Powered by Blogger.

Dua frasa: Boo Radley dan tamatlah sudah

Kakiku langsung menari-nari tap dan hatiku melompat-lompat gembira sampai menembus atmosfer Bumi begitu mendapati novel "To Kill a Mockingbird" yang selama beberapa hari hilang, meringkuk nyaman di pelukan si boneka monyet - di hari Sabtu sore begitu aku pulang sekolah.

Hilang. The End.

Novel-ku yang berjudul "To Kill a Mockingbird" hilang!

Bold, Italic, Underline + CAPS LOCK: HILANG!

Oke, aku tahu ini amat sangat berlebihan. Tapi, aku suka sama novel itu. Dia hilang SEBELUM aku membaca halaman terakhirnya. Ditambah lagi, saat aku hampir sampai di bagian klimaks dan ironisnya - aku BELUM mengetahui keputusan hakim mengenai kasus Tom Robinson dan misteri Boo Radley yang tidak pernah keluar dari dalam rumahnya.

Hari Minggu kemarin, novel itu masih ada di atas tempat tidur dan aku melanjutkan membaca sebanyak satu bab. Bahkan, aku sempat memotretnya. Serius. Lalu, aku taruh novel itu di atas tumpukan buku di kamar. Aku lupa aku melihatnya lagi di hari Senin dan bahkan, aku tidak membacanya lagi sama sekali.

Di hari Selasa malam - setelah berkutat dengan trio Hidrokarbon; Alkana, Alkuna, dan Alkena, aku memutuskan untuk melanjutkan baca tuh novel lagi. Saat aku mencarinya di atas tumpukan buku, ternyata NGGAK ADA. Aku coba cari di semua tempat, eh, tetap nggak ada. Dan kau boleh percaya atau tidak, aku nangis kejer begitu menyadari bahwa novel itu NGGAK ADA.

Astaga, kok bisa gitu ya tuh novel hilang tanpa meninggalkan jejak?

Hmm well, oke. Tapi kemudian kupikir, toh aku bisa membelinya lagi nanti (atau numpang baca di toko buku, mungkin).

p.s. Aku curiga, jangan-jangan aku mengidap Alzheimer, lagi. Tapi kayaknya nggak, deh. Nah terus, di mana si novel sebenarnya berada?

Little wishes and... imaginations

Di sekolah, aku membicarakan cita-cita, impian, harapan, prediksi, dan tetek bengek mengenai masa depan dengan beberapa teman. Dimulai dari pertanyaan biasa macam, "Kau mau lanjut ke jurusan mana, nih?" diakhiri dengan pertanyaan yang biasa ditujukan untuk para murid Taman Kanak-Kanak, "Cita-citamu apa, nih?" Aku tidak heran mereka mempunyai impian-impian seru seperti misalnya membuka showroom mobil mewah atau membangun sebuah sekolah sepakbola.

Well yeah, Albert Einstein benar. Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan.

Lucunya, impian-impian yang kami tuturkan bisa digabungkan dengan impian-impian lainnya. Seperti misalnya, salah seorang teman di kelas diprediksikan menjadi seorang atlit TimNas dan kemudian dia menjadi pelatih di sekolah sepakbola itu, lalu seorang teman lain di kelas yang diprediksikan menjadi dokter dan suster akan ikut membantu para siswa yang cedera, lalu seorang teman lain di kelas yang kreatif akan mendesain seragam sekolah (dan membuat rancangan bangunan sekolahnya, tentu saja) terus seorang teman lain di kelas yang diprediksi mempunyai sebuah butik akan membuat seragam-seragam itu. Oke, jadi yang paling berpengaruh adalah salah seorang teman di kelas yang mempunyai impian membangun sekolah sepakbola.

Karena itu, aku menjadi ingat dengan para anggota Sahibul Menara yang selalu nongkrong di bawah menara masjid Gontor sambil menunggu Maghrib. Mereka membicarakan tentang impian masing-masing dan melihat awan-awan di langit senja membentuk negara-negara impian mereka. Dan kemudian, mereka berhasil meraih awan-awan itu. Oh yeah, semoga saja kita bisa seperti mereka, Konstelasi X9.

Hari ini nyaris semua jam pelajaran kosong. Tidak ada guru yang mengajar di kelas berarti bisa menonton film. Aku asyik duduk diam sambil memerhatikan layar laptop, menonton sebuah film tentang seorang wanita yang terkena penyakit Alzheimer. Harus kukatakan, nonton bareng itu seru – bisa saling berkomentar tentang suatu adegan.

Dan sepanjang hari, aku tertawa.

A wimpy writer met a well-known writer

Kau tahu Pipiet Senja? Kau pernah membaca salah satu novel atau cerpennya? Kau pernah bertemu dengannya? Atau kau ternyata salah satu penggemarnya?

Kemarin di hari Minggu yang muram (karena hujan), aku pergi ke Islamic Book Fair (IBF) di Istora Bung Karno, Jakarta. Acara itu hanya diadakan setahun sekali selama tujuh hari. Ketika aku sampai di sana, yang aku temui lautan buku (ya iyalah kan Book Fair, gimana sih), dan para pelajar di pondok pesantren. Aku memborong banyak buku karena banyak tumpukan buku yang didiskon dan harga normal (setidaknya di sana aku mendapatkan novel "All American Girl"-nya Meg Cabot part dua). Kau pasti bertanya-tanya, kenapa di IBF ada buku-nya Meg Cabot. Well jadi gini, biar kuberitahu kau, ya. Di IBF nggak hanya buku-buku islami, tapi buku-buku yang lain juga ada (setidaknya aku mendapatkan "To Kill a Mockingbird" juga).

Aku dan Ma dan Pa dan Lila berkunjung ke salah satu stand. Terus, mas-mas stand-nya bilang ke Ma kalau wanita yang sedang duduk itu adalah Pipiet Senja dan Ma memberitahu Pa dan Lila dan aku, tentu saja. Aku nyaris tak percaya mendengarnya. Seorang penulis sedang berada di dalam stand ini?

Well, aku sering mendengar namanya dan kurasa aku pernah membaca salah satu cerpennya di majalah anak-anak. Di rumah, aku punya novel-nya yang berjudul "Jenderal Nyungsep."

Jadi, tanpa menyia-nyiakan kesempatan emas yang ada tepat di depan hidungku, aku langsung minta Pa untuk menyiapkan kamera, dan aku menghampiri salah seorang penulis Indonesia itu yang sedang asyik mengobrol dengan seseorang.

"Minta tanda tangan, dong, Teh," aku berkata dengan suara kecil dan kuberikan salah satu novel-nya.


Kemudian, Teh Pipiet Senja membubuhkan tanda tangan PLUS namaku di atas halaman pertama novelnya.


Semoga suatu hari nanti aku bisa mengikuti jejaknya.

So..., I'm into Tumblr

Pertama kali aku mendengar kata Tumblr ketika aku sedang blogwalking. Seorang blogger memberitahu para pembacanya bahwa dia terlalu banyak ngoceh di Tumblr, jadi dia kehabisan ide untuk membuat suatu postingan di Blogspot. Ketika membaca kata 'Tumblr' di antara kata-kata yang ditulisnya, pikiranku langsung melayang jauh ke... wadah air. Eh iya, serius (Tumblr=botol. Get it?). Kemudian, aku membaca kata itu lagi di suatu katalog yang di dalamnya berisi wadah makanan berbagai bentuk. Itu nama suatu produk wadah minum beraneka warna.

Well yeah, seculun-culunnya aku, nggak mungkin seseorang menulis di atas wadah minumnya yang ada di dapur. Jadi, aku browsing mengenai Tumblr itu di Google. Akhirnya, aku menemukan jawabannya. Tumblr itu semacam blog. Tidak hanya tulisan yang bisa di-publish, tapi juga foto, audio, quote, beberapa percakapanmu yang terjadi tadi sore, dan video. Semuanya bisa kau atur, kok.

Aku memutuskan untuk bergabung di Tumblr tahun lalu bulan... LUPA. Beberapa foto yang menurutku lumayan ku-upload, percakapan-percakapan tak terduga kutulis, lagu kesukaanku ku-publish, quote yang kutemukan di dalam novel kuberitahukan kepada seluruh orang yang membuka Tumblr-ku.

Tiba-tiba, suatu hari aku menemukan beberapa postingan yang keren dan kuputuskan untuk di-reblog (yeah, di Tumblr, kau bebas untuk me-reblog). Tadinya gini, aku tidak terlalu tertarik dengan kegiatan reblog. Tapi kemudian, karena akhirnya aku menyadari bahwa orang-orang di Tumblr itu sama warasnya denganku sehingga bisa menghasilkan postingan-postingan keren, kegiatan-ku di Tumblr menjadi REBLOG. Itulah sebabnya mengapa aku mengganti alamat Tumblr-ku yang tadinya "playingwords.tumblr.com" dan judul Tumblr-ku yang tadinya "play it by words!."

Oh yeah, kuberitahu kau, ya. Nge-Tumblr itu ASYIK, jadi jangan heran jika kau melihat Tumblr-ku lebih UPDATE dibandingkan blog-ku atau... sadly, Wordpress-ku.

p.s. Kau bisa singgah sebentar di Tumblr-ku setelah membaca postingan ini: diatrinari.tumblr.com.

Me, The Wimpy Committe

First of all, let me get something straight. Aku menjadi seorang panitia dalam suatu event besar di sekolah. Bisa kau bayangkan itu? Aku, seorang pelajar culun kelas Sepuluh menjadi seorang panitia – dalam event besar pula. Padahal, aku tidak mengikuti suatu kegiatan organisasi sekolah. Well, lebih jelasnya gini. Aku menjadi panitia dalam suatu acara bernama ECOM (FYI: ECOM means “English Competition” yang terdiri dari lomba puisi untuk SD, drama untuk SMA, Scrabble, dan Storytelling untuk SMP) di mana ekskul-ku diberi kehormatan untuk mengasuhnya.

Di hari pertama, aku datang pagi-pagi ke sekolah (dengan kostum panitia: kerudung putih, seragam SMA, nametag bergambar tiga buah jamur dari divisi Basidiomycota *ketiga jamur ini adalah maskot event*, dasi dan rok bermotif batik, dan sepatu hitam) – mendapati koridor sekolah sepi dan tidak ada orang yang mengucapkan “Guten morgen” kepadaku. Ternyata, semua panitia berkumpul di suatu ruang khusus. Oke, jadi daripada aku terlunta-lunta, lebih baik aku mjb-an aja sama para panitia lainnya. Tugasku di hari pertama SEBENARNYA adalah menjaga stand ekskul-ku di Smansa Fair (oh yeah, ada Smansa Fair juga). Tapi, aku malah berimajinasi konyol macam “oh-tidak-sepertinya-aku-akan-lumutan-kalau-nongkrong-di-stand”. Jadi, aku memutuskan untuk tukeran dengan salah seorang teman. Kemudian, TA-DA, aku menjadi Si Pencari Kata Dalam Kamus di Lomba Scrabble.

Tapi ternyata, aku terlalu brilian untuk mengandalkan kamus (maaf, ini hanya bercanda, kok!). Jadi, sepanjang permainan aku hanya duduk diam sambil memperhatikan susunan-susunan kata di atas papan bermagnet. Tiba-tiba, aku menjadi amat sangat menyesal.

Beberapa jam selanjutnya, aku melewatkan waktuku untuk nongkrong sebentar di stand “English Club” – menanyakan berapa banyak pengunjung yang telah berhasil diajak bermain game, dan menonton drama SMA. Ya, aku memang panitia TENGIL nan culun.

Di hari kedua, aku bertugas sebagai time-keeper dalam lomba Storytelling. Aku hanya melambai-lambaikan bendera berwarna hijau tanda dimulai, bendera kuning tanda “cepetan-dek-waktumu-lima-menit-lagi”, dan bendera merah tanda “oh-maaf-dek-waktumu-habis”. Aku tak habis pikir betapa para pelajar SMP amat sangat emosional dalam bercerita.

Oke, dan kemudian, ECOM berakhir sudah - di hari ini. Tapi, itu tak berarti aku lepas jabatan dari panitia. Bagaimanapun, aku masih seorang panitia walaupun untuk dua hari ke depan aku tidak memakai kostum panitia.