Powered by Blogger.

Sesak


Mataku menerpa pemandangan yang ada di situ. Kota itu tua. Tipikal kota-kota yang selalu aku bayangkan ketika membaca novel dongeng dan fantasi. Jalan berbatu bata merah dinaungi bangunan-bangunan zaman menengah. Cat bangunan-bangunan tersebut berwarna-warni. Kota itu sepi. Tidak ada seorang pun kecuali aku, berdiri kebingungan—bertanya-tanya dalam hati kakiku sedang berdiri di atas tanah di belahan bumi mana. Kutelusuri jalan berbatu bata merah itu.

Di tengah-tengah kota, ada sebuah air mancur indah dengan patung seorang anak kecil dengan busur panah di tangannya. Di sebelah air mancur terdapat sebuah kolam renang kecil. Aku heran dibuatnya. Siapa yang membuat kolam renang di sebelah air mancur? Di tengah-tengah kota, pula. Belum reda keherananku, tiba-tiba seorang gadis kecil melompat dari dalam kolam renang. Alunan tepuk tangan membahana di sekelilingku. Kukerjapkan mata. Tadi kan hanya aku di sini? Kenapa tiba-tiba ada banyak sekali orang?

Gadis kecil itu melompat lagi. Dia bersalto di udara beberapa kali. Aku takjub dibuatnya. Kemudian, si gadis kecil keluar dari kolam renang, membungkuk penuh rasa terima kasih, dan menyunggingkan senyum manisnya kepada orang-orang. Aku merasa wajah gadis itu familiar. Kurasa aku pernah melihatnya. Tapi, aku lupa di mana. Si gadis kecil menjulingkan mata indahnya kepadaku.

Menatapku dengan pandangan meneliti kemudian ekspresinya berubah. Dia tampak marah dan seolah ingin membunuhku. Aku kaget. Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba dia begitu. Tanpa pikir panjang, aku lari. Ya, aku memang pengecut. Dipandangi oleh seorang gadis kecil saja membuatku lari. 

“Tunggu!”

Teriakan itu menghentikanku. Si gadis kecil berlari menghampiriku. Masih dibalut baju renang, dia bertanya. “Kenapa kau malah lari?”

Sebelum aku bisa menjawab, dia berkata lagi. “Aku punya sesuatu untukmu.”

Ekspresinya dan suaranya berubah lembut, seperti seorang ibu yang sedang meninabobokan anaknya. Si gadis kecil menyodorkan sepiring spageti. Aku takjub, heran, sekaligus ingin tertawa. Siapa gadis kecil yang sedang berdiri di depanku dengan sepiring spageti di tangannya? Lucu, aku bahkan tidak mengenalnya tapi dia memberiku sepiring spageti. Seolah-olah dia tahu bahwa aku akan datang lalu dia memasakkan spageti.

Aku menerima sepiring spageti dari tangan si gadis kecil.

“Nanti malam, kita bertemu di menara. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan,” bisik si gadis kecil misterius, lalu dia menyunggingkan senyum aneh. Aku dibuat bingung lagi. Menara apa yang dia maksud dan hal apa yang dia bicarakan pada seorang pemuda yang tidak mengenalnya ini? Sebelum pergi, dia mengangguk ke arah sebuah bangunan yang terletak di ujung jalan.

Aku menoleh memandangi bangunan itu. Ketika aku berbalik untuk bertanya, si gadis kecil telah menghilang. Aku tidak terkejut dengan itu karena berdasarkan cerita-cerita yang aku baca, kadang-kadang orang menghilang secara misterius setelah berbicara denganmu. Aku mengangkat bahu dan berkata keras-keras entah kepada siapa, “Terima kasih atas spagetinya.”

Seekor anjing memandangiku dari seberang jalan. Tatapannya menunjukkan tatapan lapar. Aku memanggil si anjing kemudian memberikan sepotong sosis dan baso spageti kepadanya. Si anjing makan dengan lahap, memandangiku lagi dengan tatapan penuh rasa terima kasih, lalu pergi. Aku menghabiskan sisa spageti yang ada di piring. Kota tua nan sepi ini benar-benar aneh. Setelah piringku licin, aku pergi ke arah bangunan yang ditunjuk si gadis kecil. Bangunan itu tua dan aneh, seperti kota ini. Hanya saja, cat yang melapisi bangunan itu berwarna sehitam jelaga. Dua menara menjulang di atasnya. Jendelanya banyak. Satu kata untuk mendeskripsikan bangunan ini: suram. Aku melewati pekarangan bangunan itu. Tamannya tidak lebih bagus dari rupa bangunan itu. Aku mengetuk pintu hitam besar yang digantungi anak-anak kunci. Ketukannya menggema. Kenop pintu berputar, dan berdirilah seorang wanita paling nyentrik yang pernah kulihat. Gelang-gelang plastik berwarna-warni bergemerincing melingkari lengan kurusnya. Rambutnya pirang keemasan dihiasi sebuah bandana yang semerah lipstiknya. Anting bulan dan bintang menggantung di kedua telinganya. Wanita ini mengenakan kaus hijau ketat dan legging merah muda.

“Cari kamar, Nak?” tanyanya dengan nada bersemangat.

Sebelum aku bisa menjawab, wanita itu mengambil salah satu anak kunci di pintu lalu menarikku masuk. Dia membanting pintu dan memberi isyarat untuk mengikuti. Hawa dingin segera menusuk tulangku, padahal jelas-jelas matahari bersinar cerah di luar. Langit-langit bangunan itu ternyata tinggi sekali dengan kandelir-kandelir kuno berayun menyedihkan. Debu tebal melapisi bagai permadani di lantai kayunya yang berderak. Kalau bukan karena kehadiran wanita nyentrik ini, bangunan ini tampak muram dan kosong. Di salah satu ruangan, ramai orang berkumpul.

“Gugur seperti pohon yang sedang meranggas di halaman belakang,” wanita nyentrik itu menyeringai misterius. Jarinya menuding orang-orang itu. Akhirnya aku menyadari apa yang terjadi. Atmosfer di dalam bangunan yang ternyata adalah rumah susun itu sudah begitu suram apalagi ditambah dengan kejadian yang ada di depan batang hidungku. Mereka sedang berkabung. Sepertinya salah seorang penghuni rumah susun telah berpulang hari ini.

“Mereka akan memakamkannya hari ini. Barang-barangnya sudah diambil semua, jadi kau bisa menempati kamar itu,” kata si wanita nyentrik, dia tampak bersemangat dengan hal ini. Aku bergidik mendengarnya. Aku hendak berkata bahwa aku tidak butuh kamar tetapi si wanita nyentrik mengangkat tangan. “Sayangnya tidak ada kamar lain, Nak,” dia menatapku dengan tatapan pura-pura menyesal lalu kembali memberiku isyarat untuk mengikuti. Bangunan itu berisi lorong-lorong memusingkan dan anak-anak tangga yang berderak. Kami tiba di depan pintu dengan papan bertuliskan angka enam puluh enam. Si wanita nyentrik memasukkan anak kunci, memutarnya dengan susah payah, dan pintu membuka perlahan—menampakkan sebuah ruangan cukup lebar dengan tempat tidur, meja, kursi, lemari, dan jendela bundar di satu sisi.

“Kamar mandi ada di halaman belakang, dekat sumur, terdapat juga di lantai bawah sebelah kamar nomor lima belas, dan yang terdekat ada di ujung lorong dari lantai ini,” kata si wanita nyentrik. 

“Terima kasih, tapi aku…,” kataku mencoba berkata lagi bahwa aku tidak butuh kamar.

“Tidak usah khawatir dengan pembayarannya, Nak. Beristirahatlah dulu. Selamat malam,” si wanita nyentrik menyela, tersenyum misterius, lalu pergi. 

Aku menghela napas dan memutuskan untuk berbaring sejenak. Aku tak habis pikir dengan apa yang sebenarnya terjadi hari ini. Aku berusaha mengingat-ingat siapa gadis kecil itu. Malam telah datang. Hanya ada satu lampu kecil yang berayun menyedihkan dari langit-langit. Aku bangkit dari tempat tidur lalu berjalan keluar kamar menuju menara yang dimaksud si gadis kecil. Tangga menuju menara curam dan aku harus berhati-hati menapakinya. Saat sampai di atas, si gadis kecil ternyata telah menungguku. Rambut panjangnya bersinar keemasan diterpa sinar bulan yang menyorot dari salah satu jendela menara. Tubuh mungilnya dibalut mantel hitam. Dia menyunggingkan senyum yang sama seperti tadi siang saat dia selesai mempersembahkan loncat indahnya.

“Akhirnya kau datang juga, Dan,” kata si gadis kecil. Heran, dari mana dia tahu namaku? Aku duduk bersila di depannya.

“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanyaku. Gadis kecil itu hanya diam. Dia masih tersenyum. 

“19 Februari 2006,” katanya perlahan seperti mengeja. Aku membelalakkan mata. Darahku seperti berhenti mengalir. Si gadis kecil tertawa—tawa mengejek anak kecil yang mendapati temannya tersandung ketika sedang bermain kejar-kejaran. Aku terpaku di tempat, memoriku langsung terbuka ke kejadian sore itu tanggal 19 Februari 1991. Si gadis kecil sedang duduk sendirian di pinggir kolam berbalut baju renang. Dia membawa tas olahraga yang lebih besar dari tubuhnya. Air menetes dari rambut keemasannya. Aku sering pergi ke kolam renang itu untuk merokok ketika sore hari setelah jam sekolah usai karena aku menghindari teguran guru. Kolam renang itu terletak di lantai paling atas bangunan sekolah. Kadang-kadang, ada sekelompok anak SD menggunakannya untuk kursus renang. Aku datang ke kolam renang jam lima sore setelah kursus renang usai, dan ketika aku hendak menyalakan rokok, aku melihat si gadis kecil. Sendirian dan menunggu. Aku menghampirinya.

Dia menoleh padaku. Matanya berwarna sebiru kolam renang.

Aku menatapnya. Air masih menetes dari rambutnya. Dia menggerak-gerakkan kedua kakinya di bawah air.

“Ini sudah jam lima. Kenapa kau tidak pulang?” tanyaku lagi. “Aku masih mau di sini,” jawabnya dengan nada merengek. Dia menoleh padaku. 

“Kau sendiri sedang apa?”

“Menghabiskan waktu,” jawabku sambil menatapnya lekat-lekat. Si gadis kecil masih menggerak-gerakkan kakinya. Dia tampak menikmati percikan air yang ditimbulkan gerakan kaki. Aku menoleh ke sekitar. Hanya ada aku dan si gadis kecil. Kakinya bergerak makin cepat dan dia tertawa ketika percikan air mengenainya. Aku tidak tahu apa yang merasukiku setelah itu, tapi satu hal yang kuketahui selanjutnya adalah seorang petugas kebersihan menemukan si gadis kecil mengapung di kolam keesokan paginya. Aku kembali berada di menara. Si gadis kecil sudah berhenti tertawa, dia menatapku lekat-lekat. Seketika aku merasa ngeri. Aku ingin lari, tapi tatapan gadis itu seolah membekukanku.

“Kau tidak bisa selamanya bersembunyi,” kata si gadis kecil. “Kau tidak bisa terus mengarang fakta bahwa bukan kau yang melakukannya.” Kepalaku mendadak pusing. “Mereka akan menemukanmu, Dan. Mereka akan menangkapmu, mengadilimu, dan menjebloskanmu ke penjara. Mereka punya buktinya. Kau tahu itu,” dia tersenyum puas. Aku tidak bisa mendengar kata-kata selanjutnya. Dunia seolah berputar cepat sekali. Aku seketika terjatuh ke lantai menara yang dingin. 

-----------------------------------

Cerpen ini pernah diikutsertakan dalam Lomba Cerpen Balairung 2015. Terinspirasi dari satu mimpi yang langsung diingat ketika bangun tidur (karena menurut situs ini kebanyakan mimpi lebih sering dilupakan) dan The Confession-nya John Grisham.

No comments

Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)