Powered by Blogger.

Tanyakan pada cemara yang menderai jauh...

Suatu hari, sekolahmu mengadakan suatu event satu tahun sekali bernama Pagelbud (Pagelaran Seni dan Budaya). Itu artinya, kau bisa tampil di depan warga sekolah. Lagipula di usia-mu yang sekarang, kau sedang dalam masa pencarian jati diri.

Expectation:
Kau yang membuat rhapsody-nya, kau yang mengatur alunan musiknya, kau yang berdiri di depan teman-teman sekelasmu sambil menggenggam sebatang tongkat kayu ala konduktor layaknya August Rush. Dan ketika alunan musik selesai, serentak penonton memberikan standing-applause yang keras dan panjang lalu kemudian kelasmu dinobatkan sebagai juara pertama ditambah kategori-kategori-nya yang ber-awalan The Best.

Reality:
Kau tidak mengerti teori not balok, kau tidak bisa memainkan biola atau contra-bass atau harpa, dan kau tidak pernah menyentuh—walaupun hanya jari kelingking—tongkat kayu ala konduktor. Kau hanya berdiri di belakang panggung, menyaksikan segala penampilan teman-temanmu—berperan sebagai narator yang tidak penting untuk didengar penonton.


Well, lebih baik dimulai saja, ya, postingannya.

Tema Pagelbud kali ini adalah "Green Day" (bukan band). Oke, kurasa aku tidak perlu menjelaskan lagi apa itu "Green Day" (dan tolong deh, jangan bayangkan satu hari di mana semua komponen di Bumi ini menjadi berwarna hijau). Dan kelasku memberikan suguhan drama tentang seorang gadis yang menentang penebangan hutan buat dijadikan pusat perbelanjaan. Pagelbud nggak hanya menyajikan drama, tapi juga vocal group, dance, nari Jaipong, penyanyi solo putra-putri, pembacaan puisi, yel-yel kelas, dan nyanyi duet putra-putri.

Kau boleh percaya atau tidak, tadinya aku ditunjuk sebagai pembaca puisi. Well, jujur saja, aku merasa bangga setengah mampus. Dan ketika aku beraksi membacakan puisi karya salah seorang penyair legendaris, banyak orang mengomentari gaya membacaku (dan sayangnya itu bukan komentar yang membanggakan). Karena komentar itu, aku jadi galau—bertanya-tanya kepada cemara yang menderai jauh, bagaimana caranya membaca puisi yang bisa membuat penonton stunned. Jadi, aku mengundurkan diri lalu ta-da, tiba-tiba aku menjadi seorang narator.

Latihan Pagelbud dimulai lagi setelah Ulangan Kenaikan Kelas—dan kegiatanku sejak itu adalah mewarnai latar, latihan drama, menonton dance dan vocal group latihan, memandangi jam setiap beberapa menit sekali sambil bertanya-tanya kapan latihan selesai. Dan tentu saja ada perbedaan pendapat antar teman, tangis-tangisan, revisi naskah drama berkali-kali ketika latihan, dan blablabla dan blablabla.

Akhirnya, di hari Selasa (maksudku, hari ini) aku bisa mengurut dada, menghembuskan napas merdeka, jingkrak-jingkrak kayak orang gila, nari tap seharian, gigit-gigit senar gitar sampai putus saking bahagia setelah tampil (oke, meskipun aku hanya sebagai narator, but that means: no more latihan, no more pulang petang lagi).

Pagelbud sudah selesai, tidak ada lagi Ujian Kenaikan Kelas. Jujur saja ya, soal-soal ujian tahun ini lumayan gampang, loh (soalnya aku bisa mengerjakannya walaupun err... asal-asalan).

P.s. Apakah Pagelbud kelasku menjadi juara? Apakah aku menjadi anak IPA atau IPS? Bagaimana nilai-nilaiku di semester ini? Entahlah. Silahkan tanya pada cemara yang menderai jauh.

No comments

Terima kasih atas komentarnya, Kawan. Maaf dimoderasi dulu (ᵔᴥᵔ)