Powered by Blogger.

Senrup? Done!

Perspektif.

Pada akhirnya dikumpulkan juga.

Minggu ini dihabiskan dengan menekuri garis yang silang-menyilang. Astaga, demi troll jogging, ternyata mudah kalau ngerti.

Beruntung?

Persaingan di kelasku cukup sulit. Setidaknya menurutku. Kau tidak akan menyangka ketika pertama kali bertemu anak-anak di kelasku. Mereka tampak biasa saja, pelajar yang sampai di sekolah tepat waktu lalu langsung pulang ke rumah ketika sekolah berakhir. Begitu hasil ulangan dibagikan dan peringkat rapor diumumkan, ekspetasimu selama ini ternyata salah. Dan itu bakal membuatmu minder. Oh yeah, karena aku merasakannya.

Entahlah alasannya kenapa aku merasa amat sangat tersaingi ketika sedang bertempur menghadapi soal-soal ulangan. Sementara mereka duduk tenang di bangku, menggoreskan pensil mereka, aku malah mengetuk-ngetukkan pensil ke meja dengan gelisah, antara memikirkan soal-soal yang tidak berhasil kutaklukan dan bahwa mereka berhasil unggul lagi nanti sehari sebelum liburan semester dimulai. Hal yang membuatku heran adalah, oke mereka memang lebih unggul, tapi kenapa ketika guru selesai menerangkan materi dan membuka sesi tanya jawab, mereka hanya bergeming? Dan kenapa mereka lebih bersemangat membicarakan kemenangan tim bola kebanggannya?

Tentu saja ada anak-anak lain yang lebih unggul dari mereka, memenangkan olimpiade dan mengharumkan nama sekolah dan jauh lebih kritis dalam mengajukan pertanyaan. Jika aku sekelas dengan mereka, mungkin aku tidak bakal merasakan atmosfer persaingan mengingat aku sudah mengetahui bahwa mereka memang lebih unggul. Itu artinya tak ada yang perlu dikhawatirkan. Meskipun mereka tiba-tiba mereplikasi diri, aku masih bisa menerimanya.

Setiap hari aku memikirkan pola belajar anak-anak yang lebih unggul itu. Bagaimana caranya mereka tetap fokus belajar sementara pertandingan tim bola kebanggaan mereka sedang ditayangkan di layar kaca? Bagaimana caranya mereka bisa menaklukan soal-soal rumit tapi tetap nyambung jika diajak ngobrol tentang politik? Kapan mereka punya waktu untuk mencari topik-topik hangat permasalahan dunia sementara ada bertumpuk buku pelajaran yang harus dibaca?

Kau pernah ditanyai seseorang yang nyontek PR-mu dari mana kau bisa mendapatkan angka sekian misalnya (demi janggut Merlin, ternyata dia tukang nyontek yang kritis sekali), atau ketika ulangan seseorang meminta jawabanmu tapi begitu kau melihat hasil ulangannya, nilaimu lebih kecil daripada nilai seseorang yang minta jawabanmu tadi? Aku pernah mengalaminya dan jujur saja, itu menyakitkan dan amat sangat tidak adil. Ada apa ini? Hukum alam apa yang berlaku?

Ketika seseorang itu bertanya lagi tentang bagaimana menyelesaikan soal nomor sekian kepadaku, aku seolah ingin menjerit frustasi tepat ke mukanya, "Kenapa kau bertanya padaku? Harusnya aku yang bertanya padamu." Oke, kuakui itu... menyedihkan.

Entahlah. Aku tidak yakin pada akhirnya keberuntungan akan berpihak ke siapa. Aku pernah mendengar cerita tentang dua orang yang bersaing dalam SNMPTN. Yang satu pintar, yang satu lagi biasa saja. Tapi yang biasa saja berhasil mendapatkan PTN idamannya, sementara yang pintar malah gagal. Ada beberapa kemungkinan kenapa bisa begitu. Pertama, yang biasa saja justru mempunyai motivasi yang lebih kuat untuk belajar daripada yang pintar sehingga dia bisa lulus, kedua, yang pintar tidak tahu bahwa ada kesalahan teknis bisa karena pensilnya ternyata 2B palsu atau melingkari jawabannya salah, dan ketiga, keberuntungan. Yang biasa saja berhasil menarik nomor undian yang benar dari dalam kotak.

Aku lebih memilih menjadi yang lebih beruntung daripada yang lebih pintar.

Apakah keberuntungan juga yang memihak mereka?

So far...

Berasa mesin waktu itu benar-benar ada. Maksudku, besok hari Rabu, lagi. Wah, ada yang salah dengan waktu? Atau ini hanya aku yang sedang terlena
dengan tumpukan tugas yang meraung minta segera dikerjakan ?

Buku tulis Matematika-ku tinggal beberapa lembar lagi. Ya. Terus. Kenapa. Soalnya bab Integral mendapat porsi banyak.

Proyek makalah belum digarap. Dapat sumber-sumber pustakanya saja belum. Oh, ampuni aku, Sir.

Berbahagialah bagi mereka yang berencana untuk lanjut ke jurusan arsitektur, dan entah mengapa mereka yang calon arsitek dengan mudahnya bisa menyelesaikan tugas Senrup tanpa menimbulkan permasalahan baru. Sementara aku sibuk menghabiskan sepotong penghapus, mereka telah menghasilkan garis-garis baru yang silang-menyilang-memusingkan.

Aku tidak bilang ini mudah.


Gambar perspektif, istilah kerennya.

Ah ya, dan aku masih bertanya-tanya kenapa postingan tentang proyek Senrup waktu kelas satu paling banyak dibaca.

UTS minggu depan. Semoga soal nomor satu bisa kujawab.

Chill out post #1

Tahukah kau bahwa pria dan wanita memiliki perbedaan kemampuan mata dalam melihat? Mata wanita lebih unggul dalam membedakan warna, sedangkan mata pria lebih baik dalam melacak objek yang bergerak cepat. Silahkan ke sini untuk penjelasannya.

Setelah baca, muncul kesimpulan di dalam benakku. Well, kalau begitu, itulah alasan kenapa buta warna lebih banyak ditemukan pada pria daripada wanita. Itulah kenapa di kelas Olahraga saat main bola, para cowok langsung bisa menangkap bola yang datang dari jarak jauh sedangkan para cewek kadang kebablasan bola, meskipun bolanya datang secara perlahan.

Hei, apakah kesimpulanku benar?

Pasang-surut gelombang kelas 12

Aku masih curiga kenapa di kelas 12 para guru tak pernah absen (kecuali kalau mereka memang ada urusan penting yang membuat mereka harus meninggalkan para anak didiknya—bukan karena alasan macam ‘mereka-kan-bisa-belajar-sendiri-toh-tanpa-dijelaskan-mereka-sudah-ngerti-kok’). Menurutku itu lebih baik daripada duduk merosot di bangku—sudah merosot, nganggur pula. Hipotesisku saat ini karena karakter para guru kelas 12 yang sangat berbeda, atau karena mereka sedang bertatap muka dengan para calon mahasiswa yang dalam beberapa bulan ke depan bakal menghadapi UN. 

Kelas Matematika sekarang lebih berkualitas daripada waktu kelas 10 dan 11, menurutku, karena Mr. D tak pernah absen untuk meninggalkan catatan PR. Di pertemuan berikutnya, soal-soal itu dibahas lalu dalam sekejap beliau telah membahas materi berikutnya. Bukuku langsung penuh angka. 

Aku ketemu lagi dengan redoks di kelas Kimia. Demi hippogriff nyengir, rasanya seperti baru pertama kali bertemu. Kurasa aku sedang berada di Hogwarts ketika pembahasan redoks di kelas 10. Atau lupa, ya? Jauh di dalam hati aku menyukai Kimia, tapi begitu berhadapan dengan soal, rasanya hati dan pikiran tak bisa bersatu. Kenapa contoh soal selalu berhasil diselesaikan dalam sekejap, sih?

Let’s talk about Bahasa Indonesia, shall we? Aku ganti jurusan jadi Biologi—yes man, kau nggak salah baca dan (semoga!) aku nggak salah pilih—dan sampai sekarang aku belum menetapkan topik yang bakal diangkat. Punya saran, barangkali? Selain itu ada tugas persentasi kelompok dan aku memilih ‘artikel’ sebagai materi. Whoa, menyampaikan materi di depan kelas, betapa menantang. To be honest, programnya Mr. U bagus. Tapi, well, dasar manusia diprogram untuk merasakan kemalasan, aku jadi tersaruk-saruk mengerjakannya. Di persentasi itu kelompokku bakal menjelaskan pengertian artikel, jenis-jenis, tahap penulisan, menentukan permasalahan, menentukan ide pokok, dan merangkum artikel. Astaga, demi janggut Merlin, biasanya aku cuma membaca sebuah artikel tanpa ada suatu pemikiran untuk menemukan ide pokoknya atau merangkumnya atau menentukan jenis artikel apa itu. Serius. 

Ngomong-ngomong tentang tugas kelompok, aku tak habis pikir dengan dua posisi yang selalu kudapat: aku menjadi seorang anggota kelompok tapi tetap saja merasa invisible karena ada those-smart-ass-kids yang selalu siaga, atau aku yang mengorbankan diri untuk mengerjakan tugasnya sementara anggota lain tinggal menerima hasil. Keduanya sama-sama tidak menyenangkan. Aku berharap bisa bekerja dengan orang-orang yang demokratis. Semoga nanti di almamater baru aku bisa bertemu dengan mereka. 

Masih ingat dengan SenRup? Oh yeah, FYI, aku dipertemukan dengannya lagi. Entah karena serendipity atau destiny. Alih-alih seorang arsitek, tugas-tugasnya merancang suatu bangun benda perspektif dengan bantuan garis yang silang-menyilang. Aku tidak bilang bahwa aku bisa membuatnya dengan sempurna.

Sulit untuk menenangkan pikiran, karena begitu ketemu dengan waktu-luang, otak langsung mendikte tugas-tugas yang mesti diselesaikan dan materi pelajaran yang belum dikuasai.

Hi September!

Tanggal 1 September. Hari Sabtu. Aku mendekam di sekolah, duduk sendiri mengetik ini sementara tak ada guru menampakkan batang hidungnya di kelas. Kesalahan fatal. Andai aku tahu aku bakal nganggur, seharusnya aku menjejalkan The Golden Compass ke dalam ransel lalu melahapnya bersama Lyra Belacqua dan Pantalaimon. Well, aku tahu itu novel lama. Tapi kurasa takdir yang mempertemukan kami di antara tumpukan buku dengan harga menggiurkan. Astaga, aku masih tak percaya ada toko yang diam-diam menyimpan novel lamanya Neil Gaiman, Eva Ibbotson, Enid Blyton, atau Roald Dahl lalu menjualnya dengan harga yang jauh lebih murah. Jadi, aku berharap semoga ada dua buku lanjutan dari The Golden Compass.

Ngomong-ngomong tentang 1 September, seharusnya aku sedang menunggu Hogwarts Express di stasiun King Cross.

***

 ...poor me.

Level Baru, Tugas Baru

Masuk sekolah jam setengah delapan dan pulang jam satu itu benar-benar surga. Serius. Memang benar ya, "Ramadhan adalah bulan penuh rahmat". Satu hal yang masih menjadi misteri: kenapa para guru makin rajin masuk? Apakah ini karena beberapa bulan lagi bakal UN jadi para guru ngebut menyelesaikan materi? Atau apakah sebenarnya mereka bisa membaca pikiranku?

Itu bagus, jujur saja. Daripada bapuk di kelas, duduk diem di bangku sambil menyabarkan hati akan waktu yang berjalan lambat. Tugas makin lancar mengalir, akibatnya. Well, aku pernah baca tweet-nya @firstworldfacts bahwa orang-orang menjadi gembira ketika mereka sibuk, tapi mereka 'diprogram' untuk merasakan kemalasan. Entah karena keajaiban kata-kata yang barusan dibaca, aku jadi setuju dengan tweet itu. Menjadi sibuk memang menyenangkan, dan ketika kau berhasil menyelesaikan pekerjaanmu, ada rasa kebanggan dan kepuasan tersendiri—apalagi jika kau sedang move on.

Karena alasan "Kalian adalah calon sarjana" dan "Saya tidak mau kalian mengalami masalah penulisan skripsi saat kuliah nanti", karya tulis ilmiah kembali masuk daftar tugas. Kalau ada rating, bakal tak kasih lima bintang saking important-nya. Soalnya menyangkut hidup dan mati. Becanda. Soalnya, tugas itu bisa dijadikan latihan, siapa tahu nanti kuliah malah lebih berat. Jadi, bersyukur yang banyak saja.

Untungnya pulang jam satu, jadinya ngabuburit sambil nyari referensi di internet. Thanks God, orang-orang di internet baik hatinya tingkat Zeus.

Ngomong-ngomong, aku bakal bekerja sendiri, loh. Soalnya topik KTI-nya dibagi berdasarkan jurusan kuliah nanti. And yeah: kedokteran, arsitektur, farmasi, teknik industri, teknologi pangan, teknik kimia, ilmu gizi, manajemen, dan komunikasi masih menjadi jurusan favorit. Dan aku? Oke, sebenarnya aku tertarik sama Biologi dan Sastra. Untuk KTI aku pilih Sastra. I'm on my own way, murni keinginan sendiri, nggak ikut-ikutan orang lain. Fakta bahwa ada orang yang pilih jurusan kuliah karena ikut-ikutan orang lain belum bisa aku cerna. Kenapa harus berpantomim?

But anyway, wish me luck! Untungnya KTI hanya untuk di semester satu. Bersyukur lagi.

Fckyeah smartphone!

“Si A mana sih? BM ga dibales.” 
“Coba ditelpon aja.” 
“Nggak punya nomornya.” 

***

“Gue males bales SMS. Mahal soalnya.”

***

Via Twitter – “Lo di mana? Gue lagi ga ada pulsa.”

***

“Cie pake BB. Invite, dong!”

***

“Bete ih semalem BBM pending mulu.”

***

“Cepetan tuh mumpung jaringannya 3G!”

***

“Ih apaan sih nih orang di RU updet mulu!”

***

"Lo punya Instagram? Follow yang gue napa?"

***
“Liat PM-nya si A, deh.” 
“Mana? Di RU gue ga ada.” 
“Belum masuk kali?”

***

Via Twitter – “Sori dibajak sama @abcd.”

***

Via Twitter – “BM pending. Di sini aja ya?”

***

“Brosur kali, BM gue di-R doang.

***

Sounds familiar? Saat ponsel pintar dengan segudang aplikasi menggenggam dunia, semua orang rela mengeluarkan uangnya buat beli pulsa internet, sedangkan pulsa buat SMS dan nelpon nggak ada. Kontak seseorang yang penting ada di kontak chat, tapi nggak ada di kontak SIM card. Setiap berada di tempat umum, orang-orang melenggang atau duduk santai sambil pandangannya tertuju ke si ponsel pintar. Bahkan, aku pernah liat orang pacaran duduk nunggu makanan di restoran sambil masing-masing sibuk sama hapenya. Aku curiga jangan-jangan mereka ngobrol via chat.

My curiosity could kill the Panthera leo

Kenapa orang-orang populer (yang dikelilingi orang-orang yang sama populernya) malah pengen cepat-cepat sampai rumah dan meraung-raung menyesali berakhirnya liburan? Kukira mereka cinta sekolah. 

Kenapa para guru komplen saat murid-muridnya buang sampah dan menyelundupkan buku saat ulangan ke dalam kolong meja jika pihak sekolah bisa memesan meja tanpa kolong? Kuharap para tukang kayu tidak keberatan. 

Kenapa orang-orang bersikap maha-tahu bagaimana seharusnya seseorang menjalani hidup sedangkan mereka sendiri tidak terlalu ahli dalam menjalani hidup masing-masing? Kurasa mereka harus melepaskan tangannya dari setir kehidupan orang lain. 

Kenapa orang-orang repot-repot minta bantuan untuk mengambilkan sendok di seberang meja, misalnya, jika mereka bisa ngambil sendiri? Sayangnya, berkali-kali ‘Accio’ diucapkan, tetap saja sendoknya bergeming.

Kenapa orang-orang yang hobi nyontek capek-capek ikutan bimbel kalau pada akhirnya waktu ujian mereka nyontek? Sayangnya, para guru killer Hogwarts hanya tokoh fiksi.

***

…dan kenapa aku menanyakannya?

My imagination runs wild



Aku senang berada di Sea World (entah mengapa kalimat ini membuatku merasa seperti seorang anak umur tujuh tahun)—apalagi memandangi aquarium hiu dan berjalan menelusuri terowongan yang bisa membuat pengunjung menikmati kegiatan para biota laut. Tapi pikiran tentang aquarium-aquariumnya yang tiba-tiba pecah terus ikan-ikan raksasa karnivora langsung haus darah begitu menyadari daging-daging segar dan empuk jumpalitan panik di sekitar mereka (baca: manusia, dan ikan-ikan jinak), selalu menghantui. Mungkin karena adegan film tentang hiu berintelegensi tinggi yang berbalik menyerang manusia dengan memecahkan aquariumnya masih terekam otak kali, ya? Itu sebenarnya karena ketebalan dan kekuatan kacanya yang kurang, hiunya yang kelewat jenius dan kuat, tentu saja, atau imajinasi para pembuat filmnya yang berlebihan, sih?

Mereka terlalu berharga untuk dilewatkan

Baru saja menamatkan Sepatu Dahlan. Dan aku baru nyadar kalau inti dari ceritanya sama seperti Laskar Pelangi dan Negeri 5 Menara: berasal dari keluarga sederhana, dikelilingi sahabat-sahabat yang selalu setia dan pengertian, naksir sama seorang cewek (dan selalu diceritakan kalau si cewek itu berwajah cantik), mengikuti suatu kompetisi dan berhasil memenangkannya, bermimpi lalu mimpi itu terwujud. Tapi, tetap saja nikmat untuk dilahap. Kurasa, semua orang harus baca ketiga novel itu karena rugi banget belum pernah membaca (apalagi mendengar) buku-buku sebagus itu. Oh yeah, karena buku-buku itu terlalu berharga untuk dilewatkan.

Awesome island called Bali

Aloha! Sudah berapa lama blog ini tidak update? Oke, alasan pertama adalah aku tidak tahu postingan apa yang harus kutulis. Rencana mau ngepublish cerita, tapi emang dasar ide malah tersendat. Alasan kedua adalah aku sibuk bersantai di rumah setelah melalui UKK. Oh yeah, kapan lagi coba? Tahun depan kan berbagai ujian menghadang. (Cowabunga, selamat datang kehidupan kelas tiga SMA!)

Langsung ke pokok permasalahan. 

Bulan ini liburan ini ke Bali. Oh yes man, kau nggak salah baca dan aku lagi nggak bermimpi. Ke Bali. Pulau yang menjadi impian semua WNI. 

The Revenge of 'Kelas Kosong'

Ketika guru tidak menampakkan batang hidungnya sama-sekali, dan tidak meninggalkan catatan tugas, dan suhu ruangan mendadak meningkat, dan semua orang mempunyai dunia masing-masing, dan bapuk mulai merajalela… 

1. Lahaplah buku 
Liburan terlanjur usai dan masih banyak tumpukan buku yang meraung minta segera dibaca? Jejalkan ke dalam ransel lalu lahap saat ‘kelas kosong’. 

2. Nonton video atau film di laptop 
Awalnya aku tidak terlalu suka K-pop, dan karena bapuk, aku nimbrung ke seseorang yang sedang asyik nonton mv K-pop. Oke, ternyata lumayan juga. Lebih keren lagi nonton film horror lewat proyektor. 

3. Doodling
…kecuali kau menganggap kegiatan ini kurang kerjaan. 

4. Belajar 
Kelas kosong saatnya belajar mandiri—yah, jika kau seorang pelajar beradab. 

5. Tidur 
Mengapa tidak?

6. Main hape 
Lebih menyenangkan jika kau punya smartphone dengan segudang aplikasi.

p.s. Pada umumnya, (aku bilang pada umumnya) semua orang menyukai 'kelas kosong'. Tapi, menurutku itu sia-sia. Untuk apa bangun pagi-pagi lalu mendapati bahwa hampir semua kelas menjadi 'kelas kosong'?

Selamat Hardiknas!

Selamat Hardiknas! 

Harapanku hanya satu: semoga tak ada lagi ‘kelas kosong’. 

Harus dibaca untuk memeriahkan Hardiknas: Tetralogi Buru-nya Pramoedya Ananta Toer. Lain tidak. Terutama jika kau ingin cara lain mempelajari Sejarah. 

 ***

YAY akhirnya 17!

Confusion

Lagi-lagi tugas drama. Brilian. Belum cukup puas, ya, dengan pagelbud dan dramus di akhir semester? Belum cukup terhibur, ya, dengan ekstrakurikuler teater di sekolah? Sama saja dengan diskriminasi. Bagi mereka yang berbakat dalam akting, nilai sempurna akan menyertai, sementara yang kurang berbakat, oke, siap-siap saja berlapang dada. Ya, memang diri selalu mengeluh dan hanya diam. Tapi apa daya yang bisa dilakukan selain mengikuti prosedur. Begitu mudahnya perintah segera-bentuk-kelompok-dan-kerjakan-tugasnya terlontar dari para guru.

Mari Menguping!

Pengendara motor: “Bapak kalo memang gak bisa tunjukin kesalahan, jangan dibuat-buat! Saya mahasiswa hukum, saya tahu hukum!”  
Polisi: (nada meremehkan) “Ah, mahasiswa seperti kamu paling bisanya cuma ngomong. Pasti IP kamu cuma 6, kan! IP segitu aja bangga!”  
Jakarta, didengar oleh sesama teman yang langsung salam hormat ke si pengendara yang ternyata genius.  

Doodling



Kegiatan favoritku saat "kelas kosong".

Kalau kamu?

"Kisah Kasih(an) di Sekolah"


Diambil dari KOMPAS tanggal 4 Maret 2012.



Dear Teachers,

Pertama-tama, terima kasih atas berbagai jasamu. Tapi, coba lihat dia. 

Bayangkan bagaimana rasanya ketika di sekolah hanya membunuh waktu sia-sia tanpa menatap lurus ke arah papan tulis dan mendengarkan materi yang sedang diajarkan. 

Tolong, dong.

Sering-seringlah datang ke kelas.

Terima kasih lagi. 

 ***

Dear Tempat Bimbel, 

Kerja kalian bagus sekali. 

Terima kasih banyak.

Her Eyes


Kedua matanya hitam. Bulat. Tajam. Cerdas.

Ada pelangi di dalamnya.

Sukses membuatku jatuh cinta.

Tiba-tiba kotak memori terbuka. Hujan turun di sore itu. Toko buku menjadi tempat berteduh. Tak tahan menunggu hujan reda tanpa melakukan apa-apa, kulangkahkan kaki menuju deretan rak favoritku. Buku-buku fantasi. Aku selalu berusaha menyediakan waktu untuk menjelajah di setiap lembarannya. Kutelusuri mataku di antara puluhan judul buku. Aku sudah membacanya. Itu juga sudah. Ini baru kemarin selesai dibaca. Satu judul berhasil menarik perhatian, jadi kuambil buku itu lalu kubaca sinopsis yang tertera di cover belakang. Nah, ini dia ada yang segel plastiknya terbuka. Kulahap beberapa kalimat di bab satu. Ah, kurang seru. Kukembalikan ke rak lalu mencari buku lain.

Sometimes you need a break from school

Sejak SMP aku menghindari yang namanya absen di hari-hari sekolah biasa—bukan cuti setelah UN (setelah didera ujian, biasanya ada break beberapa bulan untuk mempersiapkan diri ke almamater baru). Alasan? Macam pelajar beradab saja, karena takut ketinggalan pelajaran. Dan ya, di SMP aku tidak pernah absen karena sakit atau izin atau bahkan tanpa keterangan. Oke, aku juga heran, padahal aku tidak menikmati bersekolah tapi anehnya itu tidak berdampak terhadap fisikku (penjelasan simple: mental merasa terbebani maka akan berdampak terhadap fisik. Ingat mens sana in corpore sano?)

Hal itu berlanjut sampai SMA, setidaknya sampai kelas 10. Jujur saja, dalam hati aku menjerit minta sakit biar tidak perlu sekolah (ah oke, lumayan kan libur satu hari?) dan tiba-tiba Tuhan mengabulkan doaku. Tanggal 19 Januari kemarin aku jatuh dari motor sampai tangan kananku patah—hebat kan aku masih ingat tanggalnya, eh?—lalu aku mendapat jatah satu hari istirahat di rumah. Wah, brilian. Sementara orang-orang menyeret dirinya ke dalam gedung kokoh penuh peraturan (baca: sekolah), aku malah berbaring sambil menonton TV di rumah, plus tangan kanan yang nyut-nyutan. Andai aku bisa minta cuti sampai tangan kananku benar-benar pulih—tapi itu mustahil, dasar pihak sekolah yang kelewat kangen padaku. Memangnya gampang merangkum beberapa halaman dari buku paket dan mencoba tolak peluru dengan tangan kanan bengkak dibalut perban dan kayu?

“Kok sekolah sih, Kik? Kalo aku jadi kamu, aku bakal di rumah terus sampe tanganku sembuh. Sebulan, mungkin.”

Well, asal kedua kakiku masih sehat, tak ada salahnya sekolah, kan?

Untung aku izin di hari Jumat saat pelajaran-pelajarannya cukup santai. Jadi, aku tidak perlu khawatir bakal ketinggalan pelajaran. Hari Sabtu aku masuk dan dasar nasib aku menghadapi kelas PE dan Matematika. Hebat, kenapa aku tidak libur dua hari saja?

Sebelum mendaftar menjadi peserta sister school ke Thailand, aku sibuk memikirkan bagaimana selama di Thailand aku sibuk jalan-jalan sementara teman-temanku mencurahkan segala tenaga dan pikiran mereka di sekolah (baca: aku takut ketinggalan pelajaran). Well, di sekolah memang kadang-kadang tugasnya abstrak—ralat, bukan kadang-kadang, tapi sering, sih—tapi tetap saja aku takut tertinggal. Masalahnya, aku bakal izin di hari Senin, Selasa, dan Rabu di mana pelajaran-pelajaran maut siap menghadang. Tuhan tahu kegelisahanku, jadi di hari Senin, Selasa, dan Rabu sekolah diliburkan—oke, maksudku kelas 10 dan 11 libur sementara kelas 12 berkutat dengan try out. Wah, terima kasih banyak!

Karena diberi cuti beberapa hari oleh pihak sekolah (terima kasih program sister school ke Thailand!) aku jadi punya pemikiran bahwa terlalu lama diam di sekolah itu tidak baik. Walaupun kau pelajar beradab yang selalu mendapat nilai sempurna dan dikenal semua guru, tapi tetap saja jauh di dalam hati kau menjerit minta libur, kan? Terutama jika sekolahmu menggunakan hari Sabtu sebagai hari kegiatan belajar mengajar seperti kelima hari sebelumnya.

Thailand: At School

Hari Senin. Back to school. Aku malah sibuk berekspetasi apa yang bakal terjadi di sekolah. Maksudku, itu sekolah internasional yang penuh murid dari berbagai ras dan budaya—bagaimana kalau nanti aku nggak punya teman dan sulit berkomunikasi? Rombonganku siap dengan seragam putih-abu. Iya, Kawan—putih dan abu. Sayang sekali, lebih seru lagi kalau pakai seragam dari sekolah itu.

Day 1 & 2 in Thailand

Oke. Aku bingung bagaimana cara memulainya.

Jadi, tanggal 10 Februari aku berangkat ke Thailand bersama 13 teman, dua guru, dan satu kepala sekolah. Bukan, bukan pertukaran pelajar, tapi program sekolah dalam rangka menjalin kerja sama dengan sekolah di Thailand. Kau bisa menyebutnya ‘sister school.’ Well, nggak hanya mencicipi belajar di sekolah sana, tapi juga jalan-jalan. Oh yeah, dan aku belajar jalan cepat seperti orang-orang luar negeri yang transportasi umumnya lebih bagus. Aku prepare dari sekolah jam 11 siang, tepat setelah acara Maulid Nabi selesai. Yeah I know, it sucks—dengan tampang kucel kau terbang ke Thailand.

Fracture

Ohai. I typed this while my right hand got a fracture.

What?

Yes, man! A fracture. Tragic, isn't?

Well, it's painful, seriously, apalagi di malam hari. Tapi, untungnya aku masih bisa menulis (walaupun rada menyakitkan dan acak-acakan) dan melakukan kegiatan ringan lainnya. Kau bertanya-tanya bagaimana aku bisa patah tulang? Yah, bayangkan saja kau jatuh dari motor lalu mendarat di aspal dengan posisi aneh dan hal mengerikan yang terjadi selanjutnya tulang tangan kananmu patah.

Terima kasih, fraktur, aku izin nggak masuk sekolah satu hari. Tak ada yang bisa kulakukan selain tidur, menjaga tangan kanan dalam posisi senyaman mungkin.

A trip to Jawa Timur

Jakarta punya Dufan, Bogor punya Taman Safari, Karawang punya Cipule dan Jawa Timur punya Jawa Timur Park 1 & 2 dan Batu Night Spectacular (BNS). Oke, tak perlu ada basa-basi. Aku menghabiskan satu minggu liburan di Surabaya dan Malang dan Solo (well, sebenarnya lebih banyak di perjalanan, sih). Jujur saja, perjalanan ke Surabaya dan Malang lumayan membosankan, pemandangannya itu-itu saja, jadi kulewatkan dengan tidur melulu. Yah, ajaib memang secara otomatis kau terbangun saat sudah sampai di tempat tujuan.