Sejak SMP aku menghindari yang namanya absen di hari-hari sekolah biasa—bukan cuti setelah UN (setelah didera ujian, biasanya ada break beberapa bulan untuk mempersiapkan diri ke almamater baru). Alasan? Macam pelajar beradab saja, karena takut ketinggalan pelajaran. Dan ya, di SMP aku tidak pernah absen karena sakit atau izin atau bahkan tanpa keterangan. Oke, aku juga heran, padahal aku tidak menikmati bersekolah tapi anehnya itu tidak berdampak terhadap fisikku (penjelasan simple: mental merasa terbebani maka akan berdampak terhadap fisik. Ingat mens sana in corpore sano?)
Hal itu berlanjut sampai SMA, setidaknya sampai kelas 10. Jujur saja, dalam hati aku menjerit minta sakit biar tidak perlu sekolah (ah oke, lumayan kan libur satu hari?) dan tiba-tiba Tuhan mengabulkan doaku. Tanggal 19 Januari kemarin aku jatuh dari motor sampai tangan kananku patah—hebat kan aku masih ingat tanggalnya, eh?—lalu aku mendapat jatah satu hari istirahat di rumah. Wah, brilian. Sementara orang-orang menyeret dirinya ke dalam gedung kokoh penuh peraturan (baca: sekolah), aku malah berbaring sambil menonton TV di rumah, plus tangan kanan yang nyut-nyutan. Andai aku bisa minta cuti sampai tangan kananku benar-benar pulih—tapi itu mustahil, dasar pihak sekolah yang kelewat kangen padaku. Memangnya gampang merangkum beberapa halaman dari buku paket dan mencoba tolak peluru dengan tangan kanan bengkak dibalut perban dan kayu?
“Kok sekolah sih, Kik? Kalo aku jadi kamu, aku bakal di rumah terus sampe tanganku sembuh. Sebulan, mungkin.”
Well, asal kedua kakiku masih sehat, tak ada salahnya sekolah, kan?
Untung aku izin di hari Jumat saat pelajaran-pelajarannya cukup santai. Jadi, aku tidak perlu khawatir bakal ketinggalan pelajaran. Hari Sabtu aku masuk dan dasar nasib aku menghadapi kelas PE dan Matematika. Hebat, kenapa aku tidak libur dua hari saja?
Sebelum mendaftar menjadi peserta sister school ke Thailand, aku sibuk memikirkan bagaimana selama di Thailand aku sibuk jalan-jalan sementara teman-temanku mencurahkan segala tenaga dan pikiran mereka di sekolah (baca: aku takut ketinggalan pelajaran). Well, di sekolah memang kadang-kadang tugasnya abstrak—ralat, bukan kadang-kadang, tapi sering, sih—tapi tetap saja aku takut tertinggal. Masalahnya, aku bakal izin di hari Senin, Selasa, dan Rabu di mana pelajaran-pelajaran maut siap menghadang. Tuhan tahu kegelisahanku, jadi di hari Senin, Selasa, dan Rabu sekolah diliburkan—oke, maksudku kelas 10 dan 11 libur sementara kelas 12 berkutat dengan try out. Wah, terima kasih banyak!
Karena diberi cuti beberapa hari oleh pihak sekolah (terima kasih program sister school ke Thailand!) aku jadi punya pemikiran bahwa terlalu lama diam di sekolah itu tidak baik. Walaupun kau pelajar beradab yang selalu mendapat nilai sempurna dan dikenal semua guru, tapi tetap saja jauh di dalam hati kau menjerit minta libur, kan? Terutama jika sekolahmu menggunakan hari Sabtu sebagai hari kegiatan belajar mengajar seperti kelima hari sebelumnya.