Powered by Blogger.

Chill out post #1

Tahukah kau bahwa pria dan wanita memiliki perbedaan kemampuan mata dalam melihat? Mata wanita lebih unggul dalam membedakan warna, sedangkan mata pria lebih baik dalam melacak objek yang bergerak cepat. Silahkan ke sini untuk penjelasannya.

Setelah baca, muncul kesimpulan di dalam benakku. Well, kalau begitu, itulah alasan kenapa buta warna lebih banyak ditemukan pada pria daripada wanita. Itulah kenapa di kelas Olahraga saat main bola, para cowok langsung bisa menangkap bola yang datang dari jarak jauh sedangkan para cewek kadang kebablasan bola, meskipun bolanya datang secara perlahan.

Hei, apakah kesimpulanku benar?

Pasang-surut gelombang kelas 12

Aku masih curiga kenapa di kelas 12 para guru tak pernah absen (kecuali kalau mereka memang ada urusan penting yang membuat mereka harus meninggalkan para anak didiknya—bukan karena alasan macam ‘mereka-kan-bisa-belajar-sendiri-toh-tanpa-dijelaskan-mereka-sudah-ngerti-kok’). Menurutku itu lebih baik daripada duduk merosot di bangku—sudah merosot, nganggur pula. Hipotesisku saat ini karena karakter para guru kelas 12 yang sangat berbeda, atau karena mereka sedang bertatap muka dengan para calon mahasiswa yang dalam beberapa bulan ke depan bakal menghadapi UN. 

Kelas Matematika sekarang lebih berkualitas daripada waktu kelas 10 dan 11, menurutku, karena Mr. D tak pernah absen untuk meninggalkan catatan PR. Di pertemuan berikutnya, soal-soal itu dibahas lalu dalam sekejap beliau telah membahas materi berikutnya. Bukuku langsung penuh angka. 

Aku ketemu lagi dengan redoks di kelas Kimia. Demi hippogriff nyengir, rasanya seperti baru pertama kali bertemu. Kurasa aku sedang berada di Hogwarts ketika pembahasan redoks di kelas 10. Atau lupa, ya? Jauh di dalam hati aku menyukai Kimia, tapi begitu berhadapan dengan soal, rasanya hati dan pikiran tak bisa bersatu. Kenapa contoh soal selalu berhasil diselesaikan dalam sekejap, sih?

Let’s talk about Bahasa Indonesia, shall we? Aku ganti jurusan jadi Biologi—yes man, kau nggak salah baca dan (semoga!) aku nggak salah pilih—dan sampai sekarang aku belum menetapkan topik yang bakal diangkat. Punya saran, barangkali? Selain itu ada tugas persentasi kelompok dan aku memilih ‘artikel’ sebagai materi. Whoa, menyampaikan materi di depan kelas, betapa menantang. To be honest, programnya Mr. U bagus. Tapi, well, dasar manusia diprogram untuk merasakan kemalasan, aku jadi tersaruk-saruk mengerjakannya. Di persentasi itu kelompokku bakal menjelaskan pengertian artikel, jenis-jenis, tahap penulisan, menentukan permasalahan, menentukan ide pokok, dan merangkum artikel. Astaga, demi janggut Merlin, biasanya aku cuma membaca sebuah artikel tanpa ada suatu pemikiran untuk menemukan ide pokoknya atau merangkumnya atau menentukan jenis artikel apa itu. Serius. 

Ngomong-ngomong tentang tugas kelompok, aku tak habis pikir dengan dua posisi yang selalu kudapat: aku menjadi seorang anggota kelompok tapi tetap saja merasa invisible karena ada those-smart-ass-kids yang selalu siaga, atau aku yang mengorbankan diri untuk mengerjakan tugasnya sementara anggota lain tinggal menerima hasil. Keduanya sama-sama tidak menyenangkan. Aku berharap bisa bekerja dengan orang-orang yang demokratis. Semoga nanti di almamater baru aku bisa bertemu dengan mereka. 

Masih ingat dengan SenRup? Oh yeah, FYI, aku dipertemukan dengannya lagi. Entah karena serendipity atau destiny. Alih-alih seorang arsitek, tugas-tugasnya merancang suatu bangun benda perspektif dengan bantuan garis yang silang-menyilang. Aku tidak bilang bahwa aku bisa membuatnya dengan sempurna.

Sulit untuk menenangkan pikiran, karena begitu ketemu dengan waktu-luang, otak langsung mendikte tugas-tugas yang mesti diselesaikan dan materi pelajaran yang belum dikuasai.

Hi September!

Tanggal 1 September. Hari Sabtu. Aku mendekam di sekolah, duduk sendiri mengetik ini sementara tak ada guru menampakkan batang hidungnya di kelas. Kesalahan fatal. Andai aku tahu aku bakal nganggur, seharusnya aku menjejalkan The Golden Compass ke dalam ransel lalu melahapnya bersama Lyra Belacqua dan Pantalaimon. Well, aku tahu itu novel lama. Tapi kurasa takdir yang mempertemukan kami di antara tumpukan buku dengan harga menggiurkan. Astaga, aku masih tak percaya ada toko yang diam-diam menyimpan novel lamanya Neil Gaiman, Eva Ibbotson, Enid Blyton, atau Roald Dahl lalu menjualnya dengan harga yang jauh lebih murah. Jadi, aku berharap semoga ada dua buku lanjutan dari The Golden Compass.

Ngomong-ngomong tentang 1 September, seharusnya aku sedang menunggu Hogwarts Express di stasiun King Cross.

***

 ...poor me.