Powered by Blogger.

Sword words might live forever

Suatu malam di bulan Ramadhan, aku sedang duduk menunggu waktu shalat tiba sambil memperhatikan jamaah masjid yang baru datang dari rumah masing-masing. Seorang ibu menggelar sajadah di saf belakangku dan dia datang bersama anak perempuannya.

“Bu, aku lupa membawa sajadah,” kata anak itu. Aku tidak memperhatikan ekspresinya, tapi aku yakin dia sedang gemetaran hebat.

“Dasar bodoh! Bagaimana kau bisa lupa?” tukas ibu anak itu.

Well oke, jika kau menjadi anak perempuan itu, apa yang bakal kau rasakan saat dikatakan ‘bodoh’ oleh ibu-mu sendiri?

Beberapa orang kadangkala mengucapkan kata kasar di akhir kalimat. Ada dua kemungkinan mengapa mereka mengucapkan kata itu: pertama, karena sudah menjadi kebiasaan, dan kedua, karena kesabaran mereka telah menguap dan berbaur dengan uap air yang ada. Aku tidak habis pikir kenapa kau bisa bilang ‘bodoh’ ketika seseorang lupa membawa sajadah.

Guru Agama Islam-ku pernah bilang, ditampar dengan kata kasar lebih menyakitkan daripada ditampar dengan tangan. Kesimpulannya, sword words might live forever.

Langsung to-the-point, aku benci mendengar seseorang dikatakan bodoh, seolah orang yang bilang ‘bodoh’ lebih brilian daripada orang yang dibilang ‘bodoh’.

Halo, Bu. Jika kau memang pintar, mengapa tidak kau berbagi sajadah berdua saja dengan anakmu daripada repot-repot bilang ‘bodoh’?

Hidup itu (kadang-kadang) tidak adil

Apakah kau pernah merasa tidak adil dengan nilai-nilai yang kau dapat di sekolah? Maksudku, seminggu sebelum ujian kau sibuk melahap berbagai buku lalu menjawab soal-soal ujian yang diberikan sewaras mungkin bahkan dengan penjabaran yang lumayan panjang tapi tiba-tiba nilai yang kau dapat tidak sebanding dengan segala jerih-payah dan melakukannya tanpa menyontek—selama ujian berlangsung. Padahal, teman-temanmu yang lain sengaja mengosongkan jawaban di lembar soal—karena tidak tahu harus memberikan jawaban waras apa lagi, melahap berbagai buku mendadak di pagi hari ujian, dan memperbincangkan jawaban untuk soal sekian ketika pengawas ruangan pergi keluar kelas sebentar sampai waktu ujian habis untuk melihat pemandangan tapi nilai-nilai yang mereka dapat lebih mending daripada punyamu. Ambil contoh begini, kau dapat nilai lima sedangkan teman-temanmu dapat nilai tujuh. Well, meskipun bukan nilai sepuluh, tapi kan tetap saja.

Oke, kau boleh percaya atau tidak. Tapi, aku sering mengalami hal itu. Tidak, tidak. Jangan bayangkan aku sebagai seseorang sepintar Hermione Granger yang ransel-nya berat karena buku-buku setebal batu bata dan hobi begadang untuk mengerjakan tugas dan selalu menjadi orang pertama yang mengangkat tangan di kelas. Meskipun di hari tertentu ransel-ku menjadi berat karena bawa buku, tapi aku tidak bilang aku sering membaca buku-buku itu sampai larut malam. Mungkin kau sudah tahu bahwa aku selalu ragu untuk mengemukakan pendapat di kelas.

Ketika aku melihat nilai-nilai-ku di Semester Dua kemarin, jujur saja, aku rada kecewa karena menurutku nilai-nilai di situ nggak seimbang dengan segala jerih-payah. Maksudku, hei, aku pernah mendapat dua nilai mengagumkan di kelas Kimia dan kujawab soal dengan jawaban sewaras mungkin saat UKK dan kukerjakan semua tugas yang diberikan tapi ternyata nilaiku malah pas-pasan di atas kertas rapor (jangan mengernyit begitu, aku tidak bermaksud untuk pamer). Meskipun nilainya berhasil melampaui passing-grade, aku tidak tahu harus teriak YAY atau NAY. Hal yang membuatku galau adalah begitu mengetahui nilai teman-teman yang lain.

Seorang guru pernah bilang begini, “Lebih baik kau paham materi daripada nilai jeblok”. Oke, aku tidak tahu apakah ada yang salah dari pernyataan ini. Bukankah jika kau paham materi yang telah diajarkan dengan begitu kau bisa menjawab soal-soal ulangan dengan waras kemudian mendapat nilai bagus? Tapi, bisa saja sih kau mendadak lupa materi saat berhadapan dengan soal, atau salah mengisi jawaban—harusnya di nomor dua tapi malah di nomor enam, atau keberuntungan belum berpihak padamu (dan ini artinya barangkali kau harus segera minta secangkir ramuan Felix Felicis kepada Profesor Horace Slughron).

Aku belum pernah merasakan jadi seorang guru yang harus menilai pekerjaan murid-muridnya lalu menulis hasil akhir kerja keras mereka di atas kertas rapor, jadi aku tidak bisa berkomentar banyak mengenai hal nilai-menilai ini. Aku tidak tahu persis kriteria apa saja untuk mendapat nilai lumayan di rapor. Barangkali, para guru menilai sikap seorang siswa di kelas—apakah dia sering mengangkat tangan untuk menanyakan hal-hal yang cerdas atau sering menyeret dirinya ke depan kelas untuk mengerjakan soal. Tapi, di setiap kelas yang kuikuti, hukum itu selalu berlaku. Jadi, jika kau seorang siswa yang hanya duduk diam mendengarkan, ragu untuk menanyakan hal-hal yang cerdas karena takut dianggap hanya pertanyaan konyol, dan tidak mau repot-repot mengerjakan soal di papan tulis—karena di buku kau juga bisa mengerjakannya, maka bersiap-siaplah untuk mendapat nilai yang, umm, oke, haruskah aku mengatakannya?

Mungkin ini karena sifat dasar manusia yang tidak pernah puas. Maksudku, begitu mendapat nilai-nilai yang tidak sesuai harapan. Tapi, well, setidaknya senang dong dapat nilai hasil jerih-payah sendiri.

Random thoughts

Jangan khawatir. Aku tidak akan membubuhkan “Dear Diary” di awal paragraf—meskipun kali ini aku mau umm, curhat colongan. Apa salahnya sih jika ini blog milikku yang diurus sendiri olehku? Tidak, tidak. Aku tidak akan memaki orang atau menyindir orang (kuharap begitu)—satu hal yang bisa kau lakukan di dunia maya dan membuat ge-er sejuta umat yang membacanya, iya kan? Tenang saja. Aku hanya ingin berbagi pendapatku. Sangat setuju dengan Greg Heffley bahwa ini bukan diary, tapi jurnal.

Hal ini selalu terjadi. Maksudku, beberapa jam sebelum hari pertama masuk sekolah dimulai. Saat aku masih terombang-ambing dengan ombak liburan, malas menyiapkan segalanya untuk besok (buku-buku, tas, seragam, bahkan semangat baru—oke, mungkin lain kali aku harus minum Coca-Cola dulu sebelum melahap setangkup roti sarapan), bahkan bermacam-macam pikiran melintas di benakku. Dari mulai membayangkan di sekolah besok akan terjadi apa—bagaimana jika seseorang yang kukenal tiba-tiba memandangku dengan tatapan sinis tanpa alasan yang jelas atau tiba-tiba susah mengejar prestasi teman-teman di kelas lalu menjadi orang terbodoh di kelas, dan pikiran-pikiran yang berawalan ‘bagaimana jika’ lainnya. Tapi, yang sering kupikirkan adalah sikap teman-temanku besok di hari pertama sekolah, dari teman sekelas sampai teman dekat. Aku sering membayangkan sikap mereka berubah selama liburan, siapa tahu begitu bertemu di kelas, mereka sepakat untuk menjaga jarak bahkan tidak sudi berbicara lagi denganku. Iya, aku tahu itu bodoh sekali. Memangnya apa sih yang kulakukan terhadap mereka selama liburan berlangsung? Aku hanya menikmati liburan, mereka juga begitu, kadang-kadang saling SMS-an. Tapi, iya aku tahu, aku tidak bersikap untuk memusuhi mereka jadi buat apa aku sibuk cemas dengan sikap mereka besok di hari pertama sekolah? Tetap saja, meskipun aku tahu logika yang benar, aku selalu membayangkan hal-hal buruk yang bakal terjadi di sekolah nanti.

To be honest, I’m not that Miss Social, yang selalu hang-out bareng teman-teman dekat, punya ‘followers’ dan ‘friends’ banyak, selalu mention atau wall-to-wall setiap malam dengan banyak orang, disapa banyak orang ketika berjalan di koridor, nope I’m not. Kalau boleh kukatakan secara jelas, I’m not that exist person.

Tidak. Aku tidak sedih karena bukan seseorang yang eksis. Punya teman yang bisa diajak ngobrol berbagai hal dan tidak mudah langsung judging ketika aku mengungkapkan uneg-uneg sudah cukup, kok (dan aku baru mengetahuinya bahwa ini artinya dia adalah seseorang yang bisa kausebut sahabat).

Kadang-kadang aku merasa ‘berbeda’ seperti Thestral dari semua orang di sekolah. Tidak, bukan karena wujudku transparan, berwarna hitam legam, dan punya sayap. Maksudku, jika aku lebih suka mendeklarasikan berbagai pikiran yang terlintas di benak ke dalam kolom updet Twitter atau Blogger daripada mengomentari kegiatan seseorang di seberang pintu sana, jika aku lebih senang berjalan-jalan di toko buku daripada di toko aksesoris bercat merah muda, jika aku lebih suka merawat buku daripada merawat rambut, jika aku memutuskan untuk mencoba mengerjakan soal-soal Kimia atau Math daripada menundanya dengan bergosip, jika aku lebih suka membaca novel beraliran dongeng-fantasi daripada novel yang penuh dengan kata ‘gue-elo’ di dalamnya, jika aku lebih suka membicarakan Harry Potter daripada hubungan si A dengan si B, jika aku tenang-tenang saja ketika hape-ku tidak berdering seharian daripada mengeluh betapa hape-ku seperti bangkai, jika aku lebih enjoy berjalan di belakang teman-teman, mendengarkan semua percakapan mereka daripada sibuk bercerita dengan semangat meluap-luap di depan teman-teman, jika aku diam ketika pengawas ruangan pergi daripada ribut menanyakan jawaban, jika aku mendapat nilai ulangan jelek meskipun semalam aku telah belajar daripada mendapat nilai lumayan meskipun belajar beberapa menit sebelum ulangan, jika aku enjoy berjalan-jalan sendirian daripada merengek minta ditemani, jika aku lebih memilih menunggu DVD film itu rilis daripada mengantri di depan loket, jika aku lebih memilih untuk mempublikasikan postingan blog terbaru daripada status terbaru, jika aku sebal ketika liburan berakhir daripada tidak sabar untuk kembali ke sekolah ketika liburan berakhir. Itu hanya sepersekian dari sepersekian ‘jika aku’.

Tapi, aku juga melakukan kegiatan yang biasa dilakukan. Aku menikmati Justin Bieber (maksudku lagu-lagunya, bukan orangnya) dan Taylor Swift dan lagu-lagu lainnya, aku pergi ke salon untuk merapikan rambut, aku mendengarkan cerita-cerita teman tentang cowoknya, aku sering curhat colongan ke teman-teman dekat, bahkan aku jengkel setengah mampus saat jerawat bertambah. Aku tidak tahu mengapa aku merasa ‘berbeda’ dengan semua teman di sekolah. Aku tidak tahu persis tingkah laku seseorang saat sedang mencari jati dirinya. Aku tidak tahu apakah ini bisa dibilang aku sedang galau. Aku tidak tahu apakah ini normal terjadi di usia 16 tahun.

Saat mengetahui ada seseorang di luar sana yang ternyata sependapat, sepaham, dan sepikiran denganku, aku merasa lumayan lega. Sama leganya seperti mengetahui teman sebangkumu ternyata belum mengerjakan tugas juga.

Orang-orang yang sependapat, sepaham, dan sepikiran dirimu bisa saja banyak jumlahnya di luar sana. Hal yang kau lakukan hanya menyisihkan sebagian waktu untuk mencari mereka.

Oke. Itu saja mungkin. Maaf jika aku terlalu berlebihan dalam menyampaikan pikiran-pikiran random yang sibuk malang-melintang akhir-akhir ini. Hei, jangan sambil mengerutkan kening begitu ketika kau membacanya. Anggap saja ini hanya pikiran khas seorang pelajar culun berumur 16 tahun.

Selamat tinggal, dear liburan!

What a heaven. Pagi hari pertama masuk sekolah setelah libur Lebaran dua minggu (yang kurasa terlalu singkat untuk menyelesaikan semua tugas-hari-raya dan menikmati kota Solo) dilewatkan tanpa sakit perut mendadak seolah ada segerombolan cacing Flobber (apa itu cacing Flobber? Kau bisa menemukannya di buku ketiga Harry Potter-red) berlari-lari di dalam usus, seperti biasa yang kualami dalam perjalanan menuju sekolah. Ditambah lagi dengan pikiran bahwa begitu aku masuk ke dalam kelas, semua orang sepakat untuk menjaga jarak dariku dan tidak mau repot-repot lagi membicarakan agenda liburan denganku. Padahal semalam aku sibuk misuh-misuh sendiri betapa liburan sangat singkat dan tugas-hari-raya belum bisa disebut 100% rampung, dan membayangkan keadaan besok di sekolah seperti apa—apakah dilewatkan dengan segerombolan Dementor yang menyerang tiba-tiba sehingga aku harus memikirkan satu kenangan yang paling indah atau para guru sepakat mengubah jam pulang sekolah menjadi lebih cepat. Astaga, siapa sih murid yang bersemangat kembali ke sekolah setelah liburan? Bukan aku.

Tapi ternyata, di sekolah biasa saja—maksudku tidak ada segerombolan Dementor, tentu saja. Pagi hari diawali dengan temu-kangen bersama teman-teman di kelas, saling berjabat tangan, dan bertukar cerita tentang perjalanan mudik yang dihabiskan berjam-jam di dalam mobil. Lalu, seperti tradisi sekolah lainnya: saling berjabat tangan dengan warga sekolah (hal yang kau lakukan hanya berjalan berkeliling di lapangan sambil mengulurkan tangan dan memamerkan senyum terbaikmu). Kabar bagus hari ini: para guru memutuskan untuk mengubah jam pulang sekolah menjadi lebih cepat bahkan tidak ada kegiatan-belajar-mengajar dan well, oke—meskipun kurasa kabar ini biasa saja: seorang siswa pertukaran pelajar dari luar negeri akhirnya menuntut ilmu di sekolahku, dan dia cowok. Dia jangkung dan berambut cokelat. Tidak, aku tidak bilang dia ganteng. Tapi, yang terpenting di hari pertama masuk sekolah adalah semua orang tidak jadi sepakat untuk menjaga jarak dariku.

Harus kukatakan begitu masuk sekolah, kegiatan yang kau lakukan selain duduk diam mendengarkan guru adalah bergosip. Well, aku tidak tahu apakah hal ini berlaku juga kepada para cowok, tapi satu hal yang membanggakan adalah para cewek tidak pernah kehabisan topik untuk bergosip. Saat orang menyebalkan lewat di depanmu, orang itu akan menjadi obrolan yang tak ada habisnya. Jadi maksudku, kau sudah berpuasa selama satu bulan dan kembali kepada hari yang fitri, tapi tetap saja begitu masuk sekolah dosa-mu bertambah lagi. Hal apa sih yang kulakukan di rumah waktu minggu pertama liburan selain menonton film, membaca buku, dan tamasya ke Dunia Maya? Tidak, aku tidak bilang aku sibuk mengerjakan semua tugas-hari-raya. Jadi, begitu melihat kalender bahwa besok waktunya untuk kembali ke sekolah, aku teringat dengan tugas-hari-raya, dari mulai membuat peta India sampai mengerjakan soal-soal Math. Jujur saja, aku malas mengerjakannya. Lagipula, siapa sih murid yang bersemangat menyelesaikan tugas di hari libur? Bukan aku. Aku selalu berharap di malam Lailatul Qadar aku mendapat semacam hikmah untuk segera berkutat dengan tugas-hari-raya. Tapi ternyata, sama saja. Eh, halo, maksudku aku tidak sama-sekali tidak mengerjakan tugas-hari-raya, aku mencoba menyelesaikan beberapa. Setidaknya tugas Math rampung beberapa nomor dan peta India sukses tergambar di buku.

Siapa sih murid yang merindukan bulan Ramadhan ketika waktu belajar di sekolah menjadi lebih singkat bahkan lebih santai, malamnya dilewatkan dengan shalat Tarawih bahkan tanpa tugas dari sekolah setelah itu mendapat liburan selama dua minggu untuk dilewatkan di rumah mBah Solo? Aku.