Powered by Blogger.

Her Eyes


Kedua matanya hitam. Bulat. Tajam. Cerdas.

Ada pelangi di dalamnya.

Sukses membuatku jatuh cinta.

Tiba-tiba kotak memori terbuka. Hujan turun di sore itu. Toko buku menjadi tempat berteduh. Tak tahan menunggu hujan reda tanpa melakukan apa-apa, kulangkahkan kaki menuju deretan rak favoritku. Buku-buku fantasi. Aku selalu berusaha menyediakan waktu untuk menjelajah di setiap lembarannya. Kutelusuri mataku di antara puluhan judul buku. Aku sudah membacanya. Itu juga sudah. Ini baru kemarin selesai dibaca. Satu judul berhasil menarik perhatian, jadi kuambil buku itu lalu kubaca sinopsis yang tertera di cover belakang. Nah, ini dia ada yang segel plastiknya terbuka. Kulahap beberapa kalimat di bab satu. Ah, kurang seru. Kukembalikan ke rak lalu mencari buku lain.

Tangan lain terulur mengambilnya. Kupalingkan pandangan dan dia berdiri di sebelahku sambil membaca sinopsis buku tadi. Sama seperti yang kulakukan, dia mencoba melahap bab satu. Pandangan matanya tajam menelusuri kalimat-kalimat yang tercetak.

Astaga, matanya.

Seolah pelangi terefleksi di dalamnya.

Ya, aku jatuh cinta dengan kedua mata itu.

Salah? Kurasa tidak.

Menyadari tatapan berlebihanku, dia menoleh. Tapi, aku tidak. Aku malah memandangi lekat-lekat kedua matanya—seolah takut untuk tidak melihatnya lagi. Dia menatapku selama sepersekian detik lalu tiba-tiba tersenyum. Senyum yang membuat matanya semakin indah. Meskipun hanya senyum kecil sambil lalu, kubalas dengan senyum yang lebih lebar. Bukan apa-apa, aku hanya senang.

Dia menaruh buku itu lalu berjalan ke rak lain. Aku tetap di tempat sementara kupu-kupu menari di dalam perutku.

Bagus. Sekarang tinggal putar soundtrack yang tepat untuk mewakili perasaanku. Kemudian aku akan berjalan menghampirinya untuk berkenalan lalu malam nanti aku tinggal memimpikannya. Lalu tiba-tiba suatu hari aku dan dia menjalin hubungan spesial. Mudah sekali dalam satu jentikan jari.

Dia masih memilih-milih buku. Aku berani bertaruh dia tidak datang sendiri. Mana ada cewek seperti dia tahan menahan gengsi untuk jalan-jalan sendirian?

Menyadari hujan sudah reda, dia meninggalkan rak lalu berjalan keluar dari toko buku. Dugaanku salah. Dia datang sendirian. Jujur saja, itu bagus. Setidaknya dia tidak datang bersama seorang cowok. Aku tidak mengikutinya. Aku tetap diam di tempat. Kedua mata itu tidak akan berpandangan lagi dengan mataku. Selama beberapa menit aku melamun dan tidak sadar sedang memandangi seorang petugas yang sedang membereskan buku. Aku mengangkat bahu lalu mengambil buku tadi, melanjutkan melahap rangkaian-rangkaian kalimat selanjutnya.

***

Kulahap lembaran baru sebelum pergi. Sudah dua kali kuhabiskan buku itu. Jalan ceritanya kurang seru, tapi aku tetap menikmatinya. Ya, karena hanya buku itu yang bisa menahan kotak memoriku terus terbuka. Aku selalu membawanya alih-alih sebuah horcrux—kepingan jiwa—seolah takut buku itu hilang dan aku tidak bisa menemukannya. Matahari menyengat kulit. Toko buku tampak sepi, hanya ada beberapa pengunjung.

Tebakan bagus dan tepat. Memang aku tidak pernah melewatkan satu hari tanpa berjalan melewati toko buku. Kupelankan langkah lalu kuedarkan pandangan, mencari dia. Menggantung harapan bahwa kami akan bertemu lagi. Aku tahu ini terkesan berlebihan, tapi aku tidak akan melepasnya lagi jika bertemu. Sambil berusaha menelan kenyataan bahwa dia tidak datang, aku mempercepat langkah lagi.

***

Setelah kurang lebih delapan kali menghabiskan buku pertama, aku berencana untuk membeli buku kedua. Ah, aku baru tahu ternyata buku itu adalah trilogi. Kucari judul buku kedua di antara puluhan judul buku yang ada.

Ini dia.

Aku sudah dua kali bilang bahwa jalan ceritanya kurang seru. Tapi apa peduliku jika buku kedua ini bisa terus menahan kotak memoriku terbuka? Masih cerita tentang dia, tentu saja. Dengan cepat kubawa buku itu ke kasir lalu kutinggalkan toko buku. Aku masih tidak menemukannya.

***

Kotak memoriku tidak mau menutup. Itu berlebihan mengingat aku jatuh cinta setengah mati dengan dua mata milik seseorang yang bahkan tidak kukenal. Pertemuan sore itu seperti peluang yang tidak pernah muncul. Mungkin aku sedang berhasil menarik undian yang tepat. Dengan cepat memori itu berputar lagi. Hujan di suatu sore, berteduh di dalam toko buku, menemukan sebuah buku yang jalan ceritanya kurang menarik, lalu kami bertemu. Senyumnya masih kuingat, memori yang selalu fresh. Konyol sekali seperti dia ingat saja denganku.

Hujan mendadak turun dan entah telah direncanakan dengan sempurna atau bukan, kebetulan aku sedang berjalan di depan toko buku saat tetes-tetes kecil air menerpa wajah. Aku masuk ke dalam lalu melangkah menuju tempat favorit. Dasar nasib. Aku harus cepat-cepat sampai di rumah. Payah benar aku berani meninggalkan buku kedua.

Aku asal mengambil buku yang segel plastiknya terbuka sebelum aku melihat buku ketiga. Ya, buku ketiga-nya sudah terbit. Dengan cepat kuambil buku ketiga dan kukembalikan buku sebelumnya. Ini dia akhir ceritanya. Aku berani bertaruh bahwa si penulis membuat tokoh utamanya bernasib mujur lalu hidup bahagia. Kubuka lembar terakhir lalu kubaca dengan perlahan. Nah, si tokoh utama aman, bebas dari masalah, lalu bisa hidup bahagia. Aku mengangguk seiring mataku menelusuri kata ‘TAMAT’.

Ya, akhir dari trilogi buku itu. Akhir dari usahaku yang baru saja kusadari bahwa itu hanya sia-sia. Akhir yang bermakna aku tidak akan pernah bertemu dia lagi. Kukembalikan buku itu ke rak. Kukepalkan kedua tangan. Aku baru saja akan melangkah menuju rak lain ketika kulihat tangan lain terulur mengambil buku itu.

Aku terpaku. Ragu-ragu untuk segera menoleh. Takut kecewa bahwa ternyata bukan dia yang mengambil buku itu. Dengan perlahan aku menoleh.

Dia.

Bibirnya tertarik membentuk senyuman. Masih sama. Kedua matanya juga.

“Hai,” sapanya ramah.

No comments

Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)