Powered by Blogger.

SOC

Pa dan Ma asli Solo. Pa dari Karanganyar, Ma dari Kartasura. Mereka bertemu di Jogja karena sama-sama kuliah di sana. Aku kadang heran kenapa kebetulannya bisa ‘cantik’ gitu. Karena mBah tinggal di Solo juga, jadi setiap lebaran dan liburan semester pasti ke sana—uniknya, aku, Pa, Ma, dan Lil, adikku, rumah mBah Kartasura (orang tua-nya Ma) dijadikan ‘hotel’, terus besoknya kami berkunjung ke rumah mBah Karanganyar (orang tua-nya Pa). Selama setahun, aku bisa mengunjungi Solo lebih dari tiga kali, well yeah meskipun tempat tinggalku di Karawang. Bukannya bosan, aku justru excited. Aku bisa belajar bahasa Jawa (Pa dan Ma saling menggunakan bahasa Jawa kalau ngobrol), meskipun jujur saja, kalau disuruh ngoceh aku tidak bisa. Tapi, setidaknya kalau ada orang yang membicarakan diriku pakai bahasa Jawa, aku bakal ngerti *ngeles*.

A wimpy writer met a well-known writer #2

Kalau kau seorang yang hobi melahap buku, terutama sastra, dan hobi menulis juga, maka kau pasti akan menampilkan senyum terbaikmu sepanjang hari ketika sudah bertemu seorang sastrawan. Sementara, kau akan melambung tinggi ketika sastrawan yang kau temui itu mengomentari tulisanmu. Aku tidak bermaksud pamer, tapi aku baru saja mengalami hal itu.

Hari Sabtu tanggal 23 November, aku ikut seminar kepenulisan di perpus pusat. Panitia acaranya adalah BEM FKH. Iya, aku tahu kau pasti berkomentar, tapi menurutku itu bagus banget karena hei, berapa banyak sih mahasiswa yang doyan sastra selain doyan aksi nyata?

Sekadar informasi, aku ini salah satu orang yang (seringnya) tidak mood untuk pergi ke kampus di hari libur. Tapi, karena salah satu pembicaranya adalah Ahmad Tohari (!!!) aku memotivasi diriku untuk berangkat. Sempat mengalami rasa khawatir bakal telat karena ada gerbang menuju perpus pusat yang ditutup jadi aku harus mengambil rute melewati Mirota (astaga, lampu merahnya itu loh). Untungnya, tidak telat dan acara belum mulai. Pembicara pertama adalah Pak Yusuf Maulana, dan beliau punya banyak klien yang dibimbingnya hingga jadi penulis handal. FYI, Pak Yusuf ini lebih suka menangani seseorang yang tidak mendapat nilai cukup bagus di kampus atau sekolah. Dan kata beliau, kalau mau menulis buku, fokuslah ke buku yang kita tulis itu, bukan karena biar jadi bestseller.

Pembicara kedua (yang ditunggu-tunggu) adalah Pak Ahmad Tohari. Seketika semua peserta menegakkan duduknya. Dan yang ada di pikiranku ketika beliau duduk di depan adalah, “Astaga, itu dia penulis Ronggeng Dukuh Paruk yang pernah kubaca di SMA—tepat di depan mataku!” Well, curcol sedikit, aku pertama kali tahu Ronggeng Dukuh Paruk dari cuplikan cerita di buku teks Bahasa Indonesia SMA. Begitu tahu bahwa ternyata Pa punya bukunya di rak, aku langsung melahapnya. Dan aku baru menemukan akhir cerita yang tidak bahagia. Rasus dan Srintil akhirnya bertemu, tapi… Srintil yang malang.

Ada acara menulis juga, dan tulisan peserta nanti akan dikomentari oleh Pak Tohari. Oh, astaga. Aku malah gugup. Di luar sana ternyata banyak orang yang lebih jago nulis, terlihat dari komentar mereka ketika sesi diskusi. Aku memutuskan untuk menulis tentang seorang cowok namanya Budi (karena aku bingung harus memberi nama apa lagi) yang bereksperimen untuk menciptakan mesin penghilang benda (kuakui, aku sedikit terinspirasi sama The Vanishing Cabinet-nya Malfoy :-P). Karena keterbatasan waktu, akhirnya Pak Tohari membawa pulang semua tulisan peserta lalu akan dikomentari lewat SMS. Tadi sehabis kuliah, hapeku bergetar dan ketika kubuka ternyata SMS beliau datang juga! Sempat bingung mau membalas apa. Bayangkan, peeps, dikomentari oleh Pak Ahmad Tohari! Aku langsung memberi tahu Pa. 

Farizka, kamu tertarik menjadi penulis fiksi ilmiah? Bagus, kebetulan penulis semacam itu masih jarang. Ada baiknya memperpendek kalimat2mu. Salam. AT.

Sayangnya, aku tidak sempat foto dengan Pak Tohari karena beliau lagi buru-buru ke Purwokerto untuk seminar lain.

***

Malamnya, aku pergi nonton Raisa di KPFT UGM. Sekali-sekali jadi anak ketje—nonton konser malam-malam. Ngomong-ngomong, band dari mahasiswa UGM nggak kalah ketje tuh sama Raisa.

Survivalis Tiga Hari

Baru saja menjadi seorang survivalis seperti Katniss Everdeen, tapi tanpa Peeta dan arena penuh bahaya. 

Kau boleh percaya atau tidak, aku melewatkan hari Jumat malam hingga Minggu sore di suatu tempat yang tanahnya lengket-lengket di sepatu, kamar mandi hanya dua, untuk ke sumber air harus menerjang tanah berbatu dan berlumpur, dan menginap di tenda (sempat mengalami rasanya tenda bocor dan barang bawaan basah semua). Justru malah nambah pengalaman (dan aku tidak ingin mengalaminya lagi, tentu saja).

Aku tidak mendaftarkan diriku ikut Hunger Games, ya (dan semoga Hunger Games tidak beneran ada). Tapi, aku mendaftarkan diriku ke suatu kelompok studi. Untuk jadi anggota kelompok studi ini, para calon anggota harus mengikuti diklat dasar: diklat ruang dan diklat lapangan. Karena aku sudah melalui diklat ruang, jadi aku mengikuti diklat lapangan yang diadakan di suatu wisata alam di daerah Bantul. Kesan pertama ketika sampai di lokasi adalah: gelap. Bus tidak bisa melanjutkan perjalanan karena kondisi jalannya yang tidak beraspal dan licin, jadi aku dan peserta lain berjalan kaki di tengah kegelapan malam seraya berlumpur-lumpur ria. Aku sudah membayangkan akan melewatkan malam di tenda dan penerangan hanya senter—tidak mandi juga (dan ternyata tidak mandi selama tiga hari itu bukan ide yang bagus).

Tidur hanya dua jam, bangun pagi-pagi, siangnya ngantuk seolah ada troll gunung lagi menggantung di kelopak mata. Karena ada saja acara dari kakak-kakak panitia, sedikit demi sedikit ngantuk mulai berkurang. Acara yang paling seru adalah outbound di sabtu pagi hingga siang. Para peserta mengikuti warna tali rafia yang diikat di suatu tempat lalu akan dibawa ke suatu pos di mana kakak panitia telah menunggu untuk memberikan game. Saat outbound, aku melewati rumah-rumah penduduk dan mereka pada umumnya memelihara sapi ternyata—mengingatkanku pada rumah mBah di Karanganyar.

Ngomong-ngomong, kami hanya diberi waktu 30 menit untuk mendirikan tenda dan kalau kau tanya aku apa aku ada pengalaman mendirikan tenda sebelumnya, well, sejujurnya TIDAK ADA (oh tunggu, jadi selama pramuka di sekolah dulu aku ngapain?). Sebingung-bingungnya mendirikan tenda, pada akhirnya selesai juga. Lokasi tenda berada di atas dan sumber air di bawah. Jadi, kalau mau ke kamar mandi harus berhati-hati turun ke bawah. Itulah kenapa aku dan peserta lain tidak mandi.

Fakta lain yang harus kau ketahui: peserta tidak boleh bawa hape dan jam. Oh, betapa sepinya hidup tanpa hape dan jam. Tapi, para peserta hanya bisa ‘ywd c’. Toh pada akhirnya kami bisa ‘bertahan hidup’ tanpa dua barang itu—selama tiga hari, tapi.

Untuk makanan, kami tidak berburu (dan kebetulan aku tidak bisa memanah seperti Katniss). Para panitia memberikan para peserta uang sejumlah 300rb dan harus cukup untuk makan selama tiga kali: sabtu pagi, sabtu siang, dan minggu pagi. Dan para peserta membawa peralatan masak sendiri. Merasakan lagi menjadi survivalis: suka tidak suka harus makan, lapar tidak lapar harus makan. Bayangkan nikmatnya makan ubi rebus bersama-sama survivalis lainnya.

Setelah tiga hari menjadi survivalis, para peserta dilantik untuk jadi anggota baru, dan sebelumnya para peserta ditutup matanya. Kalau diterima jadi anggota, para peserta akan menemukan slayer dipasang di pundaknya begitu membuka mata. Menurutku, tidak apa-apa aku tidak diterima jadi anggota. Yang penting pengalaman survivalis-nya itu yang membuat hidup nggak datar-datar amat, dan nikmatnya 'nggak mandi' bersama-sama MUAHAHA (nggak, aku tidak ingin mengalaminya lagi meskipun disuap pakai paket jalan-jalan ke Jepang 7D6N, terima kasih banyak).

'Dek' dan 'Kak'

Aku selalu menghindari kata ‘Dek’, dan meminimalisir kata ‘Kak’ (aku tidak bisa menghindar dari kata 'Kak', terutama ketika di kampus). Kenapa? Karena aku sendiri tidak suka dipanggil ‘Dek’ atau ‘Kak’. Aku tidak pernah manggil ‘Dek’ ke adikku, dan dia juga tidak pernah manggil ‘Kak’. Terus manggilnya apa? Well, kita punya panggilan khusus, kok. Dan itu jauh lebih baik dan lebih akrab. Untungnya, bahasa Jawa yang digunakan di Jogja, jadi aku lebih suka manggil ‘Mbak’ atau ‘Mas’ ke kakak tingkat atau orang lain (terima kasih banyak buat orang yang sudah menciptakan dua kata ini!). Lagipula, semua penghuni kosan saling manggil ‘Mbak’, tuh.

Aku sering menemukan kakak tingkat manggil ‘Dek’ malah ke orang yang (ternyata!) seumuran atau lebih tua. Yah, aku ngerti kok alasannya. Mungkin karena tidak tahu orang itu sebenarnya adik tingkatnya atau bukan. Tapi, ada juga kakak tingkat yang memilih kata ‘Teman-teman’. Itu jauh lebih baik dan terkesan netral, seolah tidak ada lagi penghalang antara si kakak tingkat dengan si adik tingkat, seolah si adik tingkat bisa mengakui kalau si kakak tingkat adalah temannya yang bisa diajak ngobrol apa saja. Aku lebih suka kakak tingkat yang seperti ini. Jujur saja.

Akhirnya blogging lagi

Ohai.

Akhirnya bisa blogging lagi. Sebenarnya lagi UTS nih (njiyee UTS pertama njiyee), tapi karena sekarang lagi bingung mau belajar apa (dikarenakan tidak tersedianya textbook acuan dosen di perpus, jadi hanya mengandalkan pengetahuanku yang sedikit ini), ya sudah blogging aja (ditambah koneksi internet yang rada... minta digampar).

Kemarin, selama beberapa malam aku ditemani oleh laporan praktikum Kimia. Iya, meskipun ngambil Biologi tapi masih bertemu dengan matkul Kimia Dasar. Untungnya ada orang baik hati yang memutuskan untuk upload laporannya, jadi ada sedikit bayangan mengenai format laporannya. Layaknya seorang maba yang mengalami praktikum pertamanya, kebingungan melanda. Terutama perhitungannya. Dan untunglah, mendekati deadline--seolah ada hikmah yang tiba-tiba turun dari langit--laporan praktikum selesai dengan perhitungannya juga. Well, ternyata benar apa kata @yeahmahasiswa, The Power of Kepepet benar-benar ada #loh.

Ngomong-ngomong, dikarenakan mahasiswa sekarang harus bisa menyeimbangkan kuliah dan organisasi, aku mendaftar ke suatu kelompok studi di fakultas. Sebenarnya ingin ikut SKM (Surat Kabar Mahasiswa) pake banget, tapi karena adaptasi dulu dengan jadwal kuliah, jadinya di semester berikutnya saja. Dan aku mulai memikirkan semester-semester berikutnya yang bakal dihadang oleh segudang praktikum (belum lagi bikin laporannya), bisa nggak ya ikut SKM?

Kemarin aku juga ikut seleksi AIESEC, jadi kalo lolos bakal ikut social project di negara tertentu. Hitung-hitung mencari pengalaman dan 'tiket emas'. Dan baru kali ini aku lolos seleksi pertama (setelah sebelumnya pas ikut AFS nggak lolos di seleksi pertama). Aku langsung ikut interview dan di situ para peserta harus menampilkan pertunjukkan budaya. Oke, jujur, aku rada mati kutu. Aku tidak bisa nari daerah, nyanyi gak terlalu bagus, main alat musik secara basic aja (maksudnya cuma tau kunci C Am Dm ke G ke C lagi #loh). Jadi, kuputuskan untuk nyanyi saja.

Ternyata tidak lolos, peeps. Ya sudahlah ya, bersyukur saja. Allah punya rencana yang lebih baik untukku *pake emoticon :')*. Setidaknya sudah mencoba dan nambah pengetahuan juga. Ternyata, untuk menjadi seorang young ambassador bagi Indonesia dan menjalani social project di suatu negara, butuh persiapan diri yang matang. Waktu interview aku ditanya bagaimana kalau misalnya deadline projectnya besok dan aku belum ngerjain dan aku harus gimana karena nggak mungkin aku mengerjakannya sendirian. Lalu, aku bayangkan keadaan itu kalau suatu saat benar-benar terjadi. Well yeah, ternyata nggak hanya menikmati asyiknya jalan-jalan ke tempat baru, tapi juga mengalami permasalahan kayak gitu.

Aku juga ikut seminar Entomologi Forensik yang masih berkaitan dengan kelompok studi itu. Waktu pertama kali tahu tentang seminar ini, aku berpikir apa hubungannya serangga dengan forensik dan setelah ikut seminar aku jadi tahu kalau ternyata serangga juga bisa dijadikan perkiraan waktu kematian seseorang. Dan hal yang terbesit selanjutnya adalah Sherlock Holmes MUAHAHA. Setelah ikut seminar, ada kunjungan ke RSUP dr.Sardjito ke bagian Kedokteran Forensik. Benar-benar nambah pengetahuan dan pengalaman.

Ngomong-ngomong, tempat favoritku di kampus adalah perpus pusat MUAHAHA Hermione Granger banget ga sih? Menurutku, itu tempat nongkrong yang asyik karena well, sebagai seorang bibliophile, ketika melihat tempat yang banyak buku pasti langsung excited. Kalau mau ngerjain tugas atau belajar tinggal berjalan ke rak yang tepat lalu ambil buku. Dan di American Corner banyak novel yang bikin penasaran, meskipun kertasnya sudah kuning dan full bahasa Inggris. Sayangnya tidak ada Sherlock Holmes #huft, dan waktu untuk leyeh-leyeh baca novel.

Suatu hari di arboretum

Ini terjadi tanggal 4 September, ketika ospek Fakultas. Aku tidak tahu apakah ini hanya ngerjain, seru-seruan, atau serius.

Jadi, para maba disuruh bawa poncho, masker, dan lotion anti nyamuk. Awalnya, aku bertanya-tanya untuk apa gerangan barang-barang itu dibawa. Setelah mengetahui susunan acara ospek, ternyata itu untuk Tour de Biology. Acara khas ospek: keliling-keliling sambil senyum malu-malu ketika lewat di depan senior.

FYI, Biogama punya arboretum, istilah ketje untuk kebun Biologi. Kau bisa menemukannya di sebelah Barat (jika aku tidak salah arah… semoga). Di depannya ada Jalan Taman Biologi yang dipakai tempat kumpul maba ketika ospek. Sayangnya, sering ada kejutan tak terduga datang dari atas. Penasaran? Silahkan datang ke sana. Saran: hindari spot yang penuh bercak putih.

Ketika waktunya jalan-jalan ke arboretum, para maba disuruh mengenakan poncho, masker, dan mengoleskan lotion anti nyamuk, sementara para kakak pemandu hanya mengenakan jas almamater. Aku tidak yakin memakai poncho untuk menghindari ‘kejutan-dari-atas’ atau apa. Rasanya awkward sekali, dudes. Panas pula ditambah memakai jas almamater. Tapi, itu malah berkesan dan bikin ngakak setiap kali membahasnya dengan anak-anak seangkatan yang lain. Astaga, demi hippogriff nyengir.

***

Bagai seorang peneliti, kami para maba sibuk menulis apa saja yang dijelaskan oleh kakak pemandu tentang arboretum.

Kuliah pertama njiyee...

Kuliah pertama adalah satu hal yang ditunggu-tunggu para maba, terutama ketika selesai ospek (ngaku saja, deh). Tanggal 9 September aku mengalami kuliah pertama setelah beberapa hari sebelumnya berbingung-bingung ria (?) mengisi KRS. Spesial untuk maba yang penuh kebingungan (itulah tidak enaknya menjadi maba. Jadi, jangan terlalu bangga ngaku-ngaku seorang maba), pihak akademik fakultas memberi paket mata kuliah yang wajib diambil (dan maba hanya bisa ‘ywdc’ sambil mengeluh betapa jadwal kuliah tidak beda dengan jadwal sekolah: masuk jam tujuh pagi). Bertemu Kimia, Fisika, dan Matematika lagi! Oke.

Setelah itu, para maba rendezvous dengan Dosen Pembimbing Akademik, untuk minta tanda tangan KRS dan konsultasi. Bertemu dengan DPA tidak mudah, dudes. Butuh perjuangan dan kesabaran ekstra. DPA-ku langsung menyemangati maba-nya untuk selalu duduk di depan dan berusaha dapat A di pertemuan pertama. Oke, aku hanya bisa ‘ywdc’ sambil membayangkan tingkat kesulitan yang bakal kuhadapi.

Dosen juga bisa telat. Ada kelas kosong. Ditunggu sampai waktu kuliah selesai, dosen tidak datang. Tak ada bedanya dengan waktu sekolah. Kecilik tenan. Tau gitu kenapa tadi nggak bangun siang aja terus lanjut nyuci *anak kos’ thought*. Well, setidaknya ngisi absensi (?).

Makananku sekarang Campbell edisi Bahasa Indonesia yang terdiri tiga jilid. Jumlah halaman? Oh, beratus-ratus lembar. Sekali lagi, aku hanya bisa ‘ywdc’.

Menjadi maba juga mengikuti agenda kampus. Setiap hari Sabtu selama bulan September aku mengikuti pelatihan soft skills, dan itu masih termasuk PPSMB. Jadi, sebenarnya ospek itu sebulan. Kalau waktu ospek pertama caping is everywhere, kemarin kertas plano is everywhere (dibawa buat soft skills). Begitu berada di Toko Merah, kalau ada seseorang yang membawa gulungan kertas plano, orang itu maba UGM.

Pasca ospek, eh, PPSMB maksudnya

Hai, aku kembali.

 *** 

Rasanya selesai ospek itu… seperti terbang naik Hippogriff. Kalau kau tidak bisa membayangkannya, coba search “Buckbeak’s Flight” di Youtube. Iya, rasanya seperti itu. Sebenarnya, acara baru berakhir tanggal 28 September, tapi hari-hari ‘penyiksaan’ empat hari. Eh, maksudku pakai kemeja putih, rok hitam, dan segala macam do-it-yourself atribut loh ya, bukan ‘penyiksaan’ yang kau kau bayangkan. Kalau kau penasaran dengan tugas-tugas yang harus dibawa, silahkan cek web Palapa. Search di Google, dudes. 

Sampai hari H, caping is everywhere. Setiap hari ada saja yang menjemur caping seraya menggarap nametag. Ketika di jalan ketemu pemuda yang bawa caping, langsung bisa ditebak dia adalah maba UGM. Ngomong-ngomong, aku sudah beli caping di Solo, tapi karena aku dan Ma berangkat duluan ke Jogja naik kereta (sedangkan Pa menyusul), jadi aku tidak membawa caping. Ternyata, caping dibawa saat technical meeting tanggal 31 Agustus. Oke, akhirnya aku beli caping lagi. Dan, terima kasih kepada bapak penjual atribut ospek di depan bunderan UGM, amat sangat membantu. Well, ternyata ada sekelumit keuntungan bawa-bawa caping. Pertama, melindungi dari sinar matahari ketika upacara pembukaan di GSP (9000 lebih maba berkumpul). Kedua, caping adalah ide yang brilian untuk membuat Parade Nusantara (bayangkan 9000 lebih maba berkumpul membentuk “Indonesia Raya”). Aku bertanya-tanya kenapa ide seperti itu bisa terlintas di benak para panitia. Ngomong-ngomong, Gamada adalah istilah kece untuk maba, dan PPSMB adalah istilah kece untuk ospek. Tapi, mari kita pakai istilah ‘maba’ dan ‘ospek’ saja karena lebih mudah. 

Tidak ada kekerasan dalam penyelenggaraan ospek. Bentak-bentakan? Oh, ada, dudes. Di setiap ospek pasti ada. Tapi, aku don’t-give-a-sh*t sama yang itu karena well, ngapain dipikirin. Ketika 9000 lebih maba digiring ke kluster masing-masing, para panitia menyuruh lari. Bayangkan, sambil memegangi caping biar nggak lepas dan memakai rok panjang, aku lari dari GSP ke Fakultas Teknik. Jika kau bertanya-tanya sejauh apa, silahkan main ke UGM. Cobalah lari dari pintu barat GSP menuju ke Fakultas Teknik.

Halo, calon maba UGM dan maba UGM yang tidak bisa menahan kekepoannya untuk search tentang PPSMB, aku akan cerita sedikit. Jadi, ospek terbagi menjadi dua: ospek di universitas dan ospek di fakultas. Kau akan bertemu teman-teman dari fakultas lain ketika mengikuti ospek universitas (namanya Palapa, lebih simplenya) dan dibagi gugus, kluster, dan kelompok. Kali ini aku mendapat kluster Teknik (meskipun aku anak Biologi), gugus Wreksodiningrat (beliau adalah pendiri fakultas Teknik UGM), dan kelompok Ngawen. Setelah melalui berbulan-bulan masa liburan, biasanya bangun siang dan nganggur, selama persiapan ospek aku berangkat pagi, pulang malam, dan banyak tugas. Dari pagi sampai sore ada acara kumpul bersama pemandu dan teman-teman kelompok, malamnya menekuri tugas. Sebenarnya, untuk tugas Palapa tidak banyak, tapi untuk tugas ospek fakultas banyak sekali. Rekor tidur terbaruku tidur jam dua malam bangun jam empat pagi. Sialnya, itu membuatku ngantuk saat seminar. Padahal, pembicara-pembicara yang diundang adalah pembicara yang ketje-ketje, tapi seolah troll gunung menggantung di kelopak mata, mataku tidak bisa menahan untuk tidak terlelap.

Hari pertama adalah upacara pembukaan dan hal yang spektakuler dari hari pertama adalah penampilan marching band UGM dengan aransemen bak nonton orkestra dan tarian, tiba-tiba pesawat kecil melayang memutari GSP dan di ekor pesawatnya ada spanduk “Selamat Datang Calon Pemimpin Bangsa”. Ah, itu ketje sekali. Panitia Palapa benar-benar brilian. 

Hari kedua adalah Parade Nusantara, setelah sebelumnya 9000 lebih maba turun ke Jalan Kaliurang sambil membentangkan poster. Itu adalah hal yang nekat tapi brilian.


Astaga, kau harus merasakan sendiri ospek di UGM, dudes, karena ternyata kalau dipikir-pikir ospeknya seru juga meskipun harus lembur ngerjain tugas. Serius. Tapi, aku tidak mau ikut ospek lagi meskipun disumpal pakai tiket masuk The Wizarding World of Harry Potter. Tidak, terima kasih banyak. 

 ***

Beidewei, aku sudah mencicipi rasanya keliling pakai sepeda kampus dan nongkrong di perpus. Dan, ngomong-ngomong desain Gedung Pusat UGM ketje sekali, aku baru sadar. 

***

Sempat mengalami culture-shock juga. Biasanya mendengar orang pakai ‘kanan-kiri-samping-belakang-depan’ untuk menunjukkan arah dan ‘gue-lo’ dalam percakapan, di JOG orang-orang memakai ‘utara-barat-selatan-timur’ untuk menunjukkan arah dan ‘aku-kamu’ dalam percakapan. Jadi, rada geli juga mendengar cowok pakai ‘aku-kamu’.

***

Buat para calon maba UGM, jika kau kebetulan membaca ini, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari ospek UGM. Kau akan menikmatinya bersama teman-teman barumu dari berbagai daerah di Indonesia.

***


Salam caping, sob

Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Um, tugas ospek, eh, PPSMB, maksudnya. Dikarenakan sinyal internet yang payah, aipet hanya bisa dipakai main game—itu juga dikuasai Lil. Jadi, ada sedikit kekhawatiran ketinggalan informasi ospek (oke, kurasa aku akan menyebut ospek saja karena um, lebih singkat?). Kalau kau tidak mau dibilang kudet, setidaknya kau memiliki akses internet—di hape, atau di dekat tempat tinggal ada warnet. Serius, ketinggalan satu informasi, kau akan ketinggalan informasi-informasi lainnya. Aku bersyukur panitia ospek bikin website khusus.

Setelah mengetahui tugas dan atribut ospek, aku jadi lega. Iya, lega. Karena imajinasiku yang payah mengenai tugas ospek hilang sudah. Kirain bakal disuruh bawa makanan dengan nama-nama aneh, ternyata bikin nametag dan bawa caping. Iya, caping.

Oke, tadinya aku mau mengeluh karena pasti bakal dikerjain senior pakai-pakai caping. Dan betapa baik hatinya para panitia ospek karena membubuhkan keterangan bahwa caping adalah bentuk penghormatan kepada petani Indonesia dan dengan membeli caping, maka turut berkontribusi bagi pengrajin caping. Jika kau tidak bisa menahan kekepoanmu, silahkan cek ini. Setelah itu, aku tidak jadi mengeluh. Nah, begitu dong. Seharusnya panitia ospek memberikan keterangan logis kenapa maba harus bawa ini-itu.

Aku bersyukur mBah-mBahku tinggal di Solo, dan pencarian caping akan terasa mudah. Caping berhasil didapat di Pasar Gede Solo. Lalu, ketika ke rumah mBah, semuanya langsung mendiskusikan caping—ternyata zaman dulu caping-caping yang dibuat kualitasnya bagus. Astaga, betapa masyarakat zaman dulu amat sangat menghargai caping.

Mind-blowing

Kuakui aku tidak dapat menahan kekepoanku tentang ospek, eh, PPSMB (oke, mendingan 'ospek' saja karena lebih mudah diucapkan). Aku mengandalkan Google (orang-orang yang menciptakan Google benar-benar jenius!) untuk mencari apa saja mengenai ospek. Ada foto mengenai sekumpulan maba yang tersenyum ke arah kamera beserta kakak pembimbing ospek, dan ada para blogger yang berbaik hati untuk membagi pengalamannya. Well, kesimpulan yang kudapat setelah membaca tulisan-tulisan itu: ospek, eh, PPSMB itu menyenangkan meskipun harus pulang malam karena mengerjakan setumpuk tugas macam bikin nametag, topi, dst dsb dll atribut khas ospek.

Oke.

Jadi, aku harus bagaimana? Haruskah aku menghela napas lega karena tidak perlu ada hal yang harus dikhawatirkan? Atau haruskah aku khawatir karena takut tidak bisa menjadi peserta ospek yang, um, normal? Normal dalam arti: ikuti saja peraturan tanpa ada keluhan sedikit pun. Aku tipe orang yang tidak bisa memosisikan diri terhadap suatu kegiatan yang melibatkan orang banyak, misal: ketika sekolah ada acara semacam pensi, meskipun acara belum selesai, aku akan merengek minta pulang. Serius. Dan untungnya, teman-temanku yang sama gilanya denganku akan mendukung. Setelah itu kami berjalan bersama-sama ke gerbang sekolah untuk pulang ke rumah masing-masing, dan jika satpam sekolah malah menghentikan, kami akan mengarang alasan agar berhasil mendapatkan surat izin. Sungguh, itu beneran terjadi. Aku akan rindu mereka, orang-orang yang harus dinobatkan sebagai "Yang Terasyik" di dunia.

Aku berharap nanti bertemu orang-orang yang sama asyik dan baik seperti teman-temanku di SMA. Untuk bisa survive, aku amat sangat memerlukan mereka.

Kuliah di kampus ini???

Aku merasa bagai liliput saat memandangi gedung-gedung megah di UGM. Megah? Iya, memang megah! Dan aku malah merasa seharusnya aku tidak berada di sana. Tapi, namaku tercetak di jadwal registrasi, di papan pengumuman lokasi tes TPA dan TOEFL. Dan begitu aku duduk di bangku nomor 039 tidak ada seorang pun yang tergopoh-gopoh menghampiriku untuk protes bahwa itu bangkunya. Jadi? Jadi, aku memang seharusnya berada di sana. Ah, emoticon apa yang tepat ya untuk mewakili perasaanku saat pertama kali melihat hasil SNMPTN? Kurasa emote ' :') ' tidaklah cukup.

Meskipun dalam satu tahun ada kesempatan main ke Jogja, tetap saja aku tidak hapal rute jalan. Kenapa? Ada dua alasan: (1) Setiap main ke Jogja biasanya hanya menghabiskan waktu kurang dari 24 jam jadi aku tidak bisa dengan mudahnya membayangkan ujung jalan ini-itu dan lewat mana kalau mau ke Malioboro atau Kraton (dan kemarin baru kusadari ternyata Kraton terletak di ujung jalan Malioboro!) dan (2) Kebiasaanku yang mudah terlelap di perjalanan (aku seketika terbangun begitu melintas di jalan Malioboro. Itu karena 'keajaiban' kecil yang dialami seseorang ketika sampai di tempat tujuan), jadi bagaimana aku bisa memperhatikan jalan?

Padahal setiap jalan berhubungan satu sama lain. Aku terus menerus mempertanyakan rute jalan ke Gramedia atau mall, karena tempat-tempat itu cukup penting untuk melarikan diri kalau lagi bete dengan kuliah. Oh, astaga. Aku akan menetap di kota yang ada Gramedia dan XXI-nya! Wah, akhir pekanku bakal lebih menyenangkan. Mungkin, kau bertanya-tanya kenapa aku memilih kuliah di Jogja? Ada tiga alasan: (1) Aku lumayan suka kotanya, meskipun lebih ramai daripada Solo. (2) Bahasa pengantarnya adalah bahasa Jawa. Salah satu cara untuk belajar suatu bahasa adalah dengan gaul langsung dengan penduduknya. (3) Di Jogja ada UGM. Oke, aku masih belum tahu kenapa aku naksir UGM. Bukan karena UGM menjadi PTN nomor satu di Indonesia. Jujur saja, bukan. Entahlah. Aku sudah mempunyai keinginan mau lanjut ke UGM sejak SMP, dan ketika orang lain bingung mau kuliah di mana, aku sudah tahu pilihanku.

Ah, ngomong-ngomong, aku tidak sabar menjadi mahasiswa lama. Jadi maba itu nggak enak. Segalanya tampak asing dan butuh adaptasi. Serius.

Jadi, aku melewatkan Sabtu dengan memakai kebaya

Aku berharap aku cukup memakai toga. Meskipun sebenarnya itu bukan pesta kelulusan. Bayangkan, berangkat setelah Subuh ke salon di hari Sabtu—yang sebenarnya lebih pantas dilewatkan untuk malas-malasan—lalu berhadapan dengan segerombolan remaja 18 tahun yang antri untuk tampil cantik. Ternyata perkiraanku meleset. Jam lima Subuh saja sudah ramai. Aku bertanya-tanya dari jam berapa mereka antri. Kurasa, jumlah pegawai yang merias tidak seimbang dengan jumlah pelanggan. Aku melewatkan waktu di salon sampai jam delapan, sementara ada pawai jam tujuh (oh yeah, bisa kau bayangkan pawai sambil memakai kebaya?). Heran kan kenapa bisa tiga jam nongkrong di salon? Oh, itu karena ada beberapa orang yang datang siang malah dapat giliran duluan. Hei, ini kan hanya perpisahan, bukan pernikahan. 

Begitu sampai di sekolah, pawainya sudah selesai, tentu saja. Aku tak merasa bersalah tak ikut pawai. Ini kan hanya pawai. Kecuali kalau tidak ikut perpisahan. Mungkin aku tidak bisa tenang di rumah dan sibuk SMS menanyakan bagaimana keadaan di sekolah. Sepanjang acara, aku bertanya-tanya kapan saat yang tepat untuk melarikan diri. Karena well, memakai make up dan kebaya dan high heels itu tidak menyenangkan, tahu. Apalagi cuaca cerah. Matahari bersinar di mana-mana, suhu meningkat, dan kau bersusah payah menjaga agar make up-mu tidak luntur. Oh, setidaknya aku membawa pulang goodie bag berisi buku tahunan, pin, gelang, dan stiker angkatan. Tadinya aku mau menempelkan meme troll ke beberapa wajah yang, well, rada menyebalkan, tapi kurasa itu kejam jadi aku mengurungkan niatku. Lagipula, mungkin menyenangkan rasanya ketika beberapa tahun lagi membuka-buka buku itu lalu bernostalgia. 

Ada beberapa orang yang benar-benar berbeda dalam kebaya dan make up. Mungkin itu karena inner beauty yang akhirnya muncul? Entahlah.

Dan ketika aku akhirnya keluar melalui gerbang sekolah, Pa dan Ma langsung heboh memotretku. Lila? Oh, dia hanya duduk diam di mobil sambil memutar bola mata. Ketika sampai di rumah, aku baru sadar begitu banyak jarum yang disematkan untuk merias kerudungku. Dan aku bersyukur acara perpisahan hanya diadakan sehari, di hari Sabtu pula.

Lila pulang ketika kakak-kakak kelasnya UN dan dia menghabiskan waktu menonton 20 episode drama Korea. Astaga, aku tak menyangka ternyata dia tertarik begituan. Aku tak terlalu suka drama Korea, tapi kurasa drama yang ini lumayan seru karena tentang polisi dunia maya yang menggunakan kemampuannya dalam nge-hack untuk mencari seorang pembunuh. Judul drama-nya ‘Ghost’ atau ‘Phantom’ jika kau penasaran. Silahkan cari di Google.

Oke, jadi sekarang tinggal menunggu pengumuman UN. Ah, ngomong-ngomong tentang UN, aku mengeluhkan betapa kualitas kertas jawabannya jelek. Dan kalau tentang tingkat kesulitannya, oke, mari kita bahas topik lain saja, ya? Karena guruku bilang, UN yang sudah lewat tak usah diingat-ingat lagi. Jadi, aku melakukannya.

Postingan sebelum UN

Halo, aku kembali lagi setelah mengalami kebuntuan ide untuk memperkaya blog ini dengan postingan. Apa saja yang telah kulewatkan selain memaksakan diri untuk berkutat di depan setumpuk buku dan mencoba melahap berbagai materi yang ada? UN kurang dari sepuluh hari lagi, loh. Iya, aku tahu. Terus, apa salahnya aku nongol di dunia maya bukannya belajar? 

Well, ternyata menjadi kelas tiga itu menyenangkan. Entahlah, mungkin karena sebentar lagi aku akan menanggalkan seragam putih-abu, upacara setiap Senin, mata pelajaran yang wajib kupelajari walaupun tak ada minat sedikit pun, dan segelintir orang menyebalkan. Bayangkan, tak ada lagi paksaan diri untuk bangun pagi dan melakukan rutinitas yang monoton setiap hari (aku tidak yakin sebenarnya aku malas bangun pagi atau malas sekolah). Betapa aku amat sangat menginginkan jam berputar lebih cepat saat aku masih kelas satu dan dua, tapi di kelas tiga aku merasa biasa saja. Mungkin karena guru-gurunya kurang-lebih rajin masuk sehingga tak ada lagi berjam-jam ‘nongkrong’ di sekolah tanpa melakukan apapun (selain tidur, ngobrol, dan buka 9gag di hape, tentu saja). Jika kau mengalami ‘kelas kosong’ dan tiba-tiba gagasan untuk minta surat izin adalah hal paling brilian, ingatlah ini: selama-lamanya pesawat delay, pada akhirnya terbang juga. Selama-lamanya ‘nongkrong’ di sekolah, pada akhirnya pulang juga. Iya, itu namanya analogi. 

Aku sudah membuat rencana kegiatan setelah UN. Tapi, aku yakin pada akhirnya aku akan melewatkan waktu nganggur buat marathon DVD (oh yeah, mari kita lihat berapa banyak film bagus yang sudah rilis), melahap setumpuk novel, internetan, dan salah satu kegiatan paling sakral: tidur. Mungkin aku akan melewatkan waktu nganggur di tempat bimbel dengan membantai soal-soal SBMPTN juga. 

Oh well, kuharap ini cukup mengatasi rasa penasaranmu mengapa aku tak kunjung ngeblog lagi. Ciao!

Halo lagi, Senrup

Demi janggut Merlin, waktuku dihabiskan untuk berkutat dengan Senrup.



Itu adalah desain awal. Oh well, jujur saja, aku rada mengikuti desain rumah yang ada di internet. Tapi, menurutku hasilnya beda jauh. Karena minder begitu melihat desain-desain rumah yang lain (astaga, kenapa mereka bisa mendesain rumah semegah itu?), aku memutuskan untuk menggantinya.



Desain kedua. Ada yang berkomentar mirip gereja, bahkan... sekolah. Oke, padahal awalnya mau bikin rumah bertema kerajaan, lengkap dengan menara pengawas, parit untuk menghalau musuh, dan pintu gerbang besar tapi kurasa imajinasiku terlalu mainstream. Daripada tak ada gambar sama-sekali--karena sudah deadline, kuputuskan dengan pasrah untuk memakai desain ini. Ah ya, ngomong-ngomong nyadar nggak tiang penyangga di gambar sebelum diwarnai rada ganjil? Dan sialnya sudah ditimpa oleh drawing pen, jadi mana bisa dihapus. Jadi, aku hitamkan saja tiangnya.


Kenapa warna pink? Entahlah, aku tak bisa memastikan apakah ini karena seleraku yang buruk atau tak ada lagi pilihan warna kertas krep.

Seeeeeenin

Wow lihat, Senin akhirnya datang dan sekarang sudah jam 10.30 malam. Meskipun aku ngantuk dan lelah karena melewatkan 75% waktu berhargaku dengan duduk di bangku sambil bertopang dagu menunggu waktu pulang, kupaksakan untuk mengetik ini. Hei, padahal aku ingin waktu tidur tambahan saat bangun tadi, tapi sekarang aku malah duduk menekuri layar laptop dan tidak merasa cukup lelah untuk tidur sekarang. Awas saja kalau besok ketika bangun, mata masih minta tidur lagi.

Setidaknya hari ini tak ada Dementor yang cari perhatian biar di-Patronus, atau troll gunung bodoh yang ingin hidungnya dicolok tongkat, atau monster-monster egomaniak yang ingin hidupnya berakhir di Tartarus. Well, jujur saja aku lebih memilih menghadapi mereka daripada menekuri setumpuk tugas. Oh tidak, aku hanya bercanda. Aku lebih memilih liburan, ya, tentu saja!

Aloha, lagi!

Mari kita mulai di suatu hari Jumat terakhir dalam minggu liburan semester dua (ga yakin waktu yang berlalu kelewat cepat atau durasi liburannya sedikit). Jadi, aku mengetik ini sambil mendengarkan lagu A Thousand Years Part 2. Galau? Entahlah. Tapi menurutku, lagu-lagu galau lebih enak diperdengarkan pada malam hari. Tak percaya? Kusarankan kau melirik playlistmu atau putar radiomu. 

Aku belum menonton Breaking Dawn Part 2 dan kurasa, aku tidak memiliki ketertarikan khusus dengan film itu. Well yeah meskipun aku sudah membaca semua bukunya. Jangan menuduh macam-macam dulu, itu disebabkan karena rasa penasaran semata. Dan aku baru menyadari ternyata cerita itu cengeng sekali. Bella yang galau sampai buku akhir (aku tidak ingat bagian saat Bella tertawa), Edward yang kelewat sempurna (aku tidak membencinya tapi aku tidak bilang aku menyukainya) tapi rada creepy (bayangkan dia mengikutimu, memanjat jendela kamarmu, lalu memandangimu tidur). Aku lebih suka Harry Potter. Aku tahu A Thousand Years dari rasa kepo untuk membuka music video-nya dan oke, itu lumayan juga. 

Abaikan euforia saat pemutaran perdana filmnya. Sementara mereka sibuk memperebutkan kursi bioskop, dengan mudahnya Pa mendapatkan tiga tiket Skyfall. Peduli amat dengan ‘Cupu kalau belum nonton Breaking Dawn Part 2.’ Jika rencana nonton Skyfall gagal, aku tak bakal ketemu Q (iya, dia cakep!). Breaking Dawn Part 2 masih nangkring di jadwal film, sementara aku nonton Life of Pi (aku bersumpah akan beli DVD-nya nanti). 

Ah ya, Senin sudah di depan mata dan aku tidak mau menyibukkan diri untuk menyiapkan segala tetek bengek sekolah. Beberapa bulan lagi ujian? *kibas-kibas tangan* Mari fokus ke makalah dulu. Oh hei, nyadar nggak sih ‘makalah’ berima dengan ‘masalah’? Itulah poin pentingnya. Makalah menjadi masalah jika dijadikan nomor terakhir dalam daftar skala prioritas. Astaga, apa yang sudah kulakukan beberapa bulan terakhir ini? *menghela napas frustasi* 

Oh well, setidaknya Mr. U tidak mengungkit-ungkitnya setelah ulum berakhir. Aku tidak yakin itu karena beliau lupa atau sengaja menguji rasa tanggung jawab murid-muridnya. Tapi, *merentangkan tangan dengan putus asa* lihatlah makalahku yang baru memulai hidupnya kembali di bab tiga. Aku berkiblat pada teman-temanku: jika mereka menggarap makalah, aku juga menggarap makalah, atau, jika mereka belum menggarap makalah, aku juga belum menggarap makalah. Kau nggak bakal percaya sikap para cowok yang santai main game online tanpa memikirkan makalah apalagi ujian akhir. Astaga, demi janggut Merlin, kok bisa sih? 

Hal yang membuatku khawatir di semester dua selain sebentar lagi ujian, ya itu dia, makalah. Belum lagi menghadapi sidang makalah. Apalagi aku sendirian. Oh yeah, sendirian. Bayangkan rasanya berdiri di depan, mempresentasikan hasil kerjamu, dipelototi banyak orang, dan ditanya pertanyaan-pertanyaan yang tujuannya menjatuhkan reputasi oleh segelintir orang yang kelewat kritis. Tak bisakah mereka duduk diam sambil manggut-manggut lalu tepuk tangan begitu si penyaji selesai? 

Lupakan masalah sekolah. Mendingan mengingat-ingat liburan. Ah ya, aku rada berharap jadi penduduk Dieng. Meskipun airnya sedingin es (dan aku khawatir jika nekat keramas bisa-bisa kena hipotermia), tapi temperaturnya sejuk, tak ada suara berisik motor-motor berknalpot besar, suara anak-anak main bola, dan debu yang menimbulkan jerawat. Malam hari memang dingin, dan aku tidur berlapis selimut dobel. Tapi, siang harinya tidak terlalu, maksudku panasnya biasa—tidak menyengat—dan tidak dingin-dingin amat. Kalau orang-orang kota mungkin jogging ke taman, di Dieng jogging ke gunung sambil terpana memandangi semburat jingga di garis horizon (tiba-tiba aku teringat tugas perspektif). Lebih nyaman memakai sepatu kets karena kau mesti melalui perjalanan yang cukup sulit. Apalagi jika tanahnya licin karena hujan. Hati-hati saja bisa-bisa kau salah mendaratkan dirimu. Kusarankan jika kau ingin bunuh diri, Dieng juga tempat yang lumayan indah sebelum kau menutup mata untuk terakhir kalinya (jangan khawatir, aku hanya bercanda). 

Jika kau mengikuti kelas Sejarah dengan cukup baik, mungkin kau mengenal nama-nama manusia purba sebelum Homo sapiens. Demi hippogriff nyengir, Mrs. Y pasti terpana mendengar ceritaku mengunjungi Museum Sangiran. Ah ya, di sini kau bisa melihat berbagai macam fosil manusia dan hewan-hewan purba. Diorama tentang masa-masa perburuan makanan juga ada. Bayangkan manusia-manusia purba mengejar seekor rusa dengan batu tajam dan tidak secarik kain pun melekat di kulit mereka. Brilian. Mungkin Mrs. Y akan semakin terpana jika diceritakan perjalanan menyusuri jejak raja-raja Mataram, mengunjungi Masjid Agung Demak, dan jalan-jalan di kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon. Oh well, jika aku masih mengikuti kelasnya Mrs. Y, beliau harus memberiku nilai lebih (sayangnya di kelas tiga gurunya ganti). Oke, aku hanya bercanda. 

Saatnya kembali ke tempat asal. Menghadapi semester dua yang bakal penuh perjuangan. Selamat tinggal liburan. Dan ngomong-ngomong, aku rela mengorbankan apa saja asal bisa secara permanen menetap di Solo atau Jogja.