh Pak Ahmad Tohari! Aku langsung memberi tahu Pa.
Farizka, kamu tertarik menjadi penulis fiksi ilmiah? Bagus, kebetulan penulis semacam itu masih jarang. Ada baiknya memperpendek kalimat2mu. Salam. AT.
Sayangnya, aku tidak sempat foto dengan Pak Tohari karena beliau lagi buru-buru ke Purwokerto untuk seminar lain.
***
Malamnya, aku pergi nonton Raisa di KPFT UGM. Sekali-sekali jadi anak ketje—nonton konser malam-malam. Ngomong-ngomong, band dari mahasiswa UGM nggak kalah ketje tuh sama Raisa.
No comments
Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)