Barangkali kau pernah merasakan menjadi seorang public-speaker—itu loh seseorang yang kerjanya mengoceh di depan publik mengenai berbagai hal: tentang agama, politik, pendidikan dst dsb dll etc dkk. Untuk menjadi seorang public-speaker, kau harus pintar mengoceh menguasai materi yang bakal kau sampaikan di depan khalayak dan tentu saja, percaya diri. Sayangnya, aku tidak memiliki bakat menjadi seorang public-speaker (contohnya: begitu dipanggil guru untuk berdiri di depan kelas, jantungku langsung berdentum tak karuan, tidak bisa menyusun frasa-frasa secara lugas—karena jika kau berhenti sejenak untuk memikirkannya, maka kau akan kelihatan konyol di depan publik—apalagi jika disorot kamera).
Entah alasan macam apa yang membuatku ditunjuk menjadi seorang public-speaker. Tampangku meyakinkan, barangkali. Sekolah mengadakan acara bernama “Tujuh Lomba Islami” yang di dalamnya ada: MSQ, membuat kaligrafi, adzan, cerdas-cermat, khutbah, nasyid, dan satu lagi lomba yang mirip-mirip MSQ, tapi aku lupa apa namanya. Tentu saja bukan aku yang mengajukan diri untuk menjadi peserta. Tiba-tiba saja aku menjadi seseorang yang berpidato mengenai hal keagamaan, sedangkan kedua temanku menjadi pembaca Al-quran dan pembaca terjemahan.
Begitu pulang dari sekolah, aku langsung melahap materi yang diberikan, tentang golongan-golongan orang yang merugi di bulan Ramadhan. Oke, kupikir ini mudah dan besok pasti aku bisa menjelaskannya secara lancar di hadapan publik.
Tapi, prediksi-ku salah besar.
Aku membuka pidato-ku dengan gaya-ku sendiri—maksudnya, gaya pembacaan salamku nggak seperti gaya para finalis Pildacil yang nadanya mengalun ceria (well yeah, jangan katakan aku seseorang yang hobi bermuram-durja sepanjang hari), ucapan syukur basa-basi seperlunya—seperti “Alhamdulillah, atas nikmat Allah SWT di hari ini kita dapat berkumpul dalam keadaan sehat wal’afiat” and those blablas.
Kemudian, aku mulai menyampaikan materi, dan saat tiba gilirannya, kedua temanku melaksanakan tugas masing-masing.
Saat aku selesai mengucapkan, “Golongan merugi yang selanjutnya adalah…”, kalimatku menggantung di langit-langit ruangan disebabkan kartu memori otakku tiba-tiba ngadat. Aku menggigit bibir bawahku, mencoba mengingat-ingat golongan merugi macam apa yang bakal muncul selanjutnya. Kuperhatikan para juri dan audience, eh, mereka malah menatapku balik sementara jam dinding berdetik, menciptakan atmosfer yang sangat awkward di dalam ruangan. Hening sejenak, para audience menunggu kalimatku berlanjut atau seorang juri yang menggemakan kata “cukup”. Setelah beberapa detik, kartu memori-ku fix kembali, menyusun untaian kata yang tadi sempat menggantung. Kusampaikan materi dengan nada cepat, tidak ingin berdiri lama-lama di situ.
Begitu selesai mengucap salam penutup, otot-ototku menjadi kebas karena menahan atmosfer ketegangan (untung nggak ada segerombolan Dementor di dalam ruangan). Rasanya seperti ngebelah atmosfer berlapis-lapis, meluncur bareng paus akrobatik, dan ngebut menuju rasi bintang paling manis.
Entah alasan macam apa yang membuatku ditunjuk menjadi seorang public-speaker. Tampangku meyakinkan, barangkali. Sekolah mengadakan acara bernama “Tujuh Lomba Islami” yang di dalamnya ada: MSQ, membuat kaligrafi, adzan, cerdas-cermat, khutbah, nasyid, dan satu lagi lomba yang mirip-mirip MSQ, tapi aku lupa apa namanya. Tentu saja bukan aku yang mengajukan diri untuk menjadi peserta. Tiba-tiba saja aku menjadi seseorang yang berpidato mengenai hal keagamaan, sedangkan kedua temanku menjadi pembaca Al-quran dan pembaca terjemahan.
Begitu pulang dari sekolah, aku langsung melahap materi yang diberikan, tentang golongan-golongan orang yang merugi di bulan Ramadhan. Oke, kupikir ini mudah dan besok pasti aku bisa menjelaskannya secara lancar di hadapan publik.
Tapi, prediksi-ku salah besar.
Aku membuka pidato-ku dengan gaya-ku sendiri—maksudnya, gaya pembacaan salamku nggak seperti gaya para finalis Pildacil yang nadanya mengalun ceria (well yeah, jangan katakan aku seseorang yang hobi bermuram-durja sepanjang hari), ucapan syukur basa-basi seperlunya—seperti “Alhamdulillah, atas nikmat Allah SWT di hari ini kita dapat berkumpul dalam keadaan sehat wal’afiat” and those blablas.
Kemudian, aku mulai menyampaikan materi, dan saat tiba gilirannya, kedua temanku melaksanakan tugas masing-masing.
Saat aku selesai mengucapkan, “Golongan merugi yang selanjutnya adalah…”, kalimatku menggantung di langit-langit ruangan disebabkan kartu memori otakku tiba-tiba ngadat. Aku menggigit bibir bawahku, mencoba mengingat-ingat golongan merugi macam apa yang bakal muncul selanjutnya. Kuperhatikan para juri dan audience, eh, mereka malah menatapku balik sementara jam dinding berdetik, menciptakan atmosfer yang sangat awkward di dalam ruangan. Hening sejenak, para audience menunggu kalimatku berlanjut atau seorang juri yang menggemakan kata “cukup”. Setelah beberapa detik, kartu memori-ku fix kembali, menyusun untaian kata yang tadi sempat menggantung. Kusampaikan materi dengan nada cepat, tidak ingin berdiri lama-lama di situ.
Begitu selesai mengucap salam penutup, otot-ototku menjadi kebas karena menahan atmosfer ketegangan (untung nggak ada segerombolan Dementor di dalam ruangan). Rasanya seperti ngebelah atmosfer berlapis-lapis, meluncur bareng paus akrobatik, dan ngebut menuju rasi bintang paling manis.